Oemah Cengloe

Malam ini, malam takbir. Aku masih sibuh membereskan alat makan berbuka puasa. Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Ada SMS masuk.

Setelah aku buka, ternyata dari Kak Erwin. Mantanku saat di SMP dulu, yang meminta untuk bertemu. Dia sudah di luar rumah ku. Aku keluar rumah. Setelah basa-basi, akhirnya Kak Erwin mengutarakan maksudnya.

"Tis, aku mau ngomong sesuatu sama kamu," kata dia.

"Tis, sebenarnya, aku masih sayang banget sama kamu. Aku mau ungkapin ini dari dulu tapi aku malu. Kamu mau nggak balikan lagi sama aku?" sambung dia mengungkapkan perasaannya.

Aku bingung bercampur bahagia. Aku memang masih mengharapkan Kak Erwin. Aku pun menerima cintanya, lagi.

Satu bulan sudah hubungan kami berdua berjalan. Selama satu bulan itu, hubungan kami tiadk ada masalah apapun. Kami sering berangkat sekolah bersama, kami memang satu sekolah. Hanya saja, dia kakak kelasku.

Suatu hari, aku mendapat SMS dari Kak Erwin. Akan tetapi, SMS kali ini, berbeda dengan SMS yang biasanya. Dia menulis jadwal pelajaran kelasnya dan memanggil seseorang dengan sebutan "bunda".

Lalu, aku tanyakan SMS itu sama Kak Erwin. "Kak, maksunya apa kakak ngirim SMS kayak gini sama aku?" tanyaku.

"SMS apa?" dengan nada bingung Kak Erwin menjawab. "Kakak nggak usah pura-pura, ini apa?" kataku sambil memberikan hp padanya.

"Oh, maaf salah kirim. Itu buat teman sekelasku!" jawab dioa dengan santainya. "Tapi kenapa kakak panggil dia bunda? DIa siapanya kakak? jujur!" tanyaku penasaran.

"Bukan siapa-siapa kok, cuma teman. Kakak minta maaf ya? Udah nggak usah dipikir," jawabnya. "Kakak jangan bohong, jujur aja sama aku," aku mulau berkaca-kaca.

"Dibilang cuma teman, udahlah ngapain dipikir," kata dia sambil pergi.

Aku kembali ke rumah. Menangis sendiri di kamar. Akhirnya, aku putuskan untuk mengalah dan meminta maaf sama Kak erwin. Hubungan kami baik kembali.
***
Ujian nasional semakin dekat. Kak Erwin sibuk mempersiapkan diri mengahdapi UN. Aku coba memberi pengertian, dengan tidak menggangu konsentrasi belajarnya.

Tapi, pada suatu malam, Kak Erwin bilang, kalau dia ingin ketemu sama aku. Aku memintanya datang ke rumah.Tak ada perasaan curiga apapun. Saat Kak Erwin berdiam diri, aku malah semakin bingung.

"Ada apa kak? Kok dari tadi diam aja?" tanyaku mulai khawatir. Tetapi, dia tetap diam.

"Kakak kenapa? Jangan buat aku bingung dong kak? Sebenarnya ada apa?" aku bertanya untuk kesekian kalinya.

"Tis, jujur, aku sebenarnya aku ditembak sama cewek alin," katanya sedikit ketakutan. "Ditembak, sama siapa kak?" aku kaget.

"Sama Ani, teman sekelasku," jawabnya. Hatiku hancur berkeping. Seakan ada pedang yang menancap di hati. Tapi aku mencoba tegar dan kuat. Aku mencoba bersikap biasa di depan Kak Erwin.

"Ya udah, sekarang kakak mau pilih aku atau dia?" kataku memberi pilihan. "Aku tetap milih kamu lah, tenang aja," jawab dia. Aku sedikit lega mendengarnya.
***
Suatu hari di sekolah. Bel pulang berbunyi. Aku segera keluar ruangan. Saat aku menunggu salah satu teman, aku nggak sengaja melihat Kak erwin dan Ani sedang duduk berdua.

Aku mulai semakin yakin, mereka berdua punya hubungan spesial. Saat aku bertemu Kak Erwin, aku tak lagi bisa membendung air mata untuk kesekian kali.

"Aku minta maaf karena aku nggak bisa jadi yang terbaik buat kakak. Mungkin dia yang bisa membahagiakan kakak. Hubungan kita sampai di sini saja," tuturku sambil menangis.

"Tapi aku cuna sayang sama kau, aku nggak ada apa-apa sama Ani. Kami tega banget sih," jawab dia dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Maaf kak, tapi ini demi kebaikan kita," kataku.

"Ya udah kalau itu mau kamu. Aku terima. Aku minta maaf ya udah buat kamu terluka, Tapi asal kamu tau aku akan tetap sayang dan cinta sama kamu sampai kapanpun. Dan nggak akan pernah ada yang bisa gantikan kamu jadi cinta sejatiku," ujar dia mulai pasrah.

"Makasih ya kak. Udah mau sayang sama aku. Makasih juga udah pernah ada di hatiku," itulah kata terakhir yang aku ucapkan buat dia.

Siti Umi
XI A 1 SMAN 1 Bobotsari
Read More …

Asap mengepul dari kemenyan yang dibakar. Nyanyian sinden yang menghanyutkan. Serta calung berirama dengan gending mengalun melodi yang mistis. Berbaur pula dengan teriknya matahari.

Di lapangan hijau, arena pementasan, di ssitulah Jati melenggang dengan kuda anyaman. Tak sendirian. Ia datang ditemani kawan satu profesi. Puluhan penonton menyaksikannya. Sekilas, ada yang tampak gembira, takut tapi penasaran.

Salah satunya, Nayla, seorang gadis belia. Ia ingin tahu apa yang dinamakan kuda lumping. Ingin tau pula bagaimana permainannya. Ini baru pertama kali Nayla melihat langsung pentas kuda lumping.

Sebelumnya, Ia hanya tau dari cerita orang tua dan teman sekampungnya. Selain itu, ini juga kali pertama ada pementasan kuda lumping di desa Naylal.

"Wah, itu yang namanya kuda lumping? Hem, dandanannya seperti kostum pendekar jaman dulu ya," ucap Nayla pada Dimas, kakak laki-lakinya.

"Iya. Yang berbaju hitam adalah pawangnya, yang bertugas memasukan jin pada pemain. Nah, yang pegang kuda itu, pemain yang nantinya kesurupan," jelas Dimas. Nayla mengangguk.

Setelah tarian pemanasan, satu persatu pemain terjatuh. Tampak kaku badannya. Ini pertanda mantra pemanggil, berhasil. Penonton bersorak, teriak. Sedangkan yang lain, mundur perlahan.

Jati, pemain baru dan muda ikut kerasukan. Umurnya baru 11 tahun, namun mahir dalam pementasan ini. Gerakannya harmonis, seirama dengan gendang dan gong.

Makin lama, adegan tarian makin memuncak. satu persatu pemain melahap sesaji. Dau pepaya mentah, arang yang masih menyala, pecahan kaca, kelapa muda, dagung mentah, parfum dan bunga-bunga tergelar di depan penabuh.

Ketika Jati memakan pecahan kaca, bulu kuduk Nayla berdiri. Sebuah adegan yang mengerikan, tapi justru jadi daya tarik permainan kuda anyaman ini. Dulunya, permainan ini, memang berfungsi sebagai ucapan syukur pada leluhur. Tapi sekarang, berbeda. Sekarang hanya untuk hiburan.

"Nayla mau pulang saja kak," kata Nayla seraya mengajak kakaknya.

"Yah, de, sebentar lagi juga selesai. Lagian kita sulit keluar, karena kita dibarisan paling depan. Kamu takut yah? Hahaha...," Dimas meledek.

"Lah kak, bukannya takut. Tapi kasihan sama pemainnya. Ngapain coba, mau-maunya disuruh makan sesasi kayak gitu," ujar Nayla sambil pasang muka kesel plus dongkol. Bagi Nayla, mending kelaparan dari pada kerja kayak gitu. Dibuat kesurupan pula. Tapi, Dimas hanya membiarkan rengekan adiknya.

Pementasan kuda lumping selama lima jam, selesai. Nayla dan Dimas pun pulang. Di perjalanan, Nayla mengaku kecewa pada para pemain kuda lumping itu. Nayla menganggap, mereka melakukan hal-hal yang merugikan kesehatan, karena makan kaca.

"Pemain itu bukan hanya meraup keuntungan uang. Walaupun dia butuh uang, tapi bisa saja dia melakukan hal tersebut karena dia ingin melakukannya, karena ingin mengembangkan bakatnya. Seharusnya, mereka diacungi jempol.

Baru 15 tahun tapi mampu menjalani hidup sebagai pemain kuda lumping. Padahal, usia segitu, gengsi dan rasa malu sangatlah besar. Tapi dia barani pentas. Masih muda sudah bisa melestarikan budaya Indonesia. Coba kalau tidak ada yang melestarikan, nanti bisa banyak negara lain yang mengklaimnya.

Maka itu, mari kita lestarikan budaya, selagi masih muda. Kan katanya pemuda itu penerus bangsa. Bukan begitu adikku tercantik," jelas Dimas panjang lebar.

"Hem, iya, iya, iya. Ternyata Nayla salah mengatakan selumnya," jawab Nayla sembari senyum. Keduanya sampai rumah. Nayla dapat pengalaman menarik, hari itu.

Dian Ayu Antika
XI A 3
Read More …

Ngomongin budaya, biasanya cuma seputaran "budaya kita yang wajib dijaga agar nggak dicuri bangsa lain". Nah, ayo kita coba cari sensasi lain. Kita kuak budaya yang ada di sekolah.

Ayo kita telanjangi satu demi satu (hwa!). Let's go....

Pertama yang bakal kita bedah, budaya menyontek. Mulai dari bikin prasasti di meja, bikin tato, bikin coretan di kertas atau hape, sampai aksi tengak-tengok. Itu beberapa bentuk budaya menyontek.

Budaya yang satu ini, bener-bener jadi soulmate-nya siswa. Meski dibenci, dinistakan, dan dilaknat. Toh, masih ada aja yang ngerasa hampa tanpa menyontek. Yah. Nyontek udah mendarah daging dalam kehidupan sekolah siswa.

Selanjutnya, budaya 3S alias senyum, sapa dan salam. Slogan ini emang lekat sama Smansabozz, tapi kok kayaknya slogan "resmi" itu hanya berlaku cuma pas MOS saja. Itupun karena tuntutan dari senior, bukan kesadaran. Kebanyakan kayak gitu.

Praktiknya, selama kurang lebih delapan jam di sekolah, jarang banget kan kita temui penerapan 3S itu. Padahal, senyum saja udah enak dipandang mata. 3S berlaku buat sesama yang kenal doank. Hmm.

Nah, ada lagi nih, budaya TP-TP. Budaya tebar pesona. Kalau budaya ini, lebih sering dipakai senior pas ada juniornya. Tapi, kadang ada juga yang sebaliknya. Malah, nggak sedikit kok. Biasanya, yang ngelakuin TP-TP ya orang yang butuh eksistensi.

Budaya "say-hello-nggak-etis-banget". Mudeng nggak? Begini. Kan kadang kalau ada kelas yang kosong, pasti ada aja anak yang berkeliaran. Nah, mereka itu sering say hello sama anak-anak yang lagi serius belajar.

Meski say hello-nya itu nggak penting banget, anak di dalam kelas, biasanya jadi ikutan geli sendiri, ndengerin kata-kata anak-anak kelas lain itu.

Yang terakhir, budaya nge-gank. Belakangan, banyak banget genk-genk bermunculan di sekolah. Malah kebanyakan, genk cewek. Genk itu isinya cuma narsis bin alay mulu. Banyak orang yang menilai, membikin genk malah kayak lagi anti sama sosialisasi sama orang luas.

Hm, mungkin itu budaya yang ada di sekolah. Tapi semua itu versiku loh. Sebenernya masih ada banyak, tapi itu dulu lah. Silahkan memilih mana yang mau dilestarikan dan disingkirkan.

Dan semua itu bisa dimulai dari 3M. Mulai dari diri sendiri, mulaid ari hal kecil dan mulai dari sekarang. (thx to Her Riyanto for your inspiration)

Bahiyatul Musfaidah
a.k.a Vaydha Ashdhifa
SMAN 1 Bobotsari
XI A 2

*) gambar diunduh dari google.com
Read More …

Dimasa sekarang, yang serba modern, kebudayaan makin sedikit yang memperdulikannya. Bahkan, hampir saja musnah. Kini, kebanyakan orang yang beranggapan budaya itu kuno, jadul dan norak.

Contohnya, para siswa yang enggan menggnakan bahasa daerahnya sendiri dengan baik, di kehidupan sehari-hari. Alasannya, "nggak gaul". Mereka malah memilih membudayakan bahasa asing. Bukankah itu hal yang aneh?

Contoh lainnya, penggunaan bahasa jawa di sekolah. Jarang sekali siswa yang bisa berbahasa jawa dengan baik dan benar. Boleh dibilang, mereka itu orang jawa yang kehilangan kejawaannya.

Dan juga, tari-tari jawa dan tradisional lainnya. Sekarang, sedikit sekali yang orang yang bisa memainkannya. Kebanyakan, terutama kaum mudanya, lebih mengenal gerak tari modern. Tak pernah berpikir soal bagaimana nantinya nasib kekhasan daerahnya. Apa tak malu?

Memang aneh, seharusnya, sebagai anak muda mau melestarikan peninggalan nenek moyang kita, agar tak punah. Bukan malah meninggalkan dan membiarkannya punah begitu saja.

Anak-anak muda zaman sekarang malah lebih memilih membudayakan budaya asing, yang gaul dan keren. Padahal, mereka bisa saja keliru.

Sudah sepantasnya kita membudayakan, melestarikan budaya kita agar tetap ada. Melakukan sesuatu agar budaya kita menjadi eksis di kalangan masyarakat luas.

Sehingga, akhirnya, semakin bnayak orang yang mengetahui budaya yang kita miliki. Rasanya, akan sangat membanggakan bila hal itu terjadi.

Astia Visti
SMAN 1 Bobotsari
XI A 2

*) gambar unduhan dari google.com
Read More …

Renungan arti hidup di malam hari
Ku rasa malam tak berujung
Gunung tak terdaki
Laut tak dapat disebrangi
Mekar bunga tak mewangi

Kala gelisah mengusik hati
Jiwa raga terasa rapuh
Hidup ini bagai debu tak terbawa angin
Bagai bunga tukik ditelan ombak
Bagai burung tanpa sayap

Rapuh, rapuh, rapuh
Itu yang kurasa
perih karena tak dianggap
Menyakitkan
Sungguh menyakitkan

Tugi Mujiati
SMAN 1 Bobotsari
XI A 3
Read More …

Indonesia....
Bertabur bunga dalam satu cinta
Terangkai kata dalam satu semboyan
Bhineka tunggal ika....

Ema Winduani
SMAN 1 Bobotsari
XI A 2
Read More …


“Inspiration comes to me!” Begitu teriak salah seorang teman. Sambil garuk-garuk kepala. Waktu itu, dia lagi bingung mau nulis apan. Padahal udah deket sama waktu tenggat.

Hm, kebanyakan kita pasti ngerasain keadaan semacam itu. Keadaan dimana kita itu ngerasa kering ide. Betul-betul kering kerontang. Nggak ada satu hal pun yang bisa diungkapkan. Fuih, sampe-sampe kita bisa aja dibikin gila.

Ide. Ya, ide memang sesuatu yang unik. Saat kita nggak berharap, kita malah bisa dapat ide-ide baru begitu aja. Clink! Lampu bohlam di atas kepala kita nyala mulu.

Eh, kalo lagi nyari dan ditunggu-tunggu kita malah stag. Nggak ada satu ide pun yang muncul. Alamak, susahnya!

Ide-ide menarik nan kreatif selalu kita buru kemana aja. Ada yang nyarinya lewat googling, ngecebres sama orang lain, ndengerin musik, main game, malah nggak ada yang nyarinya sambil nongkrong di kamar mandi.

Tapi, apa musti gitu cara nyari ide. Kan ide itu bukan semacam wahyu, kita nongkrong manis di kamar mandi, lantas, bruk! ide datang berhamburan. Ya kalo bener-bener dateng, lha kalo nggak, apa kita musti nongkrongin tuh si leher angsa. Walah!

Melihat kita. Sebenernya, teman FFP 2010 itu udah jadi solusi ampuh buat kemandekan ide dan kreatifitas kita. Saat kita nggak tau apa yang mau kita ceritain, coba liat apa yang ada di sekitar kita. Di sanalah sejatinya ide-ide menarik tersimpan. Selama ini, kasat mata.

Dan untuk membongkar yang kasat mata itu, ada sebuah senjata yang ampuh: kepekaan. Ya, kepekaan atas banyak hal yang ada di sekeliling kita itu yang jadi senjatanya. Musti selalu diasah juga.

Nah, setelah itu, tinggal ide kita itu dibikin lebih special alias lain daripada yang lainnya. Keluar dari kotak! Pemikiran itu bisa jadi trik lain yang nggak kalah ampuhnya.

Gimana, masih bingung juga. Jadi inget nih sama kata seorang guru di desa, “saat nggak ada ide, sebenernya itulah idemu!”. Tapi, ya itulah yang disebut seburuk-buruknya ide. *immo*

[materi ini pernah diobrolin pas lagi workshop film dokumenter ekskul broadcast SMAN 2 Purwokerto bareng CLC Purbalingga]
Read More …

Foto ini diambil pas cengloe lagi makan siang bareng dengan komunitas Lare Purwokerto, beberapa waktu lalu. Waktu itu, kami main dan ngobrol santai soal cara mengembangkan media dan kemampuan menulis.


Sudah lama rasanya nggak bikin tulisan di halaman blog cengloe. Hm, mungkin lebih tepatnya, lama banget.

Tapi, kayaknya lebih baik telat, dari pada nggak bikin tulisan sama sekali. Dan kayaknya, pemikiran seperti itu, yang selalu kita andelin kalau kita kepepet dituduh pemalas. Ya kan?

Selama cengloe vakum nggak nulis di blog, bukan berarti cengloe nggak ngapa-ngapain. Yah, kalau artis-artis bilang sih, lagi kegiatan off-air. Dan cengloe juga tetep menjelajah di banyak dunia. Dunia lingkungan hidup, dunia sosial, dunia media, kecuali dunia gaib khas dunia lain.

Maka itu, jangan bosan bermain dengan cengloe. Akan banyak cerita yang cengloe kabarkan. Kecil, besar, dekat atapun jauh. Itu dulu saja ah.

Selamat membumikan Ide!!
Read More …

"Saya punya cara jitu gimana biar bisa nulis!"
Begitu kata Kang Bowo Leksono pas ditemui di Kedai Telapak, Senin malam kemarin. Dia ngomong gitu pas lagi ngobrol-ngobrol singkat sama Immo, Ica dan Yap. Kata-kata meyakinkan itu muncul lantaran dua perempuan, ica dan Yap, sempat berbagi soal susahnya bikin tulisan.
Nah, makanya cengloe juga bakal berbagi sedikit soal obrolan malam itu. Terlebih, banyak teman cengloe yang juga curhat gara-gara nggak bisa nuangin ide yang dimilikinya. Ide udah ada, tapi nggak bisa njadiin sebuah karya tulisan.
Dua perempuan itu ngobrol soal susahnya nulis. Ide yang segudang nan melimpah ruah, kerap lenyap begitu saja pas udah di depan monitor komputer. Meskipun kadang udah bisa nulis, eh malah nggak bisa menentukan fokus materi penulisan. Alhasil, mbleber deh tulisannya.
Mendengar cerita itu, Pegiat film asal Purbalingga itu langsung sigap bertanya; sebenernya apa sih yang bikin kalian jadi susah nulis? Lalu, kalau udah bisa nulis, hal apa yang membikin tulisan itu bisa jadi?
Dua pertanyaan itu nggak langsung dijawab. Sepele namun susah dijawabnya. Cengloe juga pernah sempet nanya hal yang serupa ke teman cengloe. Dan kebanyakan cuma njawab; bingung. Bingung mau menulis apa dan bagaimana cara menuliskannya.
Menulis. Menulis. Menulis. Itu cara jitu yang diajukan Pegiat film yang lagi sibuk bikin film dokumenter penderes gula kelapa di Desa Pageraji Cilongok.
Sekali lagi, hal sepele namun susah dijalankan. Gimana nggak, kalau nulis satu aja susah, gimana mau menulis banyak tulisan dalam satu hari. Itu mungkin yang ada dipikiran teman cengloe semua.
Tapi, Kang Bowo punya alasan sendiri. Baginya, dengan kebiasaan menulis, kita bakal lebih luwes menyusun kata dan menyusun alur cerita. Apalagi kalau sehari bisa lebih dari tiga tulisan. Mencontek gaya menulis orang lain tidak jadi soal, namun pelan-pelan musti mengembangkan gaya menulis sendiri, kata dia.
Namun, dia buru-buru menambahkan, "Tentu aja, jangan meninggalkan membaca!," tandas dia.
Satu cara jitu sudah dibagi lagi. Kali ini yang berbagi malah Kang Bowo, yang notabenenya sudah malang melintang di dunia penulisan sebelum fokus ke dunia perfilman.
Nah, apa masih bingung apa yang dilakuin kalau bingung nulis. Kalau masih bingung, ya buru-buru aja nanya. Kan kayak orang bilang, mau bertanya sesat di jalan.
Selamat Membumikan Ide!!
Read More …

"Aku mau mengirim tulisan, bolehkah?"
Pertanyaan singkat itu diajukan seorang teman dari Purwokerto. Singkat namun sangat menggelitik bagi cengloe. Soalnya, jawabannya sudah barang tentu boleh. Lagi pula sejak kapan cengloe jadi songong lantas ogah menerima tulisan teman cengloe.
Namun, pertanyaan teman yang satu itu, diakui atau tidak, memang sedikit mampu menghibur cengloe. Mirip "angpau" disaat lebaran yang diterima anak-anak. Pasalnya, dengan begitu peran cengloe sebagai media partisipatori bakal terwujud. Eits, teman cengloe sekalian dah tau kan soal media partisipatori yang cengloe maksud?
Hm, tapi bukan bermaksud memandang rendah kemampuan berpikir teman cengloe, kita mau kasih penjelasan versi cengloe sendiri. Begini, cengloe itu berdiri sebagai ruang buat memajang karya tulisan teman cengloe semua. Jadi, harusnya, (ini ngomong seharusnya lho yah) semua tulisan di tiap rubrik yang cengloe punya itu berasal dari teman cengloe semua. Mulai dari AJKN sampai Ngelayah.
Jadi, yang semestinya nulis tiap bulannya, ya bukan tim cengloe kayak biasanya. Tim cengloe nantinya cuma jadi semacam redaktur aja. Teman cengloe semua yang jadi penulisnya. Nah, gitu semestinya format media partisipatori yang cengloe usung dari awal.
Tapi, ternyata budaya membaca dan menulis di kalangan remaja Banyumas dan sekitarnya emang nggak berkembang. Budaya yang lagi digandrungi malah budaya nampang dan omong besar. Penyebabnya? Kompleks, tentu.
Maka itu, saat setahun yang lalu ada teman cengloe yang mau belajar nulis bareng plus bikin media, cengloe sangat apresiasi betul. Nah, sekarang, kumpulan anak yang dulu barajar bareng udah bikin Komunitas Lare dan bikin Buletin Jingga.
Dan cengloe pun sangat senang kalau memang ada yang berniat kirim tulisan. Mulai dari puisi, cerpen, artikel, krikatur bahkan foto. Selalu ada ruang buat buah tangan teman cengloe semua. Seperti media, blog, catatan Facebook sampai antologi.
Jadi, kayak kata seorang teman yang lain; mengembangkan potensi diri itu bukan soal ruangnya melainkan semangat buat memanfaatkan ruang yang ada, sekecil apapun ruang itu.
Ya, jadi kenapa masih berdiam diri saja. Gerakan tangan, bumikan ide. Dengan senang hati cengloe bakal menyediakan ruang buat teman cengloe semua.
Selamat Lebaran 1431H.
Maaf Lahir Batin.
Mari Bercerita!
Selamat Membumikan Ide!
*immo*
Read More …

DOWNLOAD CENGLOE EDISI 11 DISINI

Belakangan, sebuah penyakit mendera cengloe. Hampir membikin cengloe masuk UGD. Cengloe kritis. Cengloe dibuat nggak berkutik. Penyakit itu bernama kesibukan.

Kesibukannya bukan cengloe secara keseluruhan. Tim cengloe. Melainkan menghujam langsung ke diri tim cengloe, immo, nara dan ansa. Ketiga orang itu terjebak dalam kesibukan dunianya masing-masing. Dan ternyata, nggak gampang buat lepas dari jeratan itu.

Seketika cengloe pun lesu. Denyut nadi hampir nggak kentara. Serba minim gerakan. Sangat minim. Mungkin yang agak kerasa cuma sedikit udara yang cengloe hempaskan.

"Cengloe kok sekarang kayak gitu sih?" Kata itu sekonyong-konyong menghantam telinga cengloe. Mata yang tadinya hampir tertutup, tiba-tiba dibikin terhenyak. Nggak lama kemudian, berbagai suara pun menghinggapi.

"Kok ilustrasi cengloe agak berubah yah?"

"Aku mau kirim buat rubrik SeMeEs, masih bisa?"

"Mana edisi cengloe yang selanjutnya?"

Kata-kata itu silih ganti datang. Nggak cuma berasal dari satu orang.

Tiba-tiba detang jantung cengloe kembali berdegup. Semakin kencang. Mirip superhero yang hampir tewas malah bisa bangkit lagi. Dan cengloe, pun bangkit lagi dari masa kritisnya.

Ini bukan omong-omong ala infotainment yang nggak jelas juntrungnya. Tapi, kenyataan tentang kebangkitan cengloe jelas bukan omong kosong.

Cengloe edisi 11 adalah buktinya. Bukti nyata, bukan omong-omong ngelantur.

Dan diakhir, cengloe menyadari betul, kalo semua sumber inspirasi bukan ada di cengloe sendiri. Melainkan di teman-teman cengloe semuanya.

Maka itu, cengloe nggak pernah memungkiri, menutup mata dari semangat terus berkarya. Bukan semata untuk menyalurkan hasrat tim cengloe, tapi demi teman cengloe juga.

Soal penilaian, kritik, bahkan pujian, cengloe serahkan sama teman cengloe. Toh, itu semua bukti cinta. Bukti cengloe dibaca. Semoga bukan kata yang muluk.

Selamat membumikan ide!!

Nah, ini link buat mengunduh cengloe edisi 11.

DOWNLOAD CENGLOE EDISI 11 DISINI
Read More …


Dulu, semasa SMA, ada seorang teman yang kebingungan lantaran di suruh nulis pas lagi pelajaran Bahasa Indonesia. Temen sebangku itu, nggak tau mau nulis apaan. "Aduh, mau nulis apan nih?"

Namun, pertanyaan sederhana itu, malah dijawab sama pak guru dengan jawaban yang jauh lebih sederhana lagi. "Tulis aja apa yang kamu pikirkan. Jangan mikirin apa yang kamu tulis dong", begitu kata guru bahasa indonesia itu.

Hm, kita emang sering banget kebingungan ketika ada tuntutan buat nulis. Tuntutan dalam bentuk apapun itu. Kita dibikin bingung, mau nulis tentang apa, alurnya gimana, kata pertamanya apa, atau malah judulnya nggak tau apa. Dan nggak jarang, gara-gara itu, niat buat nulis lenyap entah kemana.

Padahal nulis itu gampang. Cukup merangkai kata dari A-Z secara acak. Dan soal tema, semuanya ada di sekitar kita.

Buat temen-temen yang hobi ngobrol, pasti tau. Menulis jelas nggak sama persis dengan ngecebres. Tapi, soal tema, keduanya sama. Tema-tema yang digunain semuanya ada sekitar si penulis atau si pencerita.

Ngeliat sekitar kita, itu kuncinya. Bukankah, seperti kata orang, manusia adalah pencipta peradaban. Jadi, sebenernya, banyak banget cerita yang bisa diangkat dalam tema tulisan.

Anak kecil. Manusia dewasa. Cinta. Benci. Permusuhan. Perasahabatan. Keluarga. Sekolah. Jalanan. Desa. Kota. Budaya. Seni. Perjalanan. Kematian.

Itu jelas baru seberapa. Masih banyak hal yang bisa digali di sana. Dari cerita. Ya, cerita hidup manusia.

Antologi Artikel, Cerpen, Puisi.

Itulah solusi kecil yang coba cengloe tawarkan. Sebuah ruang nyata yang nggak cuma mendorong potensi teman cengloe dalam dunia tulisan. Tapi, sekaligus sebagai jawaban atas minimnya ruang apresiasi bagi penulis muda di tanah panginyongan ini.

Dengan mengangkat tema "Cerita Hidup Manusia", cengloe barharap teman-teman mampu mendedah cerita-cerita yang ada di sekitar teman cengloe. Mengangkat tema-tema kecil dalam sebuah narasi sarat makna.

Seperti kata Soe Hok Gie, yang berpijak ke tanah-lah yang tumbuh subur. Begitu juga dengan "buah tangan" teman-teman. Itu harapan kecil cengloe.

Antologi ini, cengloe sediakan bagi siapapun yang hendak menggoreskan tinta emasnya. Nggak ada lagi sekat umur, jarak atau malah tinggkat pendidikan. Semuanya, tumpah ruah di Antologi Artikel, Cerpen, Puisi.

Nah, tema udah ada. Cerita pun siap tersedia. Dan ruang pun udah mapan. Lantas, kenapa masih bengong aja. Mari bercerita!

Selamat membumikan ide!!


Tim cengloe.
Read More …

"Lama sudah masyarakat Banyumas, Jawa Tengah, terpinggirkan sebagai ”wong ngapak-ngapak” yang kampungan. Kini, mereka bangkit dengan percaya diri pada budaya ”panginyongan”." (Merayakan Budaya "Panginyongan", Kompas Minggu 20 Juni 2010)

Senin (20/06) kemarin, aku ditanya sama seorang wartawan , Chandra Iswinarno. Begini pertanyaannya kira-kira, "udah baca kompas edisi minggu? Gimana menurutmu?"

Alamak. Udah tentu aku belum membacanya. Sembari mengkambing-hitamkan duit yang limit, aku tetap bersiap dengan cibiran yang mungkin bakal aku terima. Dan benar, cibiran itu datang. "Lha pegiat dunia tulisan kok nggak pernah baca koran. hehehe."

Mlam itu juga, aku lantas membuka kompas.com. Ternyata, ada tiga tulisan yang dibikin Kompas. Merayakan Budaya "Panginyongan", Dari Siswa sampai Video "Mantenan", dan GERILYA SINEMA dari Purbalingga.

Cara bercerita yang menarik. Berpijak dari perkembangan film pendek di Banyumas, banyak hal terkait Banyumas mulai dikuak. Rasanya sejalan dengan apa yang dilakukan TvOne pas lagi bukin feature soal geliat perfilman Banyumas.

Ada semacam kebanggan dengan dimuatnya budaya Banyumas di media-media nasional. Gimana nggak, Banyumas dan budayanya yang selama ini dijadikan bahan lawakan, mulai bisa nunjukin siapa dirinya yang sebenarnya. Siapa "Kang Bawor" sesungguhnya.

Tapi, yang terlintas di otak ini nggak cuma kebanggan akan Banyumas aja. Namun, muncul semacam rasa dilematis. "Kita (banyumas -red) terlalu besar diluar tapi keropos akut di dalam." jelas Chandra.

Ya, rasanya kata-kata wartawan itu nggak terlampau berlebihan. Liat aja di berbagai media. Mulai dai koran lokal, film, hingga blog. Semua media itu menjadi "ruang pamer" nilai-nilai lokalitas yang selama ini diyakini di Kota Panginyongan ini. Hebat betul Banyumas ini rasanya.

Eits, tunggu dulu. Liat dulu kedalam, kenyataannya. Semuanya serba semrawut. Nilai-nilai yang termuat di berbagai media itu, kosong mlompong. Kadang aku mikir mental orang2 (mudanya), begitu hipotesis kecil yang aku punya.

"Nah itu, yang bermasalah akhirnya kita terlalu dibuai. Itu yang membuat generasi muda banyumas tidak kreatif. Liat aja saat ini." ungkap Chandra.

Kaum muda Banyumas ini memang lucu. Mereka lebih memilih mengekor budaya orang pendatang. Mereka larut dalam budaya yang diseragamkan seperti yang selama ini melatah dalam tayangan televisi yang dipenuhi sosok berkulit putih, tinggal di rumah mewah, berpakaian modis, ngomong bahasa gaul, dan suka mejeng di mal.

Daripada bergairah untuk menemukan sosok budayanya sendiri. Ketimbang dengan PeDe nunjukin jati diri sebagai orang yang cablak, terbuka dan tanpa kelas alias egaliter. Serta nggak mentingin sopan santun berlebihan.

Huh. Aku nggak sedang berniat menghakimi siapapun. Ato malah jadi yang paling bener. Sebab, terlampau banyak alasan yang sebenarnya bia dimunculin. Hanya lagi bercermin dengan diri cengloe sendiri, dan khususnya pribadiku sendiri.

Nah, kenyataan udah di depan mata. Pahit-manis, itulah kenyataan yang musti dibereskan.

Sejalan dengan itu, banyak ruang yang bisa dicipta. Bukankah membekap kreatifitas dan mengkebiri jati diri itu nggak bijak?*immo*

Selamat Membumikan Ide!!
Read More …

Rasanya belum lama edisi perdana cengloe dibikin. Sekaligus sebagai pijakan awal eksistensi cengloe di bumi Banyumas ini. Peluh dan grundelan-nya aja masih belum ilang. Tapi kok, ternyata udah satu tahun berlalu sedari cengloe edisi pertama terbit.

Kini, ibarat seorang bayi berusia satu tahun, cengloe pun lagi asik-asiknya belajar jalan. Tretehan, kalo orang tua bilang. Cuma, bedanya, cengloe udah tau kemana harus menapakan kaki. Guratan pena cengloe-lah yang bakal ngasih tau, kepada teman-teman cengloe, kemana jejak-jejak itu mengarah.

Dengan semangat untuk menghargai; manusia, alam, dan budaya lokal, cengloe mengajak teman-teman cengloe turut belajar berjalan. Berjalan menuju sesuatu yang lebih baik dan menggelorakan.

Nah, selamat membaca! Selamat membumikan ide!



download saja Cengloe #10 di sini:
http://www.ziddu.com/download/10336879/Cengloe10.pdf.html

bergabung dengan facebook kami
Oemah Cengloe atau Grup Oemah Cengloe

email kami: oemahcengloe@gmail.com


Read More …

Di lereng bukit, aku bersitatap dengan pohon-pohon pinus. Menjulang ke langit. Berjejer dengan rapi. Aku berjalan di antara mereka. Sambil sesekali mengamati kristalan getah yang tengah disadap, aku berjalan menuju sungai.

Kuniatkan hatiku untuk susur sungai. Mengikuti aliran air turun ke arah timur. Sesekali kulihat pipa-pipa centang-perentang ke arah rumah-rumah penduduk. Meski ada banyak rumah penduduk di sekitarnya, air sungai tetaplah jernih. Penduduk setempat tak hanya memanfaatkan, namun juga merawat. Ini bukti kecil bagaimana alam bisa hidup berdampingan dengan manusia. Aku seakan bisa merasakan aroma kenyamanan alam. Meski dalam diam.

Kucelupkan kakiku. Dingin terasa menusuk kaki telanjangku. Menapak di atas bebatuan licin. Dengan sesekali terjerembab ke dalam lumpur. Semakin berjalan ke timur, aku menemui aliran putih berbusa bernama deterjen, dengan sok kenal menjumpai aliran sungai. Ikan-ikan tampak gentayangan, berlari menjauh dari busa-busa nan mematikan.

Tak lama, ku temukan, plastik warna-warni menebar pesona pada aliran sungai. Tak mungkin sang sungai yang baik hati menolak. Dia membawa plastik warna-warni, larut dalam alirannya.

Semakin ke arah timur, semakin kutahu sungai ini terlalu baik hati. Dia mengajak serta sandal jepit lusuh, keranjang rotan rusak, dahan pisang busuk, hingga tumpukan plastik buruk rupa.

Namun mereka akhirnya harus berpisah. Sesampai bendungan, plastik dan sebangsanya, disaring. Dipaksa untuk tetap bertahan. Mereka saling bertumpuk, sambil mohon ijin kembali mengikuti aliran.

Bertumpuk. Menggunung berbagai rupa. Kujumpai berhari-hari, tak pernah gunungan itu berkurang. Malah semakin tinggi, dan terus bertambah tinggi. Alhasil, jebol sudah pertahanan si penyaring. Tak kuat menahan sampah yang menggunung.

Aku terhenyak. Merasa ada sesuatu yang tak beres. Aliran telah berubah, dari tenang, lalu mengganas. Sang sungai tengah gelisah. Aku seakan bisa merasakan aroma kemarahan, di tiap gelora alirannya. Manusia telah serakah. Dan kutahu sungai tak selamanya bisa baik hati.
****
Read More …


Sebelum, naik Gunung Slamet, seorang anggota Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Fakultas Sastra UI ditanya, untuk apa sih mendaki gunung. Dapet pertanyaan itu, pemuda berperawakan kecil itu geram. Tapi, dia nggak bergeming. Dia terus mendaki.

"Kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan-slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itu kami naik gunung."

Kata-kata itulah yang jadi jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan 40 tahun lampau, sepulang dari pendakian. Pemuda kelahiran 17 desember 1942 itu bernama Soe Hok-Gie.

Nah, kalo pertanyaan itu diajuin ke para pecinta alam (PA) jaman sekarang, apalagi di tengah ancaman pemanasan global. Kira-kira jawabannya bakal kayak apaan yah?

Mungkin ini, mungkin juga itu. Yang jelas, jawaban kayak yang Gie kasih bakal susah banget didapet tuh.

Alasannya, simple banget. Sebab, niatan buat "mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat", udah diganti sama niatan yang jauh lebih personal. Macam dapet background foto narsis yang keren, kepuasan berdiri di puncak gunung, atau malah bangga udah nempelin nama bekennya di pohon.

Semua orang jelas nggak bisa menafikan kalo citra pecinta alam udah rusak di mata kebanyakan orang. Kata PA nggak lagi diartiin pecinta alam, tapi sekedar penikmat alam atau malah perusak alam. Ironisnya, semua itu lantaran polah mereka sendiri.

Yang terliat sama kebanyakan mata, malah tingkah narsis nan egois yang nggak jarang ngerusak alam. Melabeli batu di gunung dengan nama sekolah, metik eidelwais secara berlebihan, buang sampah sembarangan, dan sebagainya, dan sebagainya. Soal peduli alam dan lingkungan, non sense.

Emang, kegiatan PA nggak melulu naik gunung. Ada panjat tebing, ada flying fox, ada jelajah alam, ada juga yang lainnya. Sayangnya, sekali lagi, kegiatan mereka itu justru makin ngeliatin kalo cinta atas alam itu udah tergerus. Ato jangan jangan, cinta itu emang nggak ada ya??

Orang-orang yang yang ngaku jadi pecinta alam, terlampau asik menguasai teknis-teknis semacam itu. Sementara itu, sampah semakin bergunung-gunung, pohon-pohon bertumbangan, dan sungai menghijau airnya.

Kau takkan tau nasib manusia di sekitarmu, karena kau selama ini hanya melihat jiwamu. Begitu kalo kata Sherina Munaf.

Ah, kalo udah gini, gimana dengan nasib alam Indonesia? Yang jadi garda depan buat ngerawat kelestarian alam aja udah nggak bisa diharepin. Apalagi orang yang emang nggak mau perduli sama alam. Wah, bahayuud nih....*immo*

Read More …


Pupu. Sekang jenenge bae wis katon mengini pisan. Apa maning nek pupu ayam goreng sing diwei gratisan. Heleh-heleh, jan, nylekamin pisan mbok. Lha nek pupu manungsa piwe jal? Ora ndadak njaluk apa maning mbayar. Siki andon juguran sedalan-dalan, pupu manungsa gratis. Mlaku ngalor-ngidul, gagat esuk gutul awan wengi. Nylekamin? Ora. Nylekiti lha iya. Soale manungsa kuwe, seringe ora bisa ndeleng sikon,

Jan-jane sih ya lagi ora ana sing nglarang nganggo celana pendek, sing jere jaman siki jenenge 'hotpants'. Ning, koh ya, kayong sing nganggo kuwe ra mikir disit. Mlaku-mlaku nang swalayan, nongkrong nang alun-alun, ngasi numpak motor, pupune diler ming ngendi ora. Ora ndeleng sikon lha, alias situasi dan kondisi. Mbok jelas lha kabeh wong teyeng weruh.


Nek gelem jujur sih yah, ananabae sing seneng. Jere gawe mata seger, nek ndeleng pupu diler. Ngasi mentheleng, kaya nembe tau ndeleng pupu. Aja disalahna nek ujug-ujug uteke dadi ngeres. Jal, apa arep ora dadi napsu nek saben-saben disuguhi pupu sing mlekenyis-kinyis pisan. Lha nek ngko ana kedadian sing ora diarep-arepna, wong-wong arep nyalahna sapa jal? Sing ngedeng-ngedengna apa sing nggencileng bae.

Nanging ya kuwe, ora kabeh wong bakal seneng utawa napsu, ana uga sing risih. Malah kadang nganti nggrundel ning ati ngelek-ngelekna wong sing ngeler pupu kuwe mau. Lha nang nggon umum, sing kabeh mata bisa ndeleng maning. Ngrusuih pendelengan.

Nek kaya kiye bae yah,ngrumangsane rega ayam kuwe lewih dhuwur regane tinimbang manungsa lho. Soal pupu kuwe mau umpamane. Siki mbok, nek arep tuku pupu ayam, kudu bayar. Lha kiye, pupu manungsa, malah gratisan mbok. Oalah jan-jan, eman-eman temen uripe...
Read More …

Read More …

Teringat pada awal menjejakkan kaki di Purwokerto saya masih merasakan kesejukkan udaranya meski di siang hari. Pada jam setengah delapan pagi aku masih bisa menemukan kabut di depan jalan kosan saya. Akan tetapi sekarang hal itu sudah jarang sekali saya temukan, biasanya pada jam-jam pagi ketika saya keluar untuk ke warnet seberang kosan saya dan berjalan-jalan sebentar untuk menghirup udara dan merasakan kelembaban udara pagi hari. Sama seperti musim hujan kali ini namun bedanya sudah tidak ku temukan kembali keramahan embun dan kabut Purwokerto.

Saya berpikir dan membuat spekulasi sendiri. Perubahan yang terjadi pada udara di Purwokerto di picu oleh banyak hal, namun salah satunya adalah semakin banyaknya kendaraan yang melakukan aktivitas sepanjang hari. Hal itu saya rasakan betul. Dahulu saya masih sering masuk angin karena suhu udara di Purwokerto berbeda sekali dengan di Tegal. Akan tetapi sekarang justru saya lebih sering kena masuk angin di Tegal ketimbang di Purwokerto. Dahulu saya masih bisa iseng jalan di tengah jalan raya sesuka saya tanpa harus waspada ada kendaraan yang melintas seenaknya. Dibandingkan dengan sekarang bahkan jalan di bibir jalan rayapun harus ekstra waspada. Jalanan terasa semakin sempit.

Memang tidak bisa dipungkiri semakin banyaknya asap kendaraan yang berpotensi menimbulkan polusi membuat kerusakan lingkungan. kesadaran untuk melestarikan kesehatan lingkungan saya masih meragukan. Tuntutan aktivitas keseharian tidak bisa lepas dari laju kentut kendaraan. Apalagi kalo ada kendaraan yang knalpotnya sudah usang. Suaranya sudah tidak karuan, asapnya kehitaman dan pasti mengganggu pernafasan sekaligus mengganggu pertumbuhan tanaman.

Terlebih lagi orang-orang terlena dengan kemudahan. Contohnya saja beberapa teman saya atau mungkin justru banyak yang melakukannya. Jika akan membeli sesuatu ataupun membutuhkan sesuatu yang bisa di dapat hanya dengan berjalan kaki tidak sampai menghabiskan waktu 15 menit. Mereka langsung menggelayut dan mengendarai motornya, asap beterbangan kemana-mana.

Ayoo sama-sama belajar ramah terhadap tanaman dan lingkungan...









Efi Sofiana
Penulis adalah penggiat Teater SiAnak. Fisip. Unsoed
Read More …

Aku duduk di sebuah bangku merah. Sambil mengalahkan panas dengan sebuah kipas angin kecil, aku menatap pertigaan jalaa. Jujur aja, tatapan kosong yang aku kasih sama jalanan di depanku. Bukan apa-apa, aku cuma ngerasa kalo aku nggak bisa terus ngeliat lekat-lekat sederetan kendaraan yang terus berlalu-lalang. Ke kanan terus ke kiri. Ato malah ke kiri lalu ke kanan. Semua seakan mengejar waktu. Cepet berlalu.

Tiba-tiba, ada satu hal yang terlintas di otakku. Sepintas. Mungkin lebih pas kalo disebut sebagai ingatan kecil. Ya, sejumput ingatan tentang jalur Purwokerto-Bobotsari. Perjalanan satu jam yang selalu memunculkan cerita-cerita nggak terduga. Nampaknya pertigaan jalan ini membangkitkan kembali ingatan kecil itu.

Aku sedikit teringat waktu musti berangkat mengejar kuliah pagi. Bangun glasak-glusuk, mandi secepat kilat, dan naik bus pagi-pagi. Bener-bener mirip anak sekolah. Waktu itu mungkin sekitar pukul setengah tujuh.

Rasanya belum sepuluh menit berada di dalam bus, namun, bus udah padat banget. Sampe-sampe kenek bus yang mau narikin bayaran aja nggak bisa melangkah ke depan. Cuma, penuh sesaknya bus itu bukan lantaran anak-anak sekolah, tapi oleh para perempuan berbaju biru kotak-kotak dan ada juga yang berbaju hijau. Mereka itulah yang jadi tambang emas “pro investasi” Purbalingga. Buruh pabrik bulu mata.

Mereka seumuran denganku. Itu terlihat jelas. Malahan aku sekilas ngeliat wajah teman semasa SD dulu. Hanya aja, aku nggak sempat menyapa. Maklum, aku lupa namanya.

Tapi, itulah kenyataannya. Buruh-buruh perempuan di Purbalingga bak pepatah klasik, cendawan di musim hujan. Pabrik-pabrik pun semakin banyak jumlahnya. Mungkin jumlahnya udah nyaingin jumlah SMP di Purbalingga. Dan buruh bulu mata itu nggak sendirian. Masih ada buruh bangunan, buruh garmen, dan buruh tani. Meski jauh-jauh hingga ke ibukota, tetap aja jadi buruh.

Sebenernya, aku pengin nanya, kenapa mereka musti jadi buruh, nggak malah sekolah aja. Toh, pendidikan itu demi masa depan mereka juga. Lagi pula mereka masih terlampau muda untuk merasai beban ekonomi yang menjerat keluarganya.

Terlebih lagi, aku tau benar, kalo hidup jadi buruh pabrik, di Purbalinga pula, nggak ada indah-indahnya. Gaji yang jauh dari UMR, jaminan kerja yang dipertanyain, dan jaminan kesehatan yang entah bagaimana. Ah, semua itu jelas nggak bisa jadiin mereka hidup sejahtera.

Tapi, sekali lagi, itulah kenyataan. Nggak bisa lagi dinafikkan. Jika di kota tempat aku duduk ini, Purwokerto, semua pelajar berharap masuk kuliah di berbagai perguruan tinggi ternama di kota-kota pelajar, ato minimal Unsoed deh. Namun, di Purbalingga, selalu ada opsi jadi buruh, jika para pelajar dari kota “pro investasi” itu berhasil memegang ijazah.

Aku kembali dari ingatan kecilku yang saling berkejaran. Ternyata, sudah 45 menit berlalu. Sudah pukul 16.45 wib. Aku menatap lagi pertigaan jalan di depanku itu. Adakah perempuan-perempuan berbaju biru kotak-kotak ato berbaju hijau. Bukankah ini jam mereka pulang? *immo*


Read More …

Suatu kali, Ahmad Tohari ditanya soal novel "Ronggeng Dukuh Paruk". Buku itu, udah diterjemahkan dalam bahasa Banyumasan belum sih? Begitu tanya seorang kenalannya. Dan jawabannya, tentu aja belum.

Usut punya usut, ternyata, pertanyaan sepele itu membikin bapak yang tinggal di Jatilawang, Banyumas, tersentak. Udah ditranslit pake berbagai bahasa luar negeri segala rupa, kok belum diterjemahin pake bahasa Banyumasan.

Alhasil, berselang nggak gitu lama, cerita tentang perjalanan hidup seorang ronggeng itu dalam versi bahasa banyumasan, muncul. Disusul sama buku "Jegingger", yang nggak lain versi banyumasan dari novel "Bekisar Merah". Jadi nggak cuma settingnya aja yang banyumasan, tapi juga bahasanya.

Dan belum lama ini terbit novel "Geger Wong Ndekep Macan". Cerita fiksi bikinan Hari W. Soemoyo ini juga pake bahasa banyumasan. Dari depan sampe belakang. Cuma, setting Banyumas disamarin jadi Kertagama.
Tapi, di sini nggak bakal dibahas kelebihan-kekurangan masing-masing buku. Melainkan esensi keberadaan novel-novel itu.
Iya sih buku-buku itu fiksi, tapi bukan berarti semua itu nggak ada artinya. Diakui atau nggak, buku-buku itu jadi angin segar buat perkembangan sastra dan budaya banyumasan. Novel-novel fiksi itu jadi salah satu sarana buat nguri-uri budaya, bahasa banyumasan khususnya. Apalagi di tengah minimnya situs sastra di Banyumas.

Coba deh baca salah satu buku itu aja. Pasti kita bakal nemuin kata-kata yang udah jarang banget kita dengerin, apalagi dipake buat ngobrol. Sampe-sampe kita bakal bergumam, "lho kok ada kata-kata ini sih?".
Jadi, ngomongin keberadaan buku-buku berbahasa banyumasan itu, juga ngomong soal transformasi nilai-nilai budaya kepada generasi muda. Toh, tanggung jawab buat nguri-uri budaya emang di tangan generasi muda kan.

Lewat buku-buku fiksi itu, generasi tua udah mulai mewariskan budaya banyumasan kepada generasi muda. Melalui refleksi karakter tokoh, mereka nunjukin kayak gini lho orang banyumas bersikap. Dan melalui percakapan, mereka perlihatkan bahasa yang blakasuta.

Kalo udah gini, rasanya nggak bijak kalo pemuda panginyongan malah kikuk sendiri sama budaya tempatnya dilahirin. Sementara orang-orang dari luar berduyun-duyun mempelajari budaya banyumasan, sambil berdecak kagum.

Inilah momentum. Sayang buat dilewatin. Jadi, ayo rame-rame kita mengintip Banyumas dari jendela dunia! *immo*

Read More …


Pertanyataan edisi 10:
“Apa sih yang dimaksud dengan ganteng / cantik itu?”

Ini dia jawaban dari temen-temen Cengloe yang memang begitu beragam. Latarbelakang yang berbeda membuat cara pandang yang sedikit banyak berbeda pula.

(+6287838265xxx) Puthut, Banjar: “Ganteng:sebuah penilaian relatif dr seseorang ttg sesosok wajah,dmana sesosok wjah tsb dpt membuat si penilae terpesona, terpukau,terengah engah,tergandeng.Hahaha!Tnp hrus melihat parameter tbuh,umur,ltar blakg,krjan.Oopooo!!Dug!

(+6285726322xxx) Dina, Bumen: “Ganteng/cantik itu relatif...Ga sebatas fisik doank...Klo mnrtku sih lbh kpd sex appeal n dy bs behave...Bs aku blg org itu ganteng/cntk...Mskpun scr fisik g...^_^

(+6285747314xxx) Ufi, Braling: “Mnurut sya ganteng&cantik itu suatu aura yg trltak pd dr qt tdk hny dulihat dr segi lahiriah tp yg trpenting dr dlm dri qt dg mempunyai akhlaqul karimah..Hehe
(+6281391579xxx) Efi, Tegal: “Ganteng atau cantik adalah keindahan yang dimiliki seseorang baik dari segi fisik maupun dari dalam (inner beauty)

(+628562623xxx) Iyot, Praketa:”Ctk ato ganteng it ktk qt bs mnyelesaikan mslh yg ad. Wah, it aura cntk/gntng lg muncul2nya tuh! Jd cntk/gntng bkn dr fsik tok yg notabenenya cm polesan produsenkosmtetik aj.. Hehe

(+6285647670xxx) Azizah, Patikraja:”Cantik itu bagaikan emas karena iamemancarkan cahayanya ke setiap orang.Nilai emas yg sangat mahal adl dr budi pekertinya dan harta dari kecantikan tsadl dari sopan santunya. Wkwkwk...

(+6285240207xxx) Anah, Cilongok:”Scr lahiriyah ganteng/cntik adl sifat wajahseseorg yg bersih, sehat n enak dpandangshg bs mbuat org lain terpesona walaupun hatinya tk sbaik lahirnya:-)
Read More …


Derak kereta ekonomi membawaku menuju sebuah kota yang ingin kukunjungi sedari lama. jogja, mungkin bagi sebagian orang, rutenya telah hapal diluar kepala. jalan dari stasiun lempuyangan menuju malioboro, bukan hal yang membingungkan. tapi itu tak berlaku bagiku. buta jogja, itulah yang kualami. begitu pula dengan dua orang teman seperjalananku.

Untung saja, sebelum berangkat, ada seorang teman membuatkanku peta jogja, khususnya dari stasiun menuju malioboro. plus denah lokasi tempat-tempat yang ingin kukunjungi dan beberapa rekomendasi tempat makan murah.

Keluar dari stasiun lempuyangan, berbekal peta tulisan tangan tersebut, kami melangkahkan kaki. jalan kaki menjadi pilihan. alasan utamanya jelas menghemat uang mepet kami. ragu sempat membuncah, pasalnya jalan yang kami lalui tak sesuai dengan gambaran peta. namun berbekal sok tahu, kami terus saja melangkah hingga jalan malioboro kami temukan.

Sedari pagi tak makan, perut sudah menabuh irama keroncongan. setelah sedikit berputar dan tersesat di sebuah gang, kami temukan tempat makan hasil rekomendasi si pembuat peta. semangkuk soto membuat kami kembali mengisi persediaan energi. jalan kaki pun siap kami teruskan.

Di depan benteng vredenburg, kami temui enam buat patung dari batu marmer. kesemuanya kepala, tanpa tubuh. ukurannya besar, 180x700x100cm. judulnya melihat keroposnya tonggak bangsa. kesemua patung itu memang nampak keropos di beberapa bagian kepalanya. hmmm, sebuah kritik unik bagi bangsa, yang disampaikan dalam wujud seni rupa.

Ini bukan suatu hal tanpa makna. pasalnya ini merupakan bagian dari sebuah pameran seni rupa, yang digelar di taman budaya jogja. bertajuk jogja jamming "seni agawe sentosa", yang digarap oleh gerakan arsip seni rupa jogja.

Mempesona. menakjubkan. itulah kata-kata yang tergambar dalam pikiranku ketika melihat hasil karya yang dipamerkan di taman budaya. lukisan, foto, miniatur, patung, batik, dan lainnya. memang agak sulit untuk menceritakannya dalam deret kata. yang pasti banyak karya kreatif yang patut diacungi jempol.

Waktu yang sempit, membuatku tak bisa lama-lama mengaguminya. meski belum puas berkeliling, aku dan dua teman seperjalananku memutuskan untuk berburu buku. tak dinyana, kutemukan buku centhini, kekasih yang tersembunyi, karya elizabeth d.inandiak. buku ini langka di purwokerto. kata seorang temanku, buku itu kurang lebih seharga 84ribu. dan tahu berapa harganya di jogja? hanya 34ribu!

Setelah puas berburu buku, kami melangkah pulang menyusuri malioboro. ingin rasanya menikmati malam di malioboro, tapi sayang terbentur dengan kondisi keuangan kami yang mulai kembang kempis. meski tak lama, rasanya aku jatuh hati pada jogja. kamera yang kubawa, sedari tadi tak henti membidik. banyak hal menarik. bangunan, lanskap kota, juga human interestnya. sebuah padu padan memikat.tak sayang rasanya, hari ini kuhabiskan di jogja. (Nara)
Read More …

Tik.tok.tik.tok. jam dinding di kamarnya tak berhenti berdetak. kamarnya berantakan. pintu dan jendela tertutup. gelap dan lembab. tak disangka ada manusia bertahan hidup di dalamnya. wajahnya pucat. terbujur lemas di atas kasur tipis berkutu. matanya sayu, dengan lingkaran hitam di bawahnya. hasil dari begadang tujuh hari tujuh malam.

Dramatis, memang. dia tak bisa tidur. insomnia, katanya. obat tidur telah ditelannya, namun tak berhasil. paling lama setengah jam dirinya tertidur. menghitung domba, dilakoninya tiap malam. nihil hasilnya. hingga jutaan domba, tapi matanya tak jua mengantuk.

Penyakit ini dideranya seminggu yang lalu. tak banyak yang tahu apa penyebabnya. tapi dari mulutnya berkoar dia menderita penyakit kesendirian akut. tak punya siapapun untuk berbagi. untuk diajak mengerti, memahami, atau bahkan mendengarnya. terpuruk dalam jurang kesepian, itu yang dialaminya kini. ah, malang benar.

Malam kedelapan. kembali dijalaninya ritual menghitung domba. pikirannya melayang ke binatang berbulu gimbal, yang tengah berlarian di padang rumput. hingga hitungan enam ribu empat ratus lima, pikirannya bertemu dengan domba berwarna merah muda. aih, mirip babi, tapi berbulu gimbal. aneh benar!

Dia tertawa. dipegangi perutnya, yang geli setengah mati. tak dinyana, si domba melotot ke arahnya. tak hanya melotot, si domba juga berteriak memarahinya. kaget bukan main, rasanya.

Dialihkan pandangannya pada jam dinding yang menunjuk pukul dua pagi. tapi ternyata si domba tak mau pergi. justru semakin nyata. kini si domba muncul di hadapannya. bahkan bulu domba menyentuh ujung kakinya.

Ini nyata. ada domba di kamarku, ujarnya. dikerjap-kerjapkan matanya, domba masih ada. diacak-acak mukanya, domba masih ada. ditarik rambutnya, dipijit keningnya, hingga dibentur-benturkan kepalanya, domba juga masih ada.

Frustasi setengah mati, diajaknya domba berbicara. ternyata bisa! domba paham masalah ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan, bahkan kepariwisataan. menakjubkan! ketika ditanya soal gosip selebritis pun, si domba menguasai. aih...domba macam apa ini?

Tak masalah, ini domba jenis apa. yang jelas, aku tak lagi sendiri, pikirnya. ada domba untuk berbagi cerita. menganalisis masalah, hingga mencari solusi, didiskusikan di malam-malam selanjutnya. tak jarang, diselingi mengerjakan soal matematika dan merancang rumus-rumus kimia.
***
Aku terpaku. aneh benar pikiranku malam ini. bertemu dengan domba yang bisa bicara. ah, sendiri kala malam, kadang membuat pikiranku melayang tak jelas. imaji gila berkeliaran. ngalor-ngidul. tercipta suara, sahut-menyahut. suaraku sendiri.

Namun inilah kebebasan. pikiranku bebas mengembara. tanpa dibatasi norma dan aturan kehidupan. kunamai ini hasrat kreatifitas. kusalurkan hasratku, hingga tercipta sesuatu.

Pagi menjelang. kudapati lukisan padang rumput. dan setumpukan kertas. kubaca. ternyata tulisanku. soal manusia insomnia yang bertemu domba. aku tertawa. aku berkarya! (Nara)
Read More …

"Bila kebiasaan menulis belum terlatih dikalangan pelajar, memaksa untuk berlatih menulis adalah salah satu strateginya." - Bowo Leksono -


Motor Vega R dipacu dengan cepat. Gerimis terus setia menemani dari Jl. Stasiun hingga Villa Lela Arif. Di villa berkamar tiga itu, cengloe hendak berbincang soal ide dan riset dokumenter serta fiksi. Sabtu (12/06) sore itu, anak-anak ekskul broadcast SMA Negeri 2 Purwokerto menggelar workshop film, 12-13 Juni 2010.


Meski diburu-buru, ternyata workshopnya belum dimulai. Lantaran, LCD sekolah yang harusnya dipakai buat pemutaran film mendadak nggak bisa. "Katanya, dipakai semua." cerita Nanky Nirmanto, Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga.

Padahal workshop akan benar-benar dimulai jika peserta udah menonton film. Alhasil, workshop benar-benar dimulai itu sekitar pukul 19.30. Pemateri workshop dua hari itu, Bowo Leksono, Nanky Nirmanto dan Asep Triyatno dari CLC serta Bangkit Wismo (immo) dari cengloe.

Film yang diputar ada delapan film. Terdiri dari dua kategori, dokumenter dan fiksi. Empat film buat masing-masing dokumenter.

Sekitar pukul 22.00, cengloe baru bisa berbincang. Malam itu, Immo yang mewakili cengloe berbincang soal penggalian ide untuk film, untuk kali pertama. Meski mulanya berjalan kaku dan waktu menuju dini hari, secara menyeluruh berbincang dengan 16 anak ekskul Broadcast penuh dengan canda tawa.

"Imajinasi yang liar, out of box, dan melihat sekitar kita. Itulah kuncinya" kata Immo.

Proses belajar malam itu lebih banyak digunakan buat menggali ide-de yang dimiliki peserta. Mulai dari yang spontan, tematik, sampai yang kelompok. Ide yang menarik, yang akan digunakan untuk membikin film, baik dokumenter ataupun fiksi.

"Pada workhsop ini diperoleh satu ide cerita film pendek fiksi dan film dokumenter. Untuk ide film fiksi pendek proses menulis sampai tahapan pengembangan treatment, untuk kemudian dilanjutkan usai workshop. Sementara ide film dokumenter akan dilanjutkan dengan tahapan riset terlebih dahulu." ungkap Bowo Leksono, Direktur CLC, melalui pesan Facebook.

Hari minggunya, peserta lebih banyak di luar ruangan. Workshop teknis membuat film.

Selamat membumikan ide!
Read More …

... kalau pemuda sudah berumur 21, 22
sama sekali tidak berjuang, tak bercita-cita,
tak bergiat untuk tanah air dan bangsa...
pemuda yang begini
baiknya digunduli saja kepalanya...
(pesan Bung Karno)

Kita bakal malu, kalo ngeliat Soekarno masa muda. Gimana nggak, seumuran kita mungkin lagi sibuk-sibuknya eksis di facebook, twitter ato jejaring sosial yang lain. Tapi Soekarno, semasa SMA udah belajar langsung dengan orang-orang hebat macam Semaoen, Tan Malaka, Haji Agus Salim, bahkan Musso. Disaat kita masih sibuk ngurusin asmara, jalan-jalan nggak karuan, tapi diumur 20 tahun dia udah ndiriin PNI, Partai Nasional Indonesia dengan massa ratus ribuan banyaknya. Seumuran kita mungkin menghabiskan komik-komik anime saban hari, tapi Soekarno muda justru habis melalap buku-buku Voltaire, Rousseau, Lenin, dan Marx. Seumuran kita mungkin dihabiskan dengan karaokean gak karuan di mall, tapi Soekarno muda menghabiskan waktu untuk belajar pidato ke Tjokroaminoto, pendiri Syarikat Islam.

Gimana nggak hebat, anak muda seperti Soekarno bahkan menguasai berbagai macam bahasa asing. Sehingga dimasa dia menjadi presiden mudah berkomunikasi dan menjalain hubungan dengan tokoh-tokoh besar dari negara lain.

Soekarno muda bukan orang sembarangan. Di umurnya yang 30 tahunan, dia dipenjara karena pergerakannya yang membuat khawatir Belanda. Di penjara dia bukan terus meratapi diri dan tak melakukan apa-apa. Dia justru menyibukkan diri dengan membaca biografi orang-orang hebat di dunia, juga membaca karya-karya manusia hebat di dunia. Bahkan, dia membaca dan menulis di atas toilet duduk penjaranya. Tulisan ini kelak menjadi pidato seorang presiden yang tak ada bandingannya dengan judul Indonesia Menggugat!

Soekarno kemudian dipercaya sebagai presiden di umur 44 tahun. umur yang tergolong muda untuk jabatan presiden. Soekarno dihormati di banyak negara di dunia. Soekarno tidak takut apapun, kecuali dengan Tuhannya. Dia tidak takut Inggris, tidak takut Amerika, meskipun kedua negara itu merupakan negara adidaya. Soekarno lantang melawan Imperialisme, Kolonialisme dan Kapitalisme. Dulu, mungkin orang di negara lain tidak mengenal apa itu Indonesia, tapi yang mereka kenal justru Soekarno dengan kewibawaannya.

Malu kita sebagai anak muda indonesia jika tak mengenal Soekarno dan mengikuti jejaknya. Malu kita sebagai anak muda indonesia yang tak giat belajar, membaca maupun berorganisasi seperti Soekarno.

"Suatu hari nanti, Indonesia, akan menjadi mercusuar bagi seluruh dunia!"
- Ir. Soekarno -

Hilmy Nugraha,
beralamat di : fnumyx@gmail.com
hoby : bersepeda
Read More …

Pernah ngeliat tembok yang berhiaskan kata-kata penuh warna dan seni di sudut-sudut kota Purwokerto kan. Yups. Seni jalanan yang bernama graffiti itu emang lagi berkembang di kota Purwokerto. Pelbagai tanggapan pun banyak dikeluarkan. Ada yang negatif, tapi ada pula yang positif.
Nah, buat kali ini, Cengloe berkesempatan ngobrol singkat sama Krisna Panji Kemala, salah satu punggawa Artmac, soal dunia graffiti, purwokerto, khususnya. Okeh. Ayo langsung aja kita simak obrolan singkat sama pria yang udah jadi bomber dari tahun 2007 ini.

Sebenernya graffiti itu kayak gimana sih?
Berbicara graffiti itu bicara soal Streetart. Sejarah graffiti itu di Amrik. Dilakukan oleh para gank. Mereka membuat penanda kalo itu wilayahnya. Bentuknya tagging. Kemudian tagging itu berevolusi. Makanya, akan ada suatu waktu dimana akan terjadi tumpuk-menumpuk gambar. Intinya eksisitensi diri.

Nah, kalo ngomongin soal graffiti di Purwokerto?
Sekarang, grafiti purwokerto lagi mati. Anak-anak lagi vakum.

Kalo soal vandalisme dalam grafiti?
Yah kalo vandalisme kita milih-milih. sekarang mambrah-mambrah ora genah. Kayak corat-coret STM, Geng Motor, nuwun sewune. Malah kayak gitu yang membikin bomber jadi vandalisme.

Oiya, kan ada sebagaian masyarakat yang menganggap kalo graffiti itu merusak keindahan kota, gimana tuh kalo kamu liat itu?
Para bomber (yang mbuat graffiti) kalo pengen nggabungin dengan tanggapan masyarakat nggak bakal gathuk. Paling para bomber mengakalinya dengan bentuk-bentuk graffiti yang lebih rapi. Kadang ada bomber yang nggambar di tembok-tembok yang kumel. Jadi ada estetikanya.

Tapi, beneran nggak sih merusak keindahan?
Bagi bomber ah nggak. Tembok yang kumal, di cet lagi terus digambar. Kadang ada yang pesan sosial juga. Dari pada kumel mending diapiki.

Pernah pengalaman dengan pihak berwajib gara-gara ngebom nggak?
Pernah aku dibawa ke Polres gara-gara ngebom di perempatan Palma. Padahal ada ijin dari yang punya rumah. Tapi, itu diributkan sama polisi. Sanksinya sih nggak berat. Intinya, minta duit.

Terakhir nih, sebagai bomber punya harapan dengan dunia graffiti Purwokerto nggak?
Pribadi aku sih, Purwokerto sendiri bisa kayak Jogja. Di sana graffiti dilegalkan. Aku pengen ada suatu space untuk mengapresiasikan graffiti. Di purwokerto nggak ada ruang publik. Kesadaran masyarakat sini emang belum menerima seni macam itu. Tapi, kalo nggak dimulai dari sekarang, kapan lagi. *immo*
Read More …

Ini masih pukul setengah lima pagi. Tak biasanya, aku keluar rumah. Aku mendongak. Kutemukan langit masih menghitam. Namun, ditaburi bintang-bintang cantik yang terus berpendar.

Hari kemarin, di waktu yang sama, aku masih meringkuk di balik selimut. Bagiku selama ini, tidur di pagi hari sama berharganya dengan uang jutaan rupiah. Jika waktu tidurku kurang dari 8 jam, aku akan menghitung kekurangannya, lalu membalas dendam dengan tidur berlama-lama hingga menjelang siang.

Tapi tidak kali ini. Meski semalam aku tidur pukul 1 pagi. Kubiarkan mataku terbuka. Aku rindu udara pagi. Aku rindu suasananya. Jadi, kuputuskan untuk bersepeda, berkeliling desa.

Pintu-pintu rumah masih banyak tertutup. Awalnya tak banyak yang kutemui. Pasalnya, pagi ini, hawanya begitu dingin seakan merangsek ke dalam tulang. Tapi, semakin aku bersepeda ke arah persawahan, kutemui lebih banyak aktivitas manusia.

Kukayuh sepedaku lambat-lambat. Ini musim panen ternyata. Seorang petani menggoyang tali bergantung kaleng, mengusir burung yang mengincar padi yang tlah menguning. Petani lain, menghempaskan seikat padi hingga bulir-bulirnya terlepas dari tangkai.

Langit mulai meninggalkan warna hitamnya. Kini semburat warna putih bercampur jingga merajai langit. Mataku menemukan lelaki paruh baya yang berjalan telanjang kaki demi kesehatannya. Menyusul di belakangnya penjahit langgananku, yang bersepeda ke tempat kerjanya di desa sebelah.

Tak jauh dari mereka, sesosok anak kecil bersepeda. Dia memakai seragam merah putih. Dikayuhnya sepeda dengan penuh semangat. Ini masih pukul setengah 6 pagi! Bagaimana bisa dia sudah berangkat sekolah? Sekolahnya memang cukup jauh, namun kupikir tak perlu sepagi ini agar tidak terlambat.

Jalanan mulai menanjak. Tujuanku adalah sebuah lorong jalan, dimana aku bisa menaikinya. Dan tepat waktu, di atas lorong, aku bisa menikmati matahari terbit. Keindahan lingkaran berwarna jingga, seakan membutakan mataku.

Aku terhenyak. Kulihat rombongan pelajar berseragam. ada yang bersepeda. Beberapa jalan kaki. Mereka saling melempar tawa. Kebanyakan dari mereka sekolah di kota. Butuh 30 sampai 45 menit untuk sampai ke sekolah. Jadi, wajar, sepagi ini mereka sudah harus melangkahkan kaki.

Kuikuti rombongan pelajar itu. Kebetulan searah dengan jalan pulangku. Sesampai di sebuah sekolah dasar, aku tersentak. Bocah berseragam merah putih yang kutemui pukul setengah 6 pagi tadi, tengah berjongkok memandang pagar sekolahnya yang masih terkunci. beginikah setiap pagi?

Kayuhan sepedaku berakhir ketika kujumpai sebuah rumah. Rumahku, tentunya. Aku menghirup napas dalam-dalam. Sebelum akhirnya aku harus masuk ke dalam rumah dan mengingat segala macam rutinitas yang menghimpitku.

Ketika seorang temanku bertanya, apa menariknya bersepeda pagi? Aku tak banyak menjawab. Bangunlah di pagi hari. Keluarlah. Hirup udaranya. Lalu berkelilinglah. Maka kau akan menemukan sesuatu. Mungkin berbeda dengan apa yang kutemukan. Tapi, selalu ada sebuah cerita di luar sana yang selalu menarik untuk kau jumpai..NaRa.
Read More …

22 dina. Nek diematna, itungan dina kuwe lagi ngitung mundur maring tanggal 22 maret 2010. Dina pertama ujian nasional nggo kelas 12. Uga dina pertama bocah kelas 10 karo 11 preian (maning).
Angka 22 kuwe mau ditempelna neng papan putih sing dipasang neng pendopo sekolahan. Mulane katon sekang njaba gerbang.
Ndean, bocahan neng sekolahan kuwe mung adem klenyem ndelengi papan kuwe. Tapi, inyong koh malah kayong dadi gatel melu ndopok soal UN. Gara-gara ndeleng papan putih kuwe saben dina kemis sih lha.
Tapi ya kuwe, inyong ora arep melu-melu ndopok kaya sing neng koran-koran apa malah sing neng tivi. Ngomong ngalor-ngidul ora genah. Nganti mbleber-bleber. Inyong mung arep ngomong soal ijasah. Thok, til.
Ngonoh, ngaku apa ora, alesan bocahan melu UN mesti mung gara-gara butuh ijasah. Ndean malah alesan mlebu sekolah. Ya mbuh arep nggo sekolah maning, apa andon nggo ngode.
Mbuh kuwe bocah pancen sinau pas arep ujian, apa malah mung ngepek bangku ngarep thok. Mbuh paham apa ora sing disinauni apa ora. Malah ndean nganti dolan maring dukun. Bar kuwe bisa mbunderi jawaban kanti bener. Nek, ijasah sing ana tulisane "lulus" bisa neng tangan. Ya wis. Bar kuwe corat-coret.
Lagian, nek lulus mbok dudu bocahan thok lha sing bungah. Wong tua be dadi ora isin. Dadi bisa pamer maring uwong se-RT nek anake lulus. Angger sekolahan lha, bisa dadi jumawa olih kalung "100% lulus". Terfavorit!
Lha nek kaya kiye, inyong malah dadi mbayangna: kira-kira kaya ngapa ya nek ujian kuwe langka nilene. Langka ijasah kelulusan. Mbok nek ndeleng iklan gaweane Dinas Pendidikan sing neng tivi kae, ujian kuwe bagian sekang belajar alias sinau. Nah, mbok, sing jenenge sinau kuwe langka batase. Langka bates waktu. Apa maning bates nile-ne.
Apa iloken enggal sore, bocahan isih ana sing melu sing jenenge pengayaan? Apa bocahan sing arep ujian kuwe enggane isih menthelengi buku pelajaran nganti keyeng? Kira-kira isih ana sing bakalan wuru rame-rame bar ujian ora ya?
Nek pancen temenan langka ijasah kaya ngapa ya? Ya mbuh! Apa inyong dukun. *immo*
Read More …

Bukan Bangkit namanya kalo nggak cengar-cengir pas lagi fesbukan. Kawanku yang satu ini emang hobi banget cengar-cengir, terutama bila dia sedang nemuin sesuatu yang menggelikan,- yah, kayak yang aku liat pagi itu.
"Ada apaan sih, bang? Dari tadi kok senyam-senyum gitu. Ada yang lucu?"
"Ini, Aku lagi baca catatan fesbukku. Menggelikan ternyata puisi bikinanku ini," jawab Bangkit. "Judulnya Puisi Ah... ha..ha..ha.." katanya lagi.
"Ha..ha..ha.." aku ikutan ketawa. "Emang kenapa sih, kok puisi bikinan sendiri malah diketawain. Apanya yang lucu?"
"Ternyata puisi pendek bikinanku ini nggak ada romantis-romantisnya. Nggak ada indah-indahnya. Apalagi komennya nih, terlampau serius. He..he..he..."
Bangkit nunjukin hapenya. Di monitor hape itu, aku ngeliat komen dari seorang teman yang lain. "Kalo hidup nggak mengalir, umurmu nggak akan bertambah.. dan mungkin kau nggak akan berada di tempatmu saat ini.." begitu komen itu dituliskan.
Aku ikutan tersenyum. Yah, emang kayak gitu. Dari teman-teman yang aku gauli selama ini, mereka pun senang banget memetaforakan hidup ini dengan aliran air.
Berjibun pepatah yang pakai kata 'air' bisa jadi bukti kuatnya. Kalo nggak, komen temenku yang lain itu bisa jadi contoh teraktual betapa metafora air begitu menggenangi otak kita ini.
Mirip kayak pas kita ngeliat sebuah aliran air, kita pun dibebasin berbuat apa dengan aliran air itu. Mau menikmati dinamika aliran air sampai muaranya, boleh. Mau berenang menentang arus, juga boleh.
Pun begitu sama banyak hal yang kita laluin di hidup kita yang masih tipis ini. Gaya pakaian, gaya bicara, gaya rambut, pergaulan, dan cara berpikir, yang tentu aja terangkum dalam sebuah kata "tren", bisa kita ibaratkan aliran air yang perlu kita hadapi. Kita juga bisa nyemplung, seraya berteriak "inilah aku!!".
Sayangnya, nggak jarang, kita itu menceburkan diri dengan mata tertutup. Sampai-sampai akhirnya kita sadar, kalo kita ini bukanlah rintik-rintik yang menyejukkan semesta. Tapi, malahan bagian dari air bah yang malah memporak-porandakan segala tatanan.
Kan nggak selamanya yang nge-tren itu bagus, yang gaul itu baik. Yang bergelombang-gelombang itu bermanfaat. Dan kita semua pun sadar dengan hal itu, tentu.
Ngelawan arus kadang-kadang jadi cara buat nunjukin kalo kita itu masih agak terbuka matanya. Milih buat nentang semua dominasi-dominasi yang mungkin aja siap menerkam. Menentang proses penyeragaman atas identitas, potensi, dan orisinalitas diri. Bukankah tren itu kata lain penyeragaman?
Label nggak gaul, abnormal, bahkan gila jelas nggak bisa dijadiin alasan buat rendah diri. Malah, harusnya, membikin kita semakin gesit mengatasi gelombang yang menerjang. Paling nggak, saat milih buat ngelawan arus, kita nunjukin kalo kita ini nggak pernah pengen nyakitin hati kita ini, dengan memaksa buat nerima apa yang nggak ia mau.
Sekarang, aku mencoba berpikir melampaui pertanyaan bangkit dalam puisi itu. "jika begini, benarkah hidup itu mengalir?" Tapi, malah berpikir soal mau berdiri di sebelah mana dan melakukan apa dalam aliran air itu (kalo hidup ini emang bisa diibaratkan aliran air). Mengikuti aliran air yang nggak jelas juntrungnya atau berdiri tegak ngelawan arus.
Pastinya, aku nggak pengen tuh terjerumus ke dalam kubangan tren sosial yang menyesatkan. Aku nggak pengen tersesat! *immo*
Read More …