Oemah Cengloe

"Lama sudah masyarakat Banyumas, Jawa Tengah, terpinggirkan sebagai ”wong ngapak-ngapak” yang kampungan. Kini, mereka bangkit dengan percaya diri pada budaya ”panginyongan”." (Merayakan Budaya "Panginyongan", Kompas Minggu 20 Juni 2010)

Senin (20/06) kemarin, aku ditanya sama seorang wartawan , Chandra Iswinarno. Begini pertanyaannya kira-kira, "udah baca kompas edisi minggu? Gimana menurutmu?"

Alamak. Udah tentu aku belum membacanya. Sembari mengkambing-hitamkan duit yang limit, aku tetap bersiap dengan cibiran yang mungkin bakal aku terima. Dan benar, cibiran itu datang. "Lha pegiat dunia tulisan kok nggak pernah baca koran. hehehe."

Mlam itu juga, aku lantas membuka kompas.com. Ternyata, ada tiga tulisan yang dibikin Kompas. Merayakan Budaya "Panginyongan", Dari Siswa sampai Video "Mantenan", dan GERILYA SINEMA dari Purbalingga.

Cara bercerita yang menarik. Berpijak dari perkembangan film pendek di Banyumas, banyak hal terkait Banyumas mulai dikuak. Rasanya sejalan dengan apa yang dilakukan TvOne pas lagi bukin feature soal geliat perfilman Banyumas.

Ada semacam kebanggan dengan dimuatnya budaya Banyumas di media-media nasional. Gimana nggak, Banyumas dan budayanya yang selama ini dijadikan bahan lawakan, mulai bisa nunjukin siapa dirinya yang sebenarnya. Siapa "Kang Bawor" sesungguhnya.

Tapi, yang terlintas di otak ini nggak cuma kebanggan akan Banyumas aja. Namun, muncul semacam rasa dilematis. "Kita (banyumas -red) terlalu besar diluar tapi keropos akut di dalam." jelas Chandra.

Ya, rasanya kata-kata wartawan itu nggak terlampau berlebihan. Liat aja di berbagai media. Mulai dai koran lokal, film, hingga blog. Semua media itu menjadi "ruang pamer" nilai-nilai lokalitas yang selama ini diyakini di Kota Panginyongan ini. Hebat betul Banyumas ini rasanya.

Eits, tunggu dulu. Liat dulu kedalam, kenyataannya. Semuanya serba semrawut. Nilai-nilai yang termuat di berbagai media itu, kosong mlompong. Kadang aku mikir mental orang2 (mudanya), begitu hipotesis kecil yang aku punya.

"Nah itu, yang bermasalah akhirnya kita terlalu dibuai. Itu yang membuat generasi muda banyumas tidak kreatif. Liat aja saat ini." ungkap Chandra.

Kaum muda Banyumas ini memang lucu. Mereka lebih memilih mengekor budaya orang pendatang. Mereka larut dalam budaya yang diseragamkan seperti yang selama ini melatah dalam tayangan televisi yang dipenuhi sosok berkulit putih, tinggal di rumah mewah, berpakaian modis, ngomong bahasa gaul, dan suka mejeng di mal.

Daripada bergairah untuk menemukan sosok budayanya sendiri. Ketimbang dengan PeDe nunjukin jati diri sebagai orang yang cablak, terbuka dan tanpa kelas alias egaliter. Serta nggak mentingin sopan santun berlebihan.

Huh. Aku nggak sedang berniat menghakimi siapapun. Ato malah jadi yang paling bener. Sebab, terlampau banyak alasan yang sebenarnya bia dimunculin. Hanya lagi bercermin dengan diri cengloe sendiri, dan khususnya pribadiku sendiri.

Nah, kenyataan udah di depan mata. Pahit-manis, itulah kenyataan yang musti dibereskan.

Sejalan dengan itu, banyak ruang yang bisa dicipta. Bukankah membekap kreatifitas dan mengkebiri jati diri itu nggak bijak?*immo*

Selamat Membumikan Ide!!

Categories:

Leave a Reply