Oemah Cengloe

Suatu kali, Ahmad Tohari ditanya soal novel "Ronggeng Dukuh Paruk". Buku itu, udah diterjemahkan dalam bahasa Banyumasan belum sih? Begitu tanya seorang kenalannya. Dan jawabannya, tentu aja belum.

Usut punya usut, ternyata, pertanyaan sepele itu membikin bapak yang tinggal di Jatilawang, Banyumas, tersentak. Udah ditranslit pake berbagai bahasa luar negeri segala rupa, kok belum diterjemahin pake bahasa Banyumasan.

Alhasil, berselang nggak gitu lama, cerita tentang perjalanan hidup seorang ronggeng itu dalam versi bahasa banyumasan, muncul. Disusul sama buku "Jegingger", yang nggak lain versi banyumasan dari novel "Bekisar Merah". Jadi nggak cuma settingnya aja yang banyumasan, tapi juga bahasanya.

Dan belum lama ini terbit novel "Geger Wong Ndekep Macan". Cerita fiksi bikinan Hari W. Soemoyo ini juga pake bahasa banyumasan. Dari depan sampe belakang. Cuma, setting Banyumas disamarin jadi Kertagama.
Tapi, di sini nggak bakal dibahas kelebihan-kekurangan masing-masing buku. Melainkan esensi keberadaan novel-novel itu.
Iya sih buku-buku itu fiksi, tapi bukan berarti semua itu nggak ada artinya. Diakui atau nggak, buku-buku itu jadi angin segar buat perkembangan sastra dan budaya banyumasan. Novel-novel fiksi itu jadi salah satu sarana buat nguri-uri budaya, bahasa banyumasan khususnya. Apalagi di tengah minimnya situs sastra di Banyumas.

Coba deh baca salah satu buku itu aja. Pasti kita bakal nemuin kata-kata yang udah jarang banget kita dengerin, apalagi dipake buat ngobrol. Sampe-sampe kita bakal bergumam, "lho kok ada kata-kata ini sih?".
Jadi, ngomongin keberadaan buku-buku berbahasa banyumasan itu, juga ngomong soal transformasi nilai-nilai budaya kepada generasi muda. Toh, tanggung jawab buat nguri-uri budaya emang di tangan generasi muda kan.

Lewat buku-buku fiksi itu, generasi tua udah mulai mewariskan budaya banyumasan kepada generasi muda. Melalui refleksi karakter tokoh, mereka nunjukin kayak gini lho orang banyumas bersikap. Dan melalui percakapan, mereka perlihatkan bahasa yang blakasuta.

Kalo udah gini, rasanya nggak bijak kalo pemuda panginyongan malah kikuk sendiri sama budaya tempatnya dilahirin. Sementara orang-orang dari luar berduyun-duyun mempelajari budaya banyumasan, sambil berdecak kagum.

Inilah momentum. Sayang buat dilewatin. Jadi, ayo rame-rame kita mengintip Banyumas dari jendela dunia! *immo*

Categories:

Leave a Reply