Oemah Cengloe

Ada sebuah jargon yang jadi pegangan cengloe kalo lagi minim semangat.
Dilarang Berhenti Berkarya! Begitu bunyi jargon itu. Ditilik dari kata-katanya emang
biasa banget. Malah mirip kayak kalimat perintah. Tapi, makna proses pembelajaran
sangat kental di dalam kata-kata itu.

Ya, selama ini, proses belajar yang coba cengloe tularkan emang agak beda
dengan proses belajar yang lazim dijalankan. Bagi cengloe, nggak bisa ato nggak
bakat bukan jadi alasan kita nggak berkarya. Tapi justru jadi cambuk biar kita
berusaha menaklukkan tantangan itu. Jadi, misalnya, kalo nggak bisa nulis yang harus
terus-terusan nulis sampe bisa, bukan malah kabur nggak mau nulis.

Nah, makanya, sebagai bentuk "Dilarang Berhenti Berkarya!", cengloe
membikin edisi #6 ini. Buat kali ini, cengloe coba menginterpretasikan arah. Jangan
bingung gitu, emang nggak terlalu special, malah keliatan remeh-temeh. tapi, asal tau
aja nih, gara-gara kita lupa nggak memahami arah, kita jadi sering kebingungan.
Ironisnya ini sering terjadi.

Okeh! Nggak perlu bercuap-cuap panjang lebar. Selamat membaca! Selamat
membumikan ide!
Read More …

Hidup itu seperti labirin. Ada banyak jalan bercabang. Beberapa jalan memang lurus dan mulus. Tapi banyak juga jalan berlubang dan terjal. Kadangkala disertai tanjakan atau nuansa jurang di kanan kiri jalan.

Ada jalan yang punya lampu penerangan. Tapi banyak juga yang gelap gulita. Yah, hampir sama dengan jalan raya di kehidupan nyata. Ada lampu merah, rambu-rambu lalu lintas, zebra cross, bahkan trotoar.

Kebanyakan manusia pasti lebih suka jalan terang. Tahu jalan ini menuju kemana. Namun jalan terang itu jarang banget ditemui. Cermati aja, kalau kita lagi jalan-jalan naik kendaraan, banyak jalan tanpa lampu. Tanpa rambu-rambu. Berlubang. Bahkan belum diaspal. Ah, kadang geram juga dengan pemerintah, gara-gara jalan rusak, bikin banyak kecelakaan.

Ya, kecelakaan, musibah, bisa terjadi kapan saja. Tanpa kita tahu. Kita bisa aja, tiba-tiba keserempet motor, ketabrak mobil, atau bahkan masuk jurang. Tangan bisa patah, kaki diamputasi, amnesia, atau bahkan lumpuh.

Kalau kecelakaan, tak jarang emosi membuncah. Saling menyalahkan, teriak minta ganti rugi, lapor polisi, hingga nangis-nangis gara-gara ada yang mati.

Tapi itulah hidup. Ada banyak jalan. Terang atau gelap, kadangkala bisa jadi sebuah pilihan. Namun bisa jadi bukan. Jalan terjal, tanjakan, berlubang, dan gelap bisa jadi sebuah jalan yang niscaya kita lalui.

Tenang saja, meski sulit, ada rambu-rambu kehidupan. Tafsirkan rambu-rambu dengan otak dan hati kita. Dan bukan hal yang tabu untuk menyebrang. Ada zebra cross yang siap setiap saat untuk dilalui.

Tapi, kalau jalan itu sempit, benturan emang kadang bisa terjadi. Ada kendaraan dari arah berlawanan. Tinggal pilih, tabrak atau berhenti. Masih ada trotoar untuk menepi. Istirahat sejenak dan dinginkan pikiran. Ego boleh saja, tapi jangan sampai kendaraan yang sedang kita tumpangi mencelakai orang lain.

Labirin memang rumit. Membingungkan. Mengerikan. Mematikan. Namun juga menarik. Menggugah rasa ingin tahu. Mendebarkan. Mencengangkan. Membahagiakan. Boleh jadi, manusia merasa labirin tak punya jalan keluar. Namun, setiap manusia boleh punya tujuan.

Ah, penting memang menentukan sebuah tujuan. Mau pergi kemana? Kalimantan, Bali, Papua, atau bahkan menjelajah semuanya. Jadi tinggal tentukan, kemana kaki ini akan melangkah. Itulah arah kehidupan. Sebuah semangat untuk mencapai tujuan, bukan mencari jalan keluar. (.Nara.)
Read More …

Tulisan ini sengaja aku buat untuk meluapkan kegemasan akan banyak hal
yang terlewati beberapa waktu ini. Lebih tepatnya lagi, kegemasan atas rutinitasku
sendiri. Gemas karena melakukan kegiatan yang itu-itu aja setiap harinya.

Pagi, begini. Siang, begitu. Malem, begini-begitu. Pagi besoknya, eh, begini
lagi. Bener-bener kayak lagi hidup di lingkaran setan yang mbundet. Nggak nunjukin
gelagat arah hidup yang maju, apalagi mundur.

Perasaan waktu kecil dulu, aku nggak pernah dipusingin sama hal-hal yang
berbau rutinitas deh. Tapi, kenapa sekarang tambah nggak karuan aja hidup ini
rasanya sih. Pokoknya mirip kayak lagi melewati jadwal pelajaran di sekolah yang
serba monoton. Itu belum diitung sama tugas-tugasnya.

Aargh... nggak banget deh hidup monoton gini. Minim klimak sama antiklimak!

Makanya, yang terlintas di otak ini cuma satu kata: kebebasan! Bebas dari
jeratan rutinitas. Bebas dari kukungan apa aja yang membelenggu. Masa' hidup cuma
jadi mahluk yang bisanya njalanin apa-apa yang udah diatur rapi sama orang lain.
Aku bukan robot!!

Out of box. Ya, itu yang bakal aku lakuin. Keluar dari kotak rutinitas yang
selama ini membikin aku penat. Ngelakuin banyak hal di luar yang biasanya dilakuin.

Yang baru. Yang beda. Pokoknya, yang menerabas pakem rutinitas yang terus
mencengkeram.

Eits... jangan keburu-buru dengan nganggap aku sebagai orang gila, orang
abnormal. Cuma lantaran aku coba ngelakuin hal di luar rutinitas, yang oleh
kebanyakan orang dianggap sebagai sesuatu yang normal.

Aku cuma ingin jadi manusia seutuhnya. Ingin jadi manusia yang nggak
ngelihat hidup hanya persoalan berada di bawah atau di atas layaknya perputaran
roda, tanpa pernah mau berpikir roda itu berputar maju atau mundur.

Tapi, yang pasti, aku nggak bakal ngelakuin hal-hal konyol kayak orang-orang
muda jaman sekarang. Ngomongnya sih, mencintai kebaruan dan mempraktekkan
kebebasan. Berteriak lantang, "this is my own style". Tapi, liat mereka sekarang.
Sama semua! Nggak ada yang bisa dibedain satu sama lain. Mereka didikte abis-
abisan. Mulai dari cara berpikir, cara jalan, model pakaian, model rambut, bahkan
sabun pembersih muka.

Sungguh-sungguh konyol robot-robot modernitas itu. Berpenampilan lagaknya
makhluk modern nan lengkap dengan peralatannya yang serba futuristik. Tapi, nggak
pernah tau untuk apa dan gimana cara makai alat-alat yang serba modern itu. Huh... kalo aku sih, nggak aku bakal mau bernasib konyol kayak robot modernitas itu.Nggak banget deh.

Ah, maaf kalo kata-kataku tiba-tiba jadi tajam atau bahkan ada yang
menilainya sebagai sesuatu yang berlebihan. Tapi, Anda-anda sekalian juga mesti
maklum, karena seperti tadi kukatakan, tulisan ini sengaja dibuat untuk meluapkan
kegemasan.

Aku cuma kepengen semua yang ada di tubuhku ini bisa tereksplorasi
potensinya. Apapun potensi yang aku punya. Aku yakin aku punya kemampuan. Yah,
kalo nggak bisa semuanya tereksplorasi, minim-minimnya aku bisa berpikir secara
bebas, sekreatif, dan seliar mungkin. Nggak masalah kalo ujung-ujungnya aku harus
berdiri sendiri melawan arus.

Yang jelas aku nggak mau nyesel, gara-gara ngabisin waktuku yang terlalu
singkat ini cuma buat kegiatan yang monoton dan nggak kreatif. Yah, itung-itung
sekalian menghayati filosofi seorang temen, "dalam ruangan itu emang ada jendela
dunia, tapi jangan pernah lupa kalo di sebelah jendela itu ada pintu yang bisa
dimasukin", begitu katanya.

Ah... udah, cape, ribet pula, ngomong sama kalian. Dasar generasi "Dodolit-
Dodolit Pret"! Generasi yang bisanya Cuma ngomong doank, tapi nggak ada isinya,
yang nggak mudengan, dan yang bisanya mbebek polah orang lain. Payah! *immo*
Read More …

Iseng, aku dengan beberapa orang teman, mampir ke museum Pangsar Soedirman di Karanglewas. Dari kejauhan, museum ini tampak begitu sepi. Ketika kami masuk, tiket hanya dihargai 3ribu rupiah untuk setiap orang. Cukup murah, pikirku.

Begitu masuk kawasan museum, kegersangan menyambut kami. Maklum, waktu itu pukul satu siang. Terik matahari menghunus tajam, bagai sebuah pedang. Sesekali, aku harus memicingkan mata. Rerumputan yang kuharap bisa mendinginkan mata, justru kering kecoklatan. Pepohonan pun tak cukup rindang.

Tak betah dengan hawa panas di halaman, kami menyegerakan langkah untuk masuk ke dalam museum. Ruangan museum itu berbentuk bundar. Tak cukup terang. Waktu itu lampu tak dinyalakan, memang. Sebuah sejarah hidup Panglima Besar Jendral Soedirman, dikisahkan melalui foto-foto yang tergantung mengelilingi ruangan.

Hanya sekedar foto hitam putih, tanpa bingkai. Dengan sedikit penjelasan seadanya. Dimulai dari kelahiran Soedirman, kariernya dalam kemiliteran, peperangan, hingga kematiannya. Ada pula sebuah lukisan yang mengisahkan Soedirman berperang dengan tandu. Lukisan itu keren, kataku. Dan tak ketinggalan, sebuah replika tandu dibiarkan teronggok berdebu. Ya, hanya ini saja yang ada dalam ruangan.

Hmm, sedikit kecewa memang. Kata seorang teman, tempat ini belum layak diberi label museum. Ada benarnya memang. Jelas, pemerintah terkesan tak serius mengurus museum ini. Padahal semangat juang Jenderal Soedirman acapkali diagung-agungkan. Namun, bagaimana mungkin semangat juang ini bisa mendarahdaging, jika sejarah kepahlawanannya dibiarkan terlantar? Ah, miris rasanya.

Selesai mengelilingi ruangan bundar ini, kami menaiki tangga. Beberapa relief dari batu berdiri gagah di atas museum. Sayang, tanpa keterangan. Kami pun saling pandang, tak mengerti. Sebuah monumen, dengan lambang burung garuda, yang berdiri sebagai latar museum, tetap menjulang tinggi meski kami lihat dari atas. Nampak agung, memang. Tapi tetap saja, ada yang kurang. Kami tak menemukan makna sejarah yang ingin disampaikan.

Untuk melepas rasa kecewa, kami duduk santai bersandar di salah satu relief. Menenggak air putih, sambil berbagi biskuit untuk menahan perut kami yang kelaparan. Semilir angin membuai kami. Perbincangan pun mulai terjalin. Mungkin inilah satu-satunya tempat di museum yang membuat kami betah. Menikmati angin dan pepohonan.

Sungguh sayang rasanya, komplek museum ini dibiarkan kurang perawatan. Padahal area tanahnya cukup luas. Bangku-bangku dan beberapa permainan anak-anak pun, dibiarkan warnanya memudar. Yah, pantas saja, kalau museum ini sepi, desah seorang temanku.

Seketika kuteringat pesan Bung Karno. "Jangan sekali-kali kau tinggalkan sejarah!". Maaf Bung, pesanmu mungkin telah kami abaikan. Telah begitu banyak sejarah yang ditinggalkan. Atau bahkan dibuang. Sudah terlalu banyak sejarah yang kami biarkan berdebu. (.Nara.)
Read More …

Setiap sekolah pasti punya yang namanya tata tertib. Gunanya yang jelas untuk membuat kehidupan sekolah menjadi kehidupan yang teratur. Apakah semua warga sekolah udah tau kalo itu tujuannya?

Yup! Mereka tau tujuan dibuatnya tata tertib. Coba aja kalo kita adain survey, tanyakan kepada semua warga sekolah, baik itu siswa, guru, pesuruh atawa yang lainnya. Jawaban mereka pasti mempunyai inti kalo mereka paham akan dibuatnya tata tertib. Anehnya, mereka bisa ngomong kayak gitu, tapi mereka nggak ngebuktiin. Alias mereka ngelanggar! Padahal mereka sadar!

Tradisi NATO a.ka No Action Talk Only emang masih merajalela di negeri kita, Indonesia. (Hiks!)

Dari pelanggaran-pelanggaran yang meraka (warga sekolah) lakukan, ada beberapa yang udah mereka anggap nggak lagi disebut peraturan, (terutama bagi kalangan siswa yang jadi komponen utama di sekolah). Couse merka ngelangggar selama terus-menerus dan peringatan yang diberikan hanya berlaku saat peringatan itu disampaikan saja.

Dari segi fashion style. Terutama pelajar cewek. Rok mereka dibuat dengan macem-macem model yang nggak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Makenya nggak standar pula, alian dibuat kedodoran di bagian sabuk. Kayak mau lepas. (Ups!).

Kemudian kemeja. Ini nggak cum,a pelajar cewek, tapi juga masuk lingkup cowok. Mereka make kemeje nggak dimasukkin ke balik rok atau celana. Itu emang hal sepele, tapi ya tetep aja ngelangggar peraturan. Kalo anak cewek biasanya mereka buat kemeja yang super kecil, yang otomatis bakalan keluar dari balik rok.

Terus masalah hair style yang nggak karuan. Kadang ada yang dikasih warna selain hitam, potongan rambut yang menurut mereka “ngeh”. Tapi ada juga yang ngeliatnya “aneh”.

Ada juga poin yang nggak ngelanggar peraturan, tapi efeknya bsia jadi ngelanggar peraturan. Udah jelas jawabannya adalah “PACARAN”. Efek positifnya ada, tapi cuma berlaku semenrata pas lagi masa pacaran thox. Kalo udah putus, baru efek negatifnya keliatan sangat menonjol. ‘n’ pada saat itulah peraturan demi peraturan dilanggar. So, antara efek positif versus negative dari pacaran lebih menang efek negatifnya. Nggak percaya? Coba aja disurvey! Lagian pacaran nggak njamin buat kita hidup bahagian dunia akhirat.

Hmm…. Sebenernya nggak Cuma pelajar yang sering buat pelanggaran. Para pengajarpun nggak luput. Yang sering terjadi pelanggaran para pengajar adalah…TELAT! Padahal siswanya dituntut buat disiplin. Eh… (ya begitulah).

Jadi, apa sebenernya fungsi peraturan tata tertib sekolah kalo semua yang tertera dalam peraturan tersebut tidak diindahkan?

Friday, desember 4 2009
At 04.00 a.m.

Bahiyatul Musfaidah
pelajar SMA N 1 Bobotsari
kelas X
Read More …

Inyong isih ora ngerti kenangapa uwong-uwong isin ngomong basa mBanyumasan. Ora neng Banyumas, Purwokerto, Purbalingga, apa neng Banjarnegara. Ya ora enom, ora tua, pada bae. Kabeh wong senenge ngomong karo bahasa bahasa Indonesiaan.

Nganti neng ndesa, ana wong tua sing ngajari ngomong anake karo basa Indonesia. Lho mbok jere basa ibune dewek kuwe basa mBanyumasan. Lha kye deneng.

Kaya-kayane nek ngomong basa mBanyumasan kuwe ngisin-ngisinane pol. Lewih ndadikna isin sekang dadi tukang njaluk-njaluk.

Inyong dadi pengin cerita kyeh. Inyong kuwe nduwe kanca wadon. Pawakane si duwur, kaya model lha. Raine lumayan ayu. Bisa basa inggrisan maning. Lha kancane inyong kuwe malah nduwe gelar mbekayu Purbalingga. Jose pol mbok.

Tapi ya kuwe, sing gawe nelangsa ati, bocah wadon kuwe jebule ora bisa ngomong basa mBanyumasan. Padahal umahe ya neng Purbalingga. Kuliahe ya mung neng Purwokerto thok.

Jan-jane si ya ora kuwe thok contoh wagu sekang basa sing dienggo ngomong neng wong-wong. Neng Purwokerto malah ana radio sing penyiare gole ngomong karo basa 'loe-gue'. Lha mbok ora pantese pol. Kye mbok udu Jakarta, sing pancen nggone wong ngomong basa 'loe-gue'.

Inyong ora lagi sebel karo basa Indonesia, dadi cerita kaya kiye. Inyong mung lagi nelangsa karo polahe wong-wong sing pada sok modern. Bisa ngomong basa Indonesia, ndean malah nganti bisa basa Inggrisan, si pancen apik. Tapi, ya mbok aja malah dadi pilih kasih kaya kuwe. Kuwe si jenenge ora bijaksana.

Sing jenenge basa ibu, mbok sing kudu ngelestarikna kuwe anak-anake. Ya dewek kiye. Apa dewek ora isin karo wong-wong luar negeri sing malah seneng sinau basa daerah karo budaya neng Indonesia. Apa kowe pancan rai gedek?

Engko nek basa, terus budaya Mbanyumasan, diaku-aku neng wong asing, lha nembe gotak. Mbok wagu nek jebule dewek kuwe sing marekna "umahe" dewek kecolongan.

Tenang bae, ayu karo nggantenge kowe pada ora bakal ilang koh nek kowe pada ngomong basa mBanyumasan. *immo*
Read More …