Oemah Cengloe

Ada sebuah jargon yang jadi pegangan cengloe kalo lagi minim semangat.
Dilarang Berhenti Berkarya! Begitu bunyi jargon itu. Ditilik dari kata-katanya emang
biasa banget. Malah mirip kayak kalimat perintah. Tapi, makna proses pembelajaran
sangat kental di dalam kata-kata itu.

Ya, selama ini, proses belajar yang coba cengloe tularkan emang agak beda
dengan proses belajar yang lazim dijalankan. Bagi cengloe, nggak bisa ato nggak
bakat bukan jadi alasan kita nggak berkarya. Tapi justru jadi cambuk biar kita
berusaha menaklukkan tantangan itu. Jadi, misalnya, kalo nggak bisa nulis yang harus
terus-terusan nulis sampe bisa, bukan malah kabur nggak mau nulis.

Nah, makanya, sebagai bentuk "Dilarang Berhenti Berkarya!", cengloe
membikin edisi #6 ini. Buat kali ini, cengloe coba menginterpretasikan arah. Jangan
bingung gitu, emang nggak terlalu special, malah keliatan remeh-temeh. tapi, asal tau
aja nih, gara-gara kita lupa nggak memahami arah, kita jadi sering kebingungan.
Ironisnya ini sering terjadi.

Okeh! Nggak perlu bercuap-cuap panjang lebar. Selamat membaca! Selamat
membumikan ide!
Read More …

Hidup itu seperti labirin. Ada banyak jalan bercabang. Beberapa jalan memang lurus dan mulus. Tapi banyak juga jalan berlubang dan terjal. Kadangkala disertai tanjakan atau nuansa jurang di kanan kiri jalan.

Ada jalan yang punya lampu penerangan. Tapi banyak juga yang gelap gulita. Yah, hampir sama dengan jalan raya di kehidupan nyata. Ada lampu merah, rambu-rambu lalu lintas, zebra cross, bahkan trotoar.

Kebanyakan manusia pasti lebih suka jalan terang. Tahu jalan ini menuju kemana. Namun jalan terang itu jarang banget ditemui. Cermati aja, kalau kita lagi jalan-jalan naik kendaraan, banyak jalan tanpa lampu. Tanpa rambu-rambu. Berlubang. Bahkan belum diaspal. Ah, kadang geram juga dengan pemerintah, gara-gara jalan rusak, bikin banyak kecelakaan.

Ya, kecelakaan, musibah, bisa terjadi kapan saja. Tanpa kita tahu. Kita bisa aja, tiba-tiba keserempet motor, ketabrak mobil, atau bahkan masuk jurang. Tangan bisa patah, kaki diamputasi, amnesia, atau bahkan lumpuh.

Kalau kecelakaan, tak jarang emosi membuncah. Saling menyalahkan, teriak minta ganti rugi, lapor polisi, hingga nangis-nangis gara-gara ada yang mati.

Tapi itulah hidup. Ada banyak jalan. Terang atau gelap, kadangkala bisa jadi sebuah pilihan. Namun bisa jadi bukan. Jalan terjal, tanjakan, berlubang, dan gelap bisa jadi sebuah jalan yang niscaya kita lalui.

Tenang saja, meski sulit, ada rambu-rambu kehidupan. Tafsirkan rambu-rambu dengan otak dan hati kita. Dan bukan hal yang tabu untuk menyebrang. Ada zebra cross yang siap setiap saat untuk dilalui.

Tapi, kalau jalan itu sempit, benturan emang kadang bisa terjadi. Ada kendaraan dari arah berlawanan. Tinggal pilih, tabrak atau berhenti. Masih ada trotoar untuk menepi. Istirahat sejenak dan dinginkan pikiran. Ego boleh saja, tapi jangan sampai kendaraan yang sedang kita tumpangi mencelakai orang lain.

Labirin memang rumit. Membingungkan. Mengerikan. Mematikan. Namun juga menarik. Menggugah rasa ingin tahu. Mendebarkan. Mencengangkan. Membahagiakan. Boleh jadi, manusia merasa labirin tak punya jalan keluar. Namun, setiap manusia boleh punya tujuan.

Ah, penting memang menentukan sebuah tujuan. Mau pergi kemana? Kalimantan, Bali, Papua, atau bahkan menjelajah semuanya. Jadi tinggal tentukan, kemana kaki ini akan melangkah. Itulah arah kehidupan. Sebuah semangat untuk mencapai tujuan, bukan mencari jalan keluar. (.Nara.)
Read More …

Tulisan ini sengaja aku buat untuk meluapkan kegemasan akan banyak hal
yang terlewati beberapa waktu ini. Lebih tepatnya lagi, kegemasan atas rutinitasku
sendiri. Gemas karena melakukan kegiatan yang itu-itu aja setiap harinya.

Pagi, begini. Siang, begitu. Malem, begini-begitu. Pagi besoknya, eh, begini
lagi. Bener-bener kayak lagi hidup di lingkaran setan yang mbundet. Nggak nunjukin
gelagat arah hidup yang maju, apalagi mundur.

Perasaan waktu kecil dulu, aku nggak pernah dipusingin sama hal-hal yang
berbau rutinitas deh. Tapi, kenapa sekarang tambah nggak karuan aja hidup ini
rasanya sih. Pokoknya mirip kayak lagi melewati jadwal pelajaran di sekolah yang
serba monoton. Itu belum diitung sama tugas-tugasnya.

Aargh... nggak banget deh hidup monoton gini. Minim klimak sama antiklimak!

Makanya, yang terlintas di otak ini cuma satu kata: kebebasan! Bebas dari
jeratan rutinitas. Bebas dari kukungan apa aja yang membelenggu. Masa' hidup cuma
jadi mahluk yang bisanya njalanin apa-apa yang udah diatur rapi sama orang lain.
Aku bukan robot!!

Out of box. Ya, itu yang bakal aku lakuin. Keluar dari kotak rutinitas yang
selama ini membikin aku penat. Ngelakuin banyak hal di luar yang biasanya dilakuin.

Yang baru. Yang beda. Pokoknya, yang menerabas pakem rutinitas yang terus
mencengkeram.

Eits... jangan keburu-buru dengan nganggap aku sebagai orang gila, orang
abnormal. Cuma lantaran aku coba ngelakuin hal di luar rutinitas, yang oleh
kebanyakan orang dianggap sebagai sesuatu yang normal.

Aku cuma ingin jadi manusia seutuhnya. Ingin jadi manusia yang nggak
ngelihat hidup hanya persoalan berada di bawah atau di atas layaknya perputaran
roda, tanpa pernah mau berpikir roda itu berputar maju atau mundur.

Tapi, yang pasti, aku nggak bakal ngelakuin hal-hal konyol kayak orang-orang
muda jaman sekarang. Ngomongnya sih, mencintai kebaruan dan mempraktekkan
kebebasan. Berteriak lantang, "this is my own style". Tapi, liat mereka sekarang.
Sama semua! Nggak ada yang bisa dibedain satu sama lain. Mereka didikte abis-
abisan. Mulai dari cara berpikir, cara jalan, model pakaian, model rambut, bahkan
sabun pembersih muka.

Sungguh-sungguh konyol robot-robot modernitas itu. Berpenampilan lagaknya
makhluk modern nan lengkap dengan peralatannya yang serba futuristik. Tapi, nggak
pernah tau untuk apa dan gimana cara makai alat-alat yang serba modern itu. Huh... kalo aku sih, nggak aku bakal mau bernasib konyol kayak robot modernitas itu.Nggak banget deh.

Ah, maaf kalo kata-kataku tiba-tiba jadi tajam atau bahkan ada yang
menilainya sebagai sesuatu yang berlebihan. Tapi, Anda-anda sekalian juga mesti
maklum, karena seperti tadi kukatakan, tulisan ini sengaja dibuat untuk meluapkan
kegemasan.

Aku cuma kepengen semua yang ada di tubuhku ini bisa tereksplorasi
potensinya. Apapun potensi yang aku punya. Aku yakin aku punya kemampuan. Yah,
kalo nggak bisa semuanya tereksplorasi, minim-minimnya aku bisa berpikir secara
bebas, sekreatif, dan seliar mungkin. Nggak masalah kalo ujung-ujungnya aku harus
berdiri sendiri melawan arus.

Yang jelas aku nggak mau nyesel, gara-gara ngabisin waktuku yang terlalu
singkat ini cuma buat kegiatan yang monoton dan nggak kreatif. Yah, itung-itung
sekalian menghayati filosofi seorang temen, "dalam ruangan itu emang ada jendela
dunia, tapi jangan pernah lupa kalo di sebelah jendela itu ada pintu yang bisa
dimasukin", begitu katanya.

Ah... udah, cape, ribet pula, ngomong sama kalian. Dasar generasi "Dodolit-
Dodolit Pret"! Generasi yang bisanya Cuma ngomong doank, tapi nggak ada isinya,
yang nggak mudengan, dan yang bisanya mbebek polah orang lain. Payah! *immo*
Read More …

Iseng, aku dengan beberapa orang teman, mampir ke museum Pangsar Soedirman di Karanglewas. Dari kejauhan, museum ini tampak begitu sepi. Ketika kami masuk, tiket hanya dihargai 3ribu rupiah untuk setiap orang. Cukup murah, pikirku.

Begitu masuk kawasan museum, kegersangan menyambut kami. Maklum, waktu itu pukul satu siang. Terik matahari menghunus tajam, bagai sebuah pedang. Sesekali, aku harus memicingkan mata. Rerumputan yang kuharap bisa mendinginkan mata, justru kering kecoklatan. Pepohonan pun tak cukup rindang.

Tak betah dengan hawa panas di halaman, kami menyegerakan langkah untuk masuk ke dalam museum. Ruangan museum itu berbentuk bundar. Tak cukup terang. Waktu itu lampu tak dinyalakan, memang. Sebuah sejarah hidup Panglima Besar Jendral Soedirman, dikisahkan melalui foto-foto yang tergantung mengelilingi ruangan.

Hanya sekedar foto hitam putih, tanpa bingkai. Dengan sedikit penjelasan seadanya. Dimulai dari kelahiran Soedirman, kariernya dalam kemiliteran, peperangan, hingga kematiannya. Ada pula sebuah lukisan yang mengisahkan Soedirman berperang dengan tandu. Lukisan itu keren, kataku. Dan tak ketinggalan, sebuah replika tandu dibiarkan teronggok berdebu. Ya, hanya ini saja yang ada dalam ruangan.

Hmm, sedikit kecewa memang. Kata seorang teman, tempat ini belum layak diberi label museum. Ada benarnya memang. Jelas, pemerintah terkesan tak serius mengurus museum ini. Padahal semangat juang Jenderal Soedirman acapkali diagung-agungkan. Namun, bagaimana mungkin semangat juang ini bisa mendarahdaging, jika sejarah kepahlawanannya dibiarkan terlantar? Ah, miris rasanya.

Selesai mengelilingi ruangan bundar ini, kami menaiki tangga. Beberapa relief dari batu berdiri gagah di atas museum. Sayang, tanpa keterangan. Kami pun saling pandang, tak mengerti. Sebuah monumen, dengan lambang burung garuda, yang berdiri sebagai latar museum, tetap menjulang tinggi meski kami lihat dari atas. Nampak agung, memang. Tapi tetap saja, ada yang kurang. Kami tak menemukan makna sejarah yang ingin disampaikan.

Untuk melepas rasa kecewa, kami duduk santai bersandar di salah satu relief. Menenggak air putih, sambil berbagi biskuit untuk menahan perut kami yang kelaparan. Semilir angin membuai kami. Perbincangan pun mulai terjalin. Mungkin inilah satu-satunya tempat di museum yang membuat kami betah. Menikmati angin dan pepohonan.

Sungguh sayang rasanya, komplek museum ini dibiarkan kurang perawatan. Padahal area tanahnya cukup luas. Bangku-bangku dan beberapa permainan anak-anak pun, dibiarkan warnanya memudar. Yah, pantas saja, kalau museum ini sepi, desah seorang temanku.

Seketika kuteringat pesan Bung Karno. "Jangan sekali-kali kau tinggalkan sejarah!". Maaf Bung, pesanmu mungkin telah kami abaikan. Telah begitu banyak sejarah yang ditinggalkan. Atau bahkan dibuang. Sudah terlalu banyak sejarah yang kami biarkan berdebu. (.Nara.)
Read More …

Setiap sekolah pasti punya yang namanya tata tertib. Gunanya yang jelas untuk membuat kehidupan sekolah menjadi kehidupan yang teratur. Apakah semua warga sekolah udah tau kalo itu tujuannya?

Yup! Mereka tau tujuan dibuatnya tata tertib. Coba aja kalo kita adain survey, tanyakan kepada semua warga sekolah, baik itu siswa, guru, pesuruh atawa yang lainnya. Jawaban mereka pasti mempunyai inti kalo mereka paham akan dibuatnya tata tertib. Anehnya, mereka bisa ngomong kayak gitu, tapi mereka nggak ngebuktiin. Alias mereka ngelanggar! Padahal mereka sadar!

Tradisi NATO a.ka No Action Talk Only emang masih merajalela di negeri kita, Indonesia. (Hiks!)

Dari pelanggaran-pelanggaran yang meraka (warga sekolah) lakukan, ada beberapa yang udah mereka anggap nggak lagi disebut peraturan, (terutama bagi kalangan siswa yang jadi komponen utama di sekolah). Couse merka ngelangggar selama terus-menerus dan peringatan yang diberikan hanya berlaku saat peringatan itu disampaikan saja.

Dari segi fashion style. Terutama pelajar cewek. Rok mereka dibuat dengan macem-macem model yang nggak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Makenya nggak standar pula, alian dibuat kedodoran di bagian sabuk. Kayak mau lepas. (Ups!).

Kemudian kemeja. Ini nggak cum,a pelajar cewek, tapi juga masuk lingkup cowok. Mereka make kemeje nggak dimasukkin ke balik rok atau celana. Itu emang hal sepele, tapi ya tetep aja ngelangggar peraturan. Kalo anak cewek biasanya mereka buat kemeja yang super kecil, yang otomatis bakalan keluar dari balik rok.

Terus masalah hair style yang nggak karuan. Kadang ada yang dikasih warna selain hitam, potongan rambut yang menurut mereka “ngeh”. Tapi ada juga yang ngeliatnya “aneh”.

Ada juga poin yang nggak ngelanggar peraturan, tapi efeknya bsia jadi ngelanggar peraturan. Udah jelas jawabannya adalah “PACARAN”. Efek positifnya ada, tapi cuma berlaku semenrata pas lagi masa pacaran thox. Kalo udah putus, baru efek negatifnya keliatan sangat menonjol. ‘n’ pada saat itulah peraturan demi peraturan dilanggar. So, antara efek positif versus negative dari pacaran lebih menang efek negatifnya. Nggak percaya? Coba aja disurvey! Lagian pacaran nggak njamin buat kita hidup bahagian dunia akhirat.

Hmm…. Sebenernya nggak Cuma pelajar yang sering buat pelanggaran. Para pengajarpun nggak luput. Yang sering terjadi pelanggaran para pengajar adalah…TELAT! Padahal siswanya dituntut buat disiplin. Eh… (ya begitulah).

Jadi, apa sebenernya fungsi peraturan tata tertib sekolah kalo semua yang tertera dalam peraturan tersebut tidak diindahkan?

Friday, desember 4 2009
At 04.00 a.m.

Bahiyatul Musfaidah
pelajar SMA N 1 Bobotsari
kelas X
Read More …

Inyong isih ora ngerti kenangapa uwong-uwong isin ngomong basa mBanyumasan. Ora neng Banyumas, Purwokerto, Purbalingga, apa neng Banjarnegara. Ya ora enom, ora tua, pada bae. Kabeh wong senenge ngomong karo bahasa bahasa Indonesiaan.

Nganti neng ndesa, ana wong tua sing ngajari ngomong anake karo basa Indonesia. Lho mbok jere basa ibune dewek kuwe basa mBanyumasan. Lha kye deneng.

Kaya-kayane nek ngomong basa mBanyumasan kuwe ngisin-ngisinane pol. Lewih ndadikna isin sekang dadi tukang njaluk-njaluk.

Inyong dadi pengin cerita kyeh. Inyong kuwe nduwe kanca wadon. Pawakane si duwur, kaya model lha. Raine lumayan ayu. Bisa basa inggrisan maning. Lha kancane inyong kuwe malah nduwe gelar mbekayu Purbalingga. Jose pol mbok.

Tapi ya kuwe, sing gawe nelangsa ati, bocah wadon kuwe jebule ora bisa ngomong basa mBanyumasan. Padahal umahe ya neng Purbalingga. Kuliahe ya mung neng Purwokerto thok.

Jan-jane si ya ora kuwe thok contoh wagu sekang basa sing dienggo ngomong neng wong-wong. Neng Purwokerto malah ana radio sing penyiare gole ngomong karo basa 'loe-gue'. Lha mbok ora pantese pol. Kye mbok udu Jakarta, sing pancen nggone wong ngomong basa 'loe-gue'.

Inyong ora lagi sebel karo basa Indonesia, dadi cerita kaya kiye. Inyong mung lagi nelangsa karo polahe wong-wong sing pada sok modern. Bisa ngomong basa Indonesia, ndean malah nganti bisa basa Inggrisan, si pancen apik. Tapi, ya mbok aja malah dadi pilih kasih kaya kuwe. Kuwe si jenenge ora bijaksana.

Sing jenenge basa ibu, mbok sing kudu ngelestarikna kuwe anak-anake. Ya dewek kiye. Apa dewek ora isin karo wong-wong luar negeri sing malah seneng sinau basa daerah karo budaya neng Indonesia. Apa kowe pancan rai gedek?

Engko nek basa, terus budaya Mbanyumasan, diaku-aku neng wong asing, lha nembe gotak. Mbok wagu nek jebule dewek kuwe sing marekna "umahe" dewek kecolongan.

Tenang bae, ayu karo nggantenge kowe pada ora bakal ilang koh nek kowe pada ngomong basa mBanyumasan. *immo*
Read More …

Wuih… rasanya udah lama banget ya cengloe nggak nyapa pembaca. Bukan tim cengloe yang ngerasa jadi orang-orang sok sibuk. Tapi, emang cengloe lagi ngelakuin pembenahan diri.

Nah, dari pembenahan diri yang kesekian kali itu, tim cengloe akhirnya mutusin buat njadiin cengloe sebagai media “sewulan sepisan”. Tapi, tenang aja. Teman-teman cengloe nggak bakal dibuat kecewa pas baca cengloe, meski harus nunggu sebulan sekali.

O iya, di edisi #5 ini, cengloe mau cerita banyak hal sama teman cengloe. Terutama soal cinta dan tanah air. Eits, jangan ngerasa kalo tema ini kesannya jadul duluan. Kan ngomong cinta dan tanah air nggak cuma jadi bahan obrolan dibulan agustus doank. Tapi, setiap saat pun boleh. Apa lagi kalo yang mbahas tema itu cengloe. Banyak hal yang baru dari sana, pasti.

Yups, inilah awal sebuah akhir. Selamat membumikan ide! Selamat membaca!
Read More …

Wilayahnya menghampar luas nan indah. Meski ribuan tanahnya saling terpisah, tapi terangkai indah oleh lautan yang maha luas. Sebuah wilayah yang punya banyak kekayaan. Kekayaan alam dan budaya. Makanya nggak ngeheranin kalau sedari dulu tanah itu selalu jadi rebutan.

Namun, udah dari berabad-abad yang lalu pula, banyak orang yang dibuat bingung karena nggak tau harus menyebut apa kepulauan di katulistiwa itu. Alhasil, muncul banyak nama. Nan-Hai (Kepulauan Laut Selatan), Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa), Insuline, Nederlandsch-Indie, sampe Nusantara. Kepentingan beradu. Perdebatan terjadi.

Tahun 1849 jadi titik balik perdebatan soal nama itu. Mula-mula George Samuel Windsor Earl (1813-1865). Dia Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, nulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Bagi Earl, udah saatnya penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu punya nama khas.

Muncullah nama Melayunesia dan Indunesia. Agaknya, Earl lebih memilih nama Melayunesia. Alasannya, nama itu lebih cocok bagi ras melayu. Toh, bahasa yang dipakai bahasa melayu juga.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pun Logan menyatakan perlunya nama
khas bagi kepulauan itu. Cuma Logan lebih memilih nama Indunesia yang dibuang Earl. Tapi, huruf u diganti dengan huruf o, biar ucapannya lebih enak diomongin.
Lahirlah istilah Indonesia buat pertama kali di dunia.

Pelan tapi pasti, nama Indonesia mulai biasa digunakan. Termasuk sama angkatan ‘28 yang sedang belajar di Belanda. Kata Indonesia, bermetamorfosa jadi semacam cita-cita luhur.
***

1945. Soekarno mbaca teks proklamasi atas nama bangsa Indonesia. Kata Indonesia yang dulunya cuma mimpi dan cita-cita, terwujud udah.

Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Banyak hal terjadi dengan Indonesia. ngebanggain, nyenangin, bikin sedih, pembantaian, penindasan, bahkan kegoblokan.
Ah, bicara soal penindasan, jadi ingat sama orang-orang Papua. Mereka adalah korban dari I’ exploitation de I’ homme par I homme (penindasan manusia atas manusia). Ironisnya, penindasan itu nggak dilakuin sama negara penjajah macam Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat. Tapi oleh Indonesia. Bangsanya sendiri.

Orang-orang Papua itu dipaksa melucuti sejarahnya. Dipaksa menerima sejarah bangsa Indonesia sebagai sejarahnya. Itu belum termasuk digadaikannya (kalau nggak boleh disebut perampokan) kekayaan alam tanah Papua oleh pemerintahan yang jawa sentris. Tanah kaya raya, namun warganya terbelakang.

Kekonyolan bangsa ini, masih berlanjut. Malah semakin konyol aja. Kali ini soal kemaritiman negara ini.

Semua orang yakin betul bangsa ini adalah negara maritim. Semua buku sejarah berkata demikian. Tapi kok, kenapa malah diduduki sama angkatan darat. Kalau dimanage sebagai negara maritim, laut akan menghubungkan satu pulau ke pulau lainnya. Tapi, dengan pendudukan Angkatan Darat memisahkan dari pulau satu dengan pulau lainnya. Kesalahan besar yang memudahkan disintegrasi Indonesia.

Jadi seharusnya, mulai sekarang, lagu “nenek moyangku seorang pelaut…”, pantang dinyanyiin. Nggak sambung sih!
***

Kesalahan-kesalahan kecil bangsa ini, terangkai dalam jalinan yang rumit. Meski begitu, semua perlu diberesin. Biar nggak jadi kesalahan sejarah. Berat memang. Tapi bukankah ini tugas sebenarnya dari angkatan muda Indonesia. Membenahi kesalahan dengan penuh keberanian. Jangan malah berlagak pikun!

Lagian mencintai (sebuah nation) itu nggak berarti ndukung kejahatan atau ikut memihak struktur yang ngisap dan nginjek-injek rakyat kecil dan lemah miskin. Right or wrong is right or wrong, okeh?

Yah, kayak orang Belanda bilang deh, “wees goed, mar niet dom”. Berbaik hatilah, tapi jangan goblok! *immo*
Read More …

Pukul 6 pagi. Kurebahkan tubuhku ke atas kursi besi. Tak nyaman, memang. Tapi apa daya, ini satu-satunya kursi tunggu penumpang yang tersisa. Bis menuju jepara, yang akan kutumpangi, baru berangkat 2 jam lagi. Aku berniat berpetualang sendirian, menelusuri Jepara, lalu mencari jejak seorang temanku di Blora.
Ah, Blora. Tempat dimana Pramoedya Ananta Toer dilahirkan. Seorang penulis yang amat kukagumi. Dijebloskan berkali-kali dalam penjara, tanpa pengadilan. Tapi dialah satu-satunya manusia Indonesia yang menjadi kandidat pemenang Nobel Sastra. Ingin rasanya aku bertemu dengannya. Mendengarkan berbagai cerita. Dan berdiskusi tentang sejarah.
Sibuk dengan lamunanku, aku tak sadar dengan kakek tua di sampingku. Sedari tadi dia bertanya soal waktu. Kutatap wajah keriputnya dan segera meminta maaf. Hmm..entah kenapa, dalam pikiranku, kakek ini cukup mirip dengan Pramoedya. Seakan bisa membaca pikiranku, dia tersenyum.
"Saya memang Pramoedya." ujarnya.
Aku terperangah. Dalam beberapa detik, aku tak bisa menguasai kesadaranku. Bukankah Pramoedya telah meninggal?
"Kalau mati, dengan berani; kalau hidup, dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita." tuturnya.
Benar juga. Dulu, para pejuang mengangkat senjata. Mereka hidup dan mati dengan berani. Hasilnya, penjajah bisa pergi. Tapi kini? Kita ternyata masih juga dijajah. Dengan cara yang berbeda tentunya. Indonesia jelas belum merdeka! Masih saja mau didikte dan disuruh ini-itu. Tak hanya bangsa asing yang menjajah, sekarang manusia yang menjajah bangsanya sendiri.
"Rakyat sekarang miskin karena dimiskinkan kaum elit. Sebelum kemerdekaan mereka dirampok oleh penjajah. Sekarang mereka dirampok oleh kaum elit kita sendiri."
Iya, kita dijajah bangsa sendiri. Di sekolah memang sering diceritakan soal penjajahan dan kemerdekaan. Tapi hanya bagian dari pelajaran sejarah. Seperti layaknya mengheningkan cipta dalam upacara. Untuk mengenang arwah para pahlawan yang telah gugur mendahului kita. Sekedar mengenang? Ya, tak lebih dari itu. Tak ada soal makna perjuangan dan cara berjuang dalam konteks kekinian.
Wah, kasihan benar bangsa Indonesia. Pahlawan medan perang, sekedar hiasan. Pelajarnya cuma hobi mengenang. Anak mudanya asyik bersolek dengan dirinya sendiri. Kaum bawah sibuk meratapi nasib. Sedangkan kaum elit antri menjarah kekayaan bangsa sendiri.
"Merasa kasihan tanpa berbuat sesuatu adalah suatu kemewahan yang tak berguna. Kalau benar perasaan itu murni, orang harus membantunya, apakah dengan pikiran, perbuatan, atau pertolongan."
Aku terhenyak. Sudah begitu lama, aku hanya merasa kasihan terhadap bangsaku. Dan berarti sudah terlalu lama pula, aku berpangku tangan.
Perlahan sosok Pramoedya memudar. Aku terkesiap. Perjumpaan sesaat yang penuh makna. Hanya tiga kali dia mengeluarkan kalimat, tapi seketika itu pula alam pikirku terbuka. Ah, dia memang sosok yang luar biasa. Bagiku, dia juga pahlawan. Dengan jalan yang berbeda.
Bahuku terguncang. Tangan keriput seorang kakek menggoyangkan pundakku.
"Nak, bis ke Jepara sudah mau berangkat. Ayo naik."
Seketika aku terbangun. Ah, ternyata aku baru saja bermimpi. Kutatap kakek yang telah membangunkanku. Aku membatu. Tubuhku pun terasa begitu kaku. Pasalnya, wajah sang kakek, benar-benar mirip Pramoedya. Oh! (Nara)
Read More …

Di lomba robot nasional yang ada di tv kemarin-kemarin, panitia menyediakan labirin yang punya banyak kamar, salah satu kamar terdapat lilin nyala. Tantangannya adalah, para peserta harus mendesain-memrogram robotnya agar mampu mencari dan mematikan lilin secepat mungkin (search and destroy).

Mungkin, robot-robot itu bisa berperan membantu orang indonesia, ikut tim babi ngepet jadi petugas jaga lilin misalnya. Nah! Teknologi berpadu dengan lokalitas! Kreatif kan!

Teknologi dan Spiritual.

Mari menyembah google, kalimat ini pernah jadi status fesbuk saya, dan komentar kreatif yg muncul adalah:google maha tahu, maha kuat (server gak pernah down), maha pemberi (bagi-bagi duit lewat adsense),maha besar (servernya segede rumah), dll.... Sayangnya, google gak bisa nyari kunci kamar yang ilang...hehehe....

Teknologi juga digunakan anak-anak jaman sekarang untuk mencari perhatian, salah satu teman saya sukses menjadi "orang yg tiap menit update status fesbuk".Antivirus aja kalah.... Dan 200 teman sukses me-remove-nya, karena dianggap mengganggu ketertiban umum.

Dulu Habibie pernah bilang kalo dia mampu bikin misil antar benua, asal ada duitnya. Tapi, bangsa kita memang latah teknologi, ada yang baru langsung jadi tren, emang belum ada penelitian tentang hubungan antara tukul arwana dengan meningkatnya volume penjualan laptop di indonesia, tapi liat sendiri aja.

Nilai Teknologi di Mata Anak Muda.

Komputer mini, kamera digital, prosesor ringan-kecil-murah, akses internet dimana pun, dll. Itu semua ada harganya, teknologi itu sangat dasyat. Tapi, kenapa... cuma buat fesbukan. dasar manusia useless!



tulisan ngawur ini dibuat-buat oleh:

satrio a.k.a biangkerok

praktisi komputer grafis

ngekos di purwokerto.




riogantengsekali
Read More …


Winginane pas inyong balik ngumah, inyong ndeleng acara tivi, “Satu Untuk Negeri”. Acara kuwe disiarna nggo nggolet duit nggo ngrewangi korban gempa bumi nang Tasikmalaya.
Neng acara sing mulaine jam sanga wengi kuwe, wong-wong pada dikumpulna nang ruangan gede. Kaya aula lha. Ana barisan tukang nerima telpon sekang wong sing kepengin nyumbang. Tapi jere ana korban sing telpon juga. Nang ngarep dewek, ana tivi gede nggo pranti nyetel gambar-gambar korban gempa. Melasine por.
Sing dadi pembawa acara wora-wiri mereki sing pada teka. Karo takon, “nyumbang pira?”, kaya kuwe kira-kira ngomonge. Terus peserta acara kuwe langsung njawab arep nyumbang pira. 10 juta, 15 juta, 25 juta…. Pokoke akeh maning lha.
Dadine, sing pertamane gole nonton dadi melu ngrasakna nelangsane. Tapi, selot suwe ko malah dadi gela dewek. Piwe ora gela jal, lha masa acara amal malah dadi nggone wong sugih pada pamer. Masa nyumbang bae kudu diomong-omongna. Nang tivi, maning.
Mulane inyong malah dadi kepikiran, jane wong-wong sing nyumbang kuwe mau, ikhlas ora ya?
Ora mung kuwe thok sing gawe inyong gela. Tapi, juga soal gambar pengungsi sing ana neng tivi. Gambar umah rusak, ibu-ibu sing lagi pada nangis, bocah cilik sing dadi trauma, akeh lha liane.
Tapi, inyong malah ndeleng gambar-gambar korban kuwe, mung dadi alat thok. Alat nggo nggawe wong-wong dadi melu melas karo para korban. Nek wis melas, kan dadi jor-joran gole nyumbange.
Inyong ora bisa mbayangna pira duit sing mlebu maring rekening stasiun tivi kuwe. Tapi, jujur bae ya, inyong malah kepikiran karo bunga bank sekang duit sumbangan sing ora etungan. Jan-jane mlebu sak-e sapa ya? Sing nduwe tivi apa korban.
Inyong si wis tau maca, nek duit sumbangan pancen tetep dibagikna. Tapi, nek bunga-ne lha malah mlebu maring sak-e sing nduwe tivi. Dadi critane tivi-tivi kuwe lagi pada ngode. Lewih akeh sing nyumbang, lewih akeh duit bunga sing disak. Tapi, ndean sing lewih pas maning kuwe; lewih akeh bencana, lewih cepet sugih.
Huh… inyong tambah ora ngerti karo wong-wong Indonesia lho. *immo*
Read More …

Udara sore itu, terasa dingin. Jalanan cukup meliuk mengiringi perjalanan kami. Namun rasa kebersamaan telah menghangatkan petualangan kami kali ini. Jarang rasanya, Tim Cengloe berkumpul, untuk sekedar jalan-jalan. Tak jauh dari Purwokerto, memang. Kami bertiga bersama dua teman Cengloe, begitu bersemangat menuju Taman Reptil dan Museum Uang di Purbalingga. Meskipun cukup berat, harus merogoh kocek 7000/orang untuk tiket masuk. Maklum saja, saat itu keuangan kami lagi seret.

Begitu masuk ke dalam ruangan, kami disambut puluhan koleksi reptil. Mulai dari ular, kadal, tokek, amphibi, kura-kura, hingga kumbang.

Mataku langsung tertarik dengan ular bernama Pueblan Milksnake. Pasalnya ular albino dari Mexico itu berwarna merah, putih, krem, dengan mata merah jambu. Sungguh menawan! Dengan menjulurkan lidah merahnya, dia begitu aktif menyambut tanganku yang menempel di kotak kacanya.

Melangkah pergi dari kotak-kotak ular asli luar negeri itu, kulihat kumbang yang motif punggungnya mirip wajah manusia. Lucu dan menakjubkan!

Langkahku kembali menuju deretan ular. Tiba-tiba, mataku jatuh cinta pada seekor ular berwarna hitam pekat, bernama Black Kingsnake. Liukannya anggun, dan membuatku terpesona. Rasanya aku ingin berlama-lama menatapnya. Mukanya yang dingin, seolah tak peduli dengan kedatanganku. Tak sadar, teman-temanku sudah pergi jauh meninggalkanku ke dalam.

Koleksi reptil itu membuat kami terkagum-kagum. Soalnya, banyak jenis yang jarang sekali bisa ditemui di kehidupan sehari-hari. Sayangnya koleksi kupu-kupu dan kumbang, tak lagi hidup. Dirangkai dengan indah, namun entah kenapa ada rasa miris terasa di hati.

Keluar dari bangunan utama, kami keluar menuju kandang kasa besar berisi burung merak dan beberapa jenis ular nangkring di atas pohon. Kandang ini, boleh dimasuki pengunjung, asalkan didampingi petugas. Sayangnya, sore itu tak ada petugas yang muncul untuk mendampingi. Alhasil keinginanku menyentuh kulit ular yang licin, belum bisa terpenuhi.

Di samping kandang kasa itu, ada kolam buaya. Sang buaya sedang asyik berendam, dan diam tak bergerak. Hanya beberapa ikan dan ceceran ayam sisa makanan buaya, yang menemani kesendiriannya.

Tak jauh, berjejer deretan kotak kaca cukup besar. Kobra, boa, piton, melingkar tidur kekenyangan setelah melahap seekor ayam. Ngeri juga, lihat ular sebesar paha manusia dewasa. Dalam imajinasi liarku, kotak kaca tiba-tiba pecah, dan ular-ular itu menyelusur pelan ke arah tubuhku, siap menyerangku. Oh!

Kami melangkah jauh ke dalam areal taman. Ada halaman cukup luas yang ditumbuhi aneka pohon. Jeruk, durian, kelengkeng, hingga buah naga putih. Diantara pohon, ada elang jawa bermata tajam. Sayang, kandangnya amat sempit. Sayapnya tak lagi bisa berkepak untuk terbang tinggi.

Jalan setapak kemudian kami susuri, menuju museum uang. Katanya, menyimpan mata uang dari 184 negara. Namun, kecewa menjumpai kami. Museum itu tutup, dan tak ada satupun petugas yang bisa kami temui.
Akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Menuju pintu keluar, kami bertemu dengan siamang. Dia sedang asyik bergelantungan dan berputar-putar, di dalam kandang yang tak begitu besar. Tiba-tiba siamang berhenti beraktifitas dan matanya menatap kami. Aku tak tahan melihat ekspresi sedih dari kedua bola matanya. "Keluarkan aku, kembalikan aku ke alam bebas," seakan kalimat itu yang terucap.

Seandainya aku mengerti bahasa binatang, aku bisa mendengar cerita mereka. Bagaimana rasanya terkurung dalam kotak kaca atau kandang sempit, sendirian. Tanpa teman dan menjadi bahan tontonan. Sekalipun aku tak mengerti bahasa mereka, rasanya aku melihat ekspresi tidak bahagia. Oh, entahlah. (Nara)
Read More …

Rokok memang benda kecil. Tapi, apa 'isi' yang ada di dalamnya juga berdampak 'kecil' bagi tubuh kita?

Bagi para perokok, merokok mungkin adalah salah satu cara untuk membuat hidup ini 'lebih berwarna'. Mereka menganggap bahwa rokok memberi inspirasi dan semangat hidup, bahkan memberi sensasi tersendiri. Jika mereka absen merokok selama sehari saja, pasti banyak sekali keluhan yang terlontar dari mulut mereka, salah satunya yaitu akan kehilangan ide-ide cemerlangnya.

Apa benar, rokok dapat membuat hidup lebih berwarna? Jawabannya, salah besar! Sejak kapan benda kecil berisi bahan kimia beracun itu membuat hidup lebih berwarna? Yang ada, rokok hanya akan membawa petaka bagi para pengisapnya. Rokok justru akan mengurangi waktu hidup kita. Sadar atau pun tidak, perokok telah memilih jalan bunuh diri ketika Ia memutuskan untuk mengisap sebatang rokok. Mereka tak tahu bahwa Nikotin dan sejenisnya telah menggerogoti paru-paru dan organ vital lainnya secara perlahan... tapi pasti.

"Aku ngerokok karena temen-temenku juga ngelakuin...".

Begitu pengakuan yang kudapat dari seorang perokok remaja. Merokok hanya karena ikut-ikutan? kasian banget! Mau-maunya ngikutin ajakan temen untuk mati. Mereka pada nggak bisa baca apa, tulisan yang terpampang jelas di semua bungkus rokok :

"MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN"

Aduh, kasihan banget sih para perokok itu. Apa lagi sekarang kebanyakan perokok adalah remaja.

Nih, fakta tentang rokok yang aku temuin di internet :
- Perokok biasanya batuk berkepanjangan, lalu disusul sesak nafas
- 'Isi' rokok terdiri atas kurang lebih 4000 bahan kimia yang membahayakan tubuh
- Di dalam rokok, ada sekitar 43 bahan kimia yang menjadi penyebab kanker
- Nikotin, penyebab utama serangan jantung dan stroke

Mengerikan bukan? Jadi memang pantas jika MUI mengeluarkan fatwa bahwa merokok itu haram. karena benda KECIL seperti itu ternyata menyimpan bahaya yang sangat BESAR bagi kesehatan kita. Jadi mulai saat ini, STOP SMOKING! ^_^.

Endah Zvegga Winchester
Komunitas LaRe Purwokerto
Read More …

Remaja jaman sekarang emang “unik”. Mereka lebih ngutamain pacaran daripada pelajaran. Nyadar nggak? Bukannya sok tau, sok suci, atau gimana. Tapi emang itu kenyataannya kan? Mereka lebih rajin nyari pacar daripada nyari materi pelajaran. Mereka lebih pintar nyenengin pacarnya daripada nyenengin ortu atau gurunya. Jangankan anak SMP, anak SD pun banyak yang udah pacaran. Uh, memprihatinkan sekalee.

Cupu amat lo! Apa nggak laku ya? Kasian.. Itulah kata-kata yang sering terlontar dari mulut anak-anak yang berpengalaman dalam pacaran buat mereka-mereka yang belum pernah pacaran. Jahat nggak tuh? Padahal menurutku justru yang kasian ya mereka yang pacaran. Apa coba untungnya? Seneng? Nggak cuma karena pacaran kan kita bisa seneng, hang out sama temen-temen juga bisa bikin kita seneng. Iya nggak? Bangga? Iya kalo cowoknya cakep, kalo jelek? (ih wow, sadis amat ya?)

Kebanyakan dari temen-temenku, pacaran bikin nilai mereka jadi jeblok, rankingnya terjun bebas, dan alhasil dapet KULTUM (KULiah TUjuh jaM) deh dari ortunya. Tapi ada juga yang justru karena pacaran, mereka jadi semangat belajar dan alhasil nilai mereka meroket dan rankingnya naik. Mungkin mereka malu kalo nilainya jelek dan tersaingi pacarnya.
Pacar yang nggak baik itu pacar yang menjerumuskan pacarnya ke jalan yang nggak bener. Contohnya saja, waktu kita mau belajar, tapi diajakin pacar kita buat jalan, tapi kita mau aja jalan. Kita udah niat berangkat sekolah, tapi diajakin buat bolos. Nggak baik kan?

Tapi, ada kok pacaran yang positif. Pacar sebagai temen belajar, temen sharing, dan temen diskusi. Mereka meluangkan waktunya tidak hanya untuk sekedar bercerita hal-hal yang nggak penting, tapi juga untuk belajar dan diskusi bareng. Ini nih, pacaran yang dianjurkan.
Intinya, sah-sah aja kok pacaran. Asal, pacarannya yang positif, ok

Sasta Anindya Cesper Keynes
Komunitas LaRe Purwokerto
Read More …

"Eh... besok ada PR bahasa inggris lho!!"
"Ehh... bahasa jawa juga ada PR lho!!"
"Alaah... bahasa jawa mah bisa nyontek..."

Apa....!! Nyontek?? Bahasa sendiri malah nyontek. Isiiin lah...

***

Jan-jane tah barang cilik, barang gampang. Tapi, kuwe dadi perkara gedhe, amargane bocah-bocah siki padha lewih seneng basa kang jerene apik, luwih "Think Global", yaiku basa inggris.

Aduh biyung, lha engko basa banyumase ya padha deilangna.

Jere, kie tah barang jere, jere nganggo basa inggris kuwe lewih nggaya, jere lewih mapan uripe angger teyeng basane wong landa. Jan, apa enggane padha kelalen karo basa banyumas tersayang kiye??

Okeh lah, sinau basa inggris ya ora papa, tapi aja nganti kelalen karo basa biyunge dewek. Aja nganti dewek sing lair nang lemah banyumas kelalen karo asal usule dewek.

Aja budaya lan basane wong landa bae sing disebarna nang lemah banyumas. Kenangapa ora budaya lan basane lemah banyumas bae sing digawa maring inggris...?? Iya mbok??

Sapa maning sing arep nguri-uri basane dewek??

Atina Istiqomah Hadi
SMA N 1 Ajibarang
Read More …

Jika petang itu datang
lihatlah bintang yang terbentang....
Di sana kau akan menerjang
Setiap lawan yang datang..

Jika gelap adalah kehidupan..
apakah yang kita dapatkan?
Kesenangan?Kebahagiaan?
bahkan.. sepatah katapun tak ada imbalan..
dunia memang sudah gelap gulita..
tak tahulah siapa yang buta..
atau hanya fakta morgana yang dapat mengarang cerita...

Kadang insan tak tahu tuhannya..
entah apa itu namanya..
namun hidup tetaplah menyala,
walau tak tau apa itu dosa..

* Laila Bilqis
SMA N 1 Ajibarang
Read More …

Apa yang kamu dapetin pelajaran sejarah? Jawabannya mungkin bakal banyak banget. Tapi, jawaban itu pasti gampang ketebaknya. Soalnya jawabanya paling sekitaran; tahun perang ini, kemenangan perang itu, kapan Jepang menduduki Hindia Belanda, kapan VOC berdiri, ato malah berbagai tahun-tahun kejadian plus tokoh-tokohnya. Ah, kalo jawaban kayak itu sih yang dikasih, berarti cara ngajar guru dan belajar sejarah Kita itu udah usang.

Sebagai generasi muda, Kita, emang dituntut buat belajar sejarah bangsa ini. Tapi, jelas bukan cuman ndengerin guru yang dengan asiknya ngecebres di depan kelas, ato malah ngerjain tugas-tugas di LKS. Namun, lebih dengan bertanya dan memandang pake “lensa-lensa rontgen” gimana sejarah bangsa Kita sesunggguhnya. Jadi, Kita lebih bisa nganggep sejarah itu jadi suatu materi belajar yang menarik dan asik, serta lebih bisa nyentuh kehidupan sekarang ini. Dan, yang paling penting, sejarah nggak lagi jadi beban hafalan ini-itu, yang njadiin Kita ngantuk, melainkan jadi suatu film, drama, roman, komedi, ato tragedi yang memukau sekaligus penuh hikmah.

Ngomong-ngomong soal sejarah, Kita pasti tau donk Harkitnas. Ya, Hari Kebangkitan Nasional yang dirayain tiap 20 Mei. Selama ini, Kita cuma tau kalo Harkitnas itu diadain buat ngerayain hari lahir Boedi Oetomo (BO). Tapi emang sesempit itu ya makna Harkitnas? Mungkin iya, mungkin juga nggak. Nyatanya, sekarang Harkitnas mulai menuai gugatan.

Harkitnas sendiri, berawal dari keresahan RM Suwardi Suryaningrat yang ngeliat persatuan Indonesia yang terus-terusan dibombardir sama perpecahan di sana-sini. Ceritanya, KI Hajar Dewantoro itu langsung curhat sama pemerintah. Ternyata Soekarno juga ngerasain hal yang sama. Waktu itu taun 1948.

Maka, dibuatlah semacam kepanitiaan yang dipimpin langsung sama KI Hajar Dewantoro. Tugasnya sih nggak susah, cuma nyari-nyari momen yang pas, yang bisa jadi pelecut semangat persatuan bangsa. Tanggal demi tanggal dipilih. Hari demi hari juga dicari. Ketemu! Tanggal 20 Mei. Hari dimana Tjipto Mangoenkoesoemo mbentuk BO.

Singkat kata, perayaan Harkitnas buat kali pertama dilaksanain. Saat itu tanggal 20 Mei 1948. Di perayaan itu, Bung Karno sempet berpidato. Malah dalam pidatonya Bung Karno sempet ngasih himbauan agar tanggal Harkitnas itu kelak ditinjau ulang. Sebuah himbauan yang kayaknya nggak banyak orang bisa inget.

Sekarang, udah 61 taun sejak Kita ngerayain gegap gempita Harkitnas ke-1. Tapi, kayak diomongin di depan tadi, tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional malah digugat. Jadi kontroversial. Gugatannya sih sederhana, tapi emang mendasar banget; tepat nggak sih Harkitnas itu jatuh pada tanggal 20 Mei? Nggak gampang njawab pertanyaan kayak gini. Ada yang njawab iya, ada juga yang nggak. Pedebatan pun nggak bisa dihindari.

Pihak yang kontra sama 20 Mei, nganggep Harkitnas iitu harusnya dirayain tanggal 16 Oktober. Hari lahirnya Sarekat Islam (SI). Alasannya gampang aja, SI itu yang sebenernya duluan nyuarain plus punya cita-cita Indonesia merdeka. Lebih nasionalis. Dan nggak milah-milih suku. Nggak kayak BO yang jawa banget dan anti-islam. Yah, meski harus diakui juga, SI itu kental sama sentiment keagamaan. Sampe sekarang perdebatan ini belum juga rampung.

Meski gitu, Kita nggak perlu terheran-heran sama perdebatan macam itu. Apalagi sampe melongo segala. Bukannya berdebat soal kebenaran itu hal wajar. Seperti kata Atmakusumah, pegiat pers Indonesia, “nggak ada kebenaran 100%”.Gitu juga soal sejarah. Sebuah produk kebudayaan yang bisa dibuat sama siapa aja. Baik itu pemerintah, orang tua, guru, pacar, ato malah diri Kita sendiri. Caranya emang beda-beda, tapi tujuannya sama aja; mempertahanin pengaruh sekaligus nunjukin seberapa hebatnya Kita. Meski semu itu bisa berbuah penyelewengan fakta sejarah. Kayak yang banyak tercetak dibuku sejarah.

Cuma dalam obrolan ini, persoalan tanggal bukan jadi pokok permbicaraan. Sebab persoalan tanggal bisa aja cuma bermertamorfosis jadi perayaan agung yang (lebih banyak) tanpa makna. Kosong mlompong. Ya, sekedar upacara doank!

Obrolan Kita lebih dari itu. Malah jauh melebihi itu. Kita belajar “membaca” sejarah, biar Kita tau, biar Kita juga ikutan ngerasain gimana semangat anak-anak bangsa yang saat itu umurnya baru 15-18 taun, tapi udah bisa mimpin organisasi yang ditakutin sama penjajah. Dan tentu aja, mereka itu udah berpikir soal bangsa dan kemerdekaan. Kalo nggak percaya, liat perjuangan Soekarno, Semaoen, Moh. Natsir, dan Tirto Adhi Soerjo.

Mungkin emang bener, tiap generasi punya zaman dan sejarahnya sendiri-sendiri. Gitu juga dengan generasi sekarang ini. Tapi, sejarah macam apa yang bakal tercipta dari generasi era millennium ini? Mau jadi generasi pecinta kemanusiaan kah? Generasi yang punya super-ego individualistik tinggi kah? Generasi peminta-minta kah? Atau malah jadi generasi yang cuma bisa sibuk bergelut dalam olimpiade berbagai mata pelajaran? *immo*
Read More …

Sepuluh tahun yang lalu, layang-layang meupakan salah satu permainan terfavorit bagi anak-anak. Panasnya sinar mentari, tidak membuat mereka takut. Justru panas itu akan hilang, dikalahkan oleh kesenangan dan kegembiraan. Ada semacam kebanggaan tersendiri saat bisa menerbangkan layang-layang ke udara. Meskipun terlihat gampang, namun tidak semua anak bisa melakukannya, diperlukan keuletan dan kesabaran. Selain itu, ketepatan dalam memprediksi besar-kecilnya angin yang datang, juga berpengaruh dalam keberhasilan menaikan layang-layang.

Meskipun, kelihatan panas dan kotor, ternyata permainan tradisional ini mempunyai banyak manfaat. Selain membuat anak-anak semakin ulet dan sabar, bermain layang-layang melatih kerja sama dengan orang lain. Juga membuat anak-anak menjadi bergerak aktif. Hal itu akan membuat badan mereka semakin sehat.

Namun, kini keadaan semua berbalik. Akhir-akhir ini, semakin jarang saja ditemukan anak-anak yang bermain layang-layang. Sebagian besar dari mereka lebih memilih duduk di depan televisi,- yang mampu menyajikan berbagai tayangan yang menarik dan menghibur. Penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) pada tahun 2006 menunjukan, jumlah jam menonton tv pada anak-anak sekolah dasar berkisar 30-35 jam seminggu. Jumlah waktu yang terlalu besar untuk hiburan yang kurang sehat.

Banyaknya tayangan tv yang tidak cocok buat anak-anak, seperti tayangan yang bertemakan seksualitas dan kekerasan, jelas tidak bisa dibiarkan begitu saja. Apabila dibiarkan, akan menimbulkan dampak negatif bagi anak-anak. Terganggunya kesehatan psikologis anak, meningkatnya individualisme, dan terancamnya keselamatan jiwa. Bukankah sudah banyak anak-anak yang meninggal dunia lantaran meniru berbagai adegan di tv.

Melihat banyaknya bukti yang membenarkan betapa bahayanya dampak negatif tv bagi adik, atau tetangga kita. Maka itu, sudah saatnya kita mengurangi intensitas menonton tv dan beralih pada hiburan yang lebih bermanfaat. Tentu saja semua itu demi peningkatan kualitas hidup kita. Salah satunya, bermain layang-layang seperti sepuluh tahun lalu, yang penuh keceriaan dan tawa.

kiriman ; Salit Purbarani
Read More …

Tak peduli panas menyengat, Cengloe menyambangi Kota Lama Banyumas (11/4). Meski banyak jalan berlubang sepanjang perjalanan (+/- 18 Km) ke arah selatan Purwokerto. Toh, tak mengurungkan niat kunjungan ke ibu kota pertama Kabupaten Banyumas.

Nuansa klasik penuh sejarah langsung terasa usai motor yang kami tumpangi melintasi Sungai Serayu. Jajaran rumah dan toko bergaya arsitektur jawa kolonial menyambut kedatangan kami. Meski sebenarnya banyak yang tak terawat karena keberadaan bangunan modern dan tak sedikit yang beralih menjadi kantor instansi.

Pemberhentian pertama kami adalah Pendopo Sipanji, pendopo yang hampir selama 427 tahun seusia dengan Kabupaten Banyumas, tetap kokoh berdiri dalam kompleks kadipaten. Melangkah memasuki pendopo, keindahan ornamen dan ukiran (terutama) pada tiang–tiang nampak serasi dengan balutan warna coklat. Puas melihat–lihat, kami melangkah menyusuri kompleks kadipaten yang sekarang telah menjadi kantor Kecamatan Banyumas. Beberapa bangunan yang dulunya kantor pemerintahan, kini dihuni oleh pegawai di lingkungan dinas setempat sebagai rumah tinggal.

Tak hanya klasik, namun nuansa mistis pun cukup terbangun. Di belakang eks–kantor Bupati, terdapat Sumur Mas. Kembang tujuh rupa dan wewangian senantiasa menemani sumur yang konon kabarnya penuh dengan mitos. Bahwa air sumur Mas akan menjadi kering di musim penghujan dan air melimpah di musim kemarau. Ajaib bukan?
Matahari semakin terik, tak dapat berkompromi sejenak, membuat kami ingin beristirahat. Masjid Nur Sulaiman, masjid agung Banyumas, menjadi tempat pilihan kami untuk melepas lelah. Jaraknya tak begitu jauh dari pendopo, hanya tinggal melewati alun–alun untuk sampai ke sana. Masjid besar yang dibangun mengikuti arsitektur jawa kolonial dengan sedikit sentuhan arab. Buktinya terdapat 4 (empat) tiang utama atau soko guru (Jawa), jendela dan pintu–pintu ukuran besar (Kolonial) dan ukiran yg berbaur dengan budaya Arab. Tidak sampai di ditu saja, di Masjid Nur Sulaiman juga terdapat benda bersejarah seperti mimbar khotbah dan bedug besar.

Tak lengkap rasanya melusuri jejak kota lama, tanpa mengunjungi Museum Wayang Banyumas. Ada berbagai hal yang ditawarkan dalam museum ini. Mulai dari koleksi lengkap aneka wayang yang pernah ada di Kabupaten Banyumas, hingga lukisan foto para bupati Banyumas yang pernah menjabat beserta beberapa foto mengenai Banyumas tempo dulu. Di sisi lain museum, koleksi gamelan dengan usia hampir 100 tahun dan koleksi artefak kuno Banyumas menjadi daya tarik tersendiri. Dari dalam museum yang sederhana tersebut, sejarah dan khasanah budaya Banyumas sedikit banyak tersajikan. Meski masih terkesan setengah-setengah.
Perjalanan kami hari itu (11/4) segera berakhir, Alun-alun pun menjadi pilihan kami untuk menutup hari dengan minum segelas es kelapa muda dan makan semangkok mie ayam. Alun–alun yang hampir setiap harinya menyuguhkan barisan PKL serta muda–mudi (anak sekolah) memadu kasih di siang bolong. _Nuansa Arya_
Read More …

“Kamu suka masak. Kamu suka njahit juga. Dan sekarang, kamu nangis gara-gara nonton film drama? Oh, banci banget sih!”

Ah, apa salahnya sih, klo aku suka masak dan njahit? Itu cuman hobi! Nggak ada alasan khusus, sama kaya orang lain yang suka main bola atau main ps. Soal nangis, aku akui, aku memang sentimentil. Aku gampang terharu kalau liat penderitaan orang lain. Aku tipe orang yang sensitif dan melankolis. Tapi sebagai manusia, itu wajar kan?

Mungkin lain ceritanya kalau aku perempuan. Suka masak, menjahit, dan nangis, dianggap wajar kalau aku perempuan. Sedangkan aku laki-laki. Dan itu jadi masalah! Padahal aku bukan perempuan yang terjerat dalam tubuh laki-laki.

Ah, tapi tetep aja, semua orang nggak mau peduli. Mereka menganggapku aneh. Mereka menyebutku ‘cowo cemen’, bukan laki-laki sejati, bahkan ada yang nganggep aku homo. Hei, aku ini masih suka sama cewe kok. Memangnya laki-laki sejati kaya apa sih? Yang sukanya main bola, bisa berantem, dan nggak cengeng?

Whoi, yang namanya laki-laki dan perempuan itu cuma jenis kelamin alias seks. Main bola atau masak cuma kesukaan. Sedangkan melanlokis cuma sifat yang melekat di diri manusia. Apapun jenis kelaminnya. Capek rasanya, hidup di lingkungan orang-orang yang hobinya membeda-bedakan segala sesuatunya cuman berdasarkan jenis kelamin. Cuma karena aku seorang laki-laki. Bukan karena kemampuanku.


Nasibku tak jauh beda.
Ibu memaksaku menyukai boneka saat aku lebih menyukai mobil-mobilan. Ayah memaksaku memakai rok walaupun aku lebih suka celana.
Kakak mengajakku main masak-masakan, padahal aku lebih suka berantem-beranteman.
Nenek mengajariku menyulam, padahal aku lebih suka main gundu.

Arrghhh!! Aku benci jadi robot yang bisa dibentuk semau mereka. Aku memang perempuan. Tapi aku nggak mau jadi perempuan yang sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran mereka. Yang katanya harus lembut, pintar merawat diri, dan bla..bla..bla..bla..!! Ada segudang aturan bagaimana harusnya menjadi seorang perempuan sejati, yang membuat napasku tercekat.

Memangnya semua perempuan harus ahli dalam urusan dapur dan segala tetek bengek rumah tangga? Kata mereka, perempuan itu cukup mikir rumah dan keluarga, bukan urusan publik. Urusan luar rumah, cukup laki-laki aja.

Tapi percuma aku membantah omongan mereka padahal otakku kosong. Aku benamkan kepalaku ke dalam buku-buku. Akhirnya aku dapat pencerahan, kalau manusia nggak bisa dibedakan cuman berdasarkan jenis kelamin. Nah, sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial dan budaya setempat, yang diberi nama gender. Jadi benar, kalau selama ini aku dibentuk sebagai perempuan sesuai keinginan masyarakat. Oh, payah!

Bedanya laki-laki dan perempuan itu, soal perbedaan organ tubuh khususnya organ reproduksi. Tapi soal kemampuan tetap saja punya kapasitas yang sama. Dan sayangnya selama ini, laki-laki seringkali dianggap lebih dibandingkan perempuan. Perempuan seringkali direndahkan dan dinomorduakan. Bahkan seringkali perempuan mendapat kekerasan. Ah, ini nggak adil! Aku harus menuntut kesetaraan. Aku tuntut persamaan hak, karena perempuan sudah dirugikan!

Hei, kata siapa cuman perempuan yang dirugikan? Aku, sebagai laki-laki pun dirugikan. Kalian pikir aku senang, selalu dianggap sebagai pihak yang kuat? Aku tak boleh kelihatan lemah. Sekali saja, aku terlihat lemah, mereka mengecamku. Oh!

Kaum perempuan teriakkan emansipasi, lalu apa yang harus aku teriakkan? Kebebasan! Kebebasan menjadi manusia, bukan dengan sifat bentukan!

Hmm…kebebasan ya?
Boleh juga. Tapi aku juga nggak mau terjebak dalam berbagai paham dan sudut pandang. Aku nggak mau jadi liberal, yang sebebas-bebasnya mengumbar keperempuananku sesuka hati. Aku nggak mau menjadi radikal hingga membenci laki-laki. Aku tahu, masyarakat kita terkungkung pada budaya patriarkhi yang lebih mengagungkan laki-laki. Tapi aku juga nggak mau jadi anarkhi, yang menghancurkan patriarkhi berarti menghancurkan negara.

Yang terbaik bagiku, aku bangga menjadi perempuan. Dan gini aja deh. Hai, laki-laki, aku menghargai kamu. Bukan hanya karena jenis kelaminmu, tapi karena kita sesama manusia. Oke?

Oke. Aku juga menghargai kamu kok. .NaRa.
Read More …

Di bangku taman sekolah-lah, Albert dan sahabatnya, Adam, seringkali menghabiskan jam istirahatnya. Di bangku itu, banyak hal yang bisa mereka bicarakan. Dari tugas sekolah yang susahnya minta ampun, lelucon, atau cewek pujaan hati. Kali ini, entah apa yang mereka omongkan. Mungkin serius atau mungkin malah cuma bergosip aja kayak biasanya.

Tapi, hari ini, raut muka Adam nggak secerah biasanya. Pikirannya tampak sedang berkecamuk. Jika sudah seperti itu, biasanya Adam akan mengeluarkan pertanyaan yang nggak terduga. Begitu juga dengan hari ini.

“Eh, Bert. Kenapa sih orang suka banget mbeda-bedain ilmu sosial sama ilmu alam?,” tanya Adam. Albert cuma tersenyum. Dia tau benar, sobatnya itu belum butuh penjelasan darinya.
Adam bercerita. Kemarin, Adam disindir oleh gurunya di kelas 1 dulu. Gurunya menyesalkan kenapa anak sepandai Adam malah milih jurusan IPS. Padahal kelas sosial, bukanlah tempatnya anak-anak pemikir. Tapi, cuma tempatnya anak-anak yang suka main nggak jelas. Bagi Si Guru, kelas IPA jelas jauh lebih bisa menjamin masa depan Adam.

Meskipun nggak asing lagi dengan omongan semacam itu sedari Adam memutuskan masuk IPS. Ia tetap nggak habis pikir kenapa begitu. Adam milih IPS, soalnya Ia memang suka dengan pelajaran-pelajaran bidang sosial. Khususnya ekonomi. Dan, orang tuanya pun telah menyetujui. Seburuk itukah pilihan Adam? Hingga Gurunya itu selalu mencelanya tiap kali berjumpa.
Jujur aja, Adam kecewa dengan polah Gurunya. Gimana mungkin seorang yang masih berpikir, ada cabang ilmu yang lebih hebat, lebih keren, bahkan lebih gaul, dibanding cabang ilmu yang lain. Apalagi Guru itukan digugu lan ditiru. Paling nggak sebagai seorang yang dianggap memiliki ilmu yang banyak. Ah, memangnya dalam pertandingan apa, IPA lawan IPS? “Ah, aku kecewa padanya.” kata Adam singkat.

Sekali lagi, Albert hanya tersenyum. Albert malah tampak sedang mengagumi sahabatnya itu. Dan memang selalu seperti itu. Buat Albert, Adam adalah seorang anak yang luar biasa. Adam selalu mengajukan berbagai pertanyaan yang menarik. Ia selalu penuh rasa ingin tau. Cerdas pula. Yang paling penting, Albert senang dengan Adam yang seperti itu. “Seperti ini pulakah teman-teman sekelas Adam?” tanya Albert dalam hati.

Pun dalam hal ini, Albert menganggap Adam masih lebih beruntung dibanding dengan dirinya. Dulu, Albert, harus berjuang mati-matian, sekedar untuk bisa belajar di kelas itung-itungan. Sampai-sampai, orang tuanya menemui Kepala Sekolah agar Albert bisa masuk IPA. Meskipun, Dia tau benar, nilai pelajaran eksaknya nggak pernah melebihi angka 6. Toh, Dia tetap nggak bisa menahan tekanan, atau lebih tepatnya paksaan, orang tua dan keluarga besarnya. Akhirnya, Albert mesti menjalani kesehariannya dengan berbagai rumus. Dengan tambahan sebutan ‘Si Dungu’ oleh gurunya, pula.

Maka itu, meski tak bicara, Albert juga setuju dengan kata-kata Adam. Dia juga nggak menyukai pembedaan itu. Pembedaan dalam hal bidang yang dikaji, masih okelah. Tapi, kalau sudah sejauh itu, nggak banget deh, pikir Albert.

Melihat sahabatnya berbicara sambil menggenggam tangan bak pemikir, Adam mulai mengajukan pertanyaan lagi. Cuman, sekarang agak mengawang-ngawang. Adam mengandaikannya sebagai virus. “Gimana kalau virus pembedaan ini, terus menjangkiti sampai anak kita yah?”. Kali ini Albert pun diam lagi. Dia nggak mau membayangkannya. Terlebih lagi kalau virus itu menyebar ke seluruh dunia. “Wah, mungkin bisa lebih berbahaya dari HIV/AIDS,” kata Albert, tiba-tiba. Adam mengangguk.

Bayangkan aja, jika para remaja terperangkap oleh virus pembedaan itu. Mereka hanya akan berubah menjadi robot-robot bertubuh manusia. Otaknya tak lagi kreatif. Yang ada cuma soal gengsi semata. Dan yang paling penting, nggak bebas! Nggak bebas nentuin masa depannya sendiri. Albert dan Adam jelas nggak pengen jadi robot kayak gitu. Mereka berdua pengen menikmati masa remajanya seindah mungkin. Bagi keduanya, milih bidang studi sesuai kemampuan dan keinginan adalah salah satu cara menikmati gairah muda mereka. Mereka nggak pengen menyesal suatu saat nanti.

Bel telah berbunyi, pertanda pelajaran segera dimulai. Keduanya kembali ke kelas masing-masing. Albert akan belajar fisika, sementara Adam belajar ekonomi. *immo*
Read More …