Oemah Cengloe

Apa yang kamu dapetin pelajaran sejarah? Jawabannya mungkin bakal banyak banget. Tapi, jawaban itu pasti gampang ketebaknya. Soalnya jawabanya paling sekitaran; tahun perang ini, kemenangan perang itu, kapan Jepang menduduki Hindia Belanda, kapan VOC berdiri, ato malah berbagai tahun-tahun kejadian plus tokoh-tokohnya. Ah, kalo jawaban kayak itu sih yang dikasih, berarti cara ngajar guru dan belajar sejarah Kita itu udah usang.

Sebagai generasi muda, Kita, emang dituntut buat belajar sejarah bangsa ini. Tapi, jelas bukan cuman ndengerin guru yang dengan asiknya ngecebres di depan kelas, ato malah ngerjain tugas-tugas di LKS. Namun, lebih dengan bertanya dan memandang pake “lensa-lensa rontgen” gimana sejarah bangsa Kita sesunggguhnya. Jadi, Kita lebih bisa nganggep sejarah itu jadi suatu materi belajar yang menarik dan asik, serta lebih bisa nyentuh kehidupan sekarang ini. Dan, yang paling penting, sejarah nggak lagi jadi beban hafalan ini-itu, yang njadiin Kita ngantuk, melainkan jadi suatu film, drama, roman, komedi, ato tragedi yang memukau sekaligus penuh hikmah.

Ngomong-ngomong soal sejarah, Kita pasti tau donk Harkitnas. Ya, Hari Kebangkitan Nasional yang dirayain tiap 20 Mei. Selama ini, Kita cuma tau kalo Harkitnas itu diadain buat ngerayain hari lahir Boedi Oetomo (BO). Tapi emang sesempit itu ya makna Harkitnas? Mungkin iya, mungkin juga nggak. Nyatanya, sekarang Harkitnas mulai menuai gugatan.

Harkitnas sendiri, berawal dari keresahan RM Suwardi Suryaningrat yang ngeliat persatuan Indonesia yang terus-terusan dibombardir sama perpecahan di sana-sini. Ceritanya, KI Hajar Dewantoro itu langsung curhat sama pemerintah. Ternyata Soekarno juga ngerasain hal yang sama. Waktu itu taun 1948.

Maka, dibuatlah semacam kepanitiaan yang dipimpin langsung sama KI Hajar Dewantoro. Tugasnya sih nggak susah, cuma nyari-nyari momen yang pas, yang bisa jadi pelecut semangat persatuan bangsa. Tanggal demi tanggal dipilih. Hari demi hari juga dicari. Ketemu! Tanggal 20 Mei. Hari dimana Tjipto Mangoenkoesoemo mbentuk BO.

Singkat kata, perayaan Harkitnas buat kali pertama dilaksanain. Saat itu tanggal 20 Mei 1948. Di perayaan itu, Bung Karno sempet berpidato. Malah dalam pidatonya Bung Karno sempet ngasih himbauan agar tanggal Harkitnas itu kelak ditinjau ulang. Sebuah himbauan yang kayaknya nggak banyak orang bisa inget.

Sekarang, udah 61 taun sejak Kita ngerayain gegap gempita Harkitnas ke-1. Tapi, kayak diomongin di depan tadi, tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional malah digugat. Jadi kontroversial. Gugatannya sih sederhana, tapi emang mendasar banget; tepat nggak sih Harkitnas itu jatuh pada tanggal 20 Mei? Nggak gampang njawab pertanyaan kayak gini. Ada yang njawab iya, ada juga yang nggak. Pedebatan pun nggak bisa dihindari.

Pihak yang kontra sama 20 Mei, nganggep Harkitnas iitu harusnya dirayain tanggal 16 Oktober. Hari lahirnya Sarekat Islam (SI). Alasannya gampang aja, SI itu yang sebenernya duluan nyuarain plus punya cita-cita Indonesia merdeka. Lebih nasionalis. Dan nggak milah-milih suku. Nggak kayak BO yang jawa banget dan anti-islam. Yah, meski harus diakui juga, SI itu kental sama sentiment keagamaan. Sampe sekarang perdebatan ini belum juga rampung.

Meski gitu, Kita nggak perlu terheran-heran sama perdebatan macam itu. Apalagi sampe melongo segala. Bukannya berdebat soal kebenaran itu hal wajar. Seperti kata Atmakusumah, pegiat pers Indonesia, “nggak ada kebenaran 100%”.Gitu juga soal sejarah. Sebuah produk kebudayaan yang bisa dibuat sama siapa aja. Baik itu pemerintah, orang tua, guru, pacar, ato malah diri Kita sendiri. Caranya emang beda-beda, tapi tujuannya sama aja; mempertahanin pengaruh sekaligus nunjukin seberapa hebatnya Kita. Meski semu itu bisa berbuah penyelewengan fakta sejarah. Kayak yang banyak tercetak dibuku sejarah.

Cuma dalam obrolan ini, persoalan tanggal bukan jadi pokok permbicaraan. Sebab persoalan tanggal bisa aja cuma bermertamorfosis jadi perayaan agung yang (lebih banyak) tanpa makna. Kosong mlompong. Ya, sekedar upacara doank!

Obrolan Kita lebih dari itu. Malah jauh melebihi itu. Kita belajar “membaca” sejarah, biar Kita tau, biar Kita juga ikutan ngerasain gimana semangat anak-anak bangsa yang saat itu umurnya baru 15-18 taun, tapi udah bisa mimpin organisasi yang ditakutin sama penjajah. Dan tentu aja, mereka itu udah berpikir soal bangsa dan kemerdekaan. Kalo nggak percaya, liat perjuangan Soekarno, Semaoen, Moh. Natsir, dan Tirto Adhi Soerjo.

Mungkin emang bener, tiap generasi punya zaman dan sejarahnya sendiri-sendiri. Gitu juga dengan generasi sekarang ini. Tapi, sejarah macam apa yang bakal tercipta dari generasi era millennium ini? Mau jadi generasi pecinta kemanusiaan kah? Generasi yang punya super-ego individualistik tinggi kah? Generasi peminta-minta kah? Atau malah jadi generasi yang cuma bisa sibuk bergelut dalam olimpiade berbagai mata pelajaran? *immo*
Read More …

Sepuluh tahun yang lalu, layang-layang meupakan salah satu permainan terfavorit bagi anak-anak. Panasnya sinar mentari, tidak membuat mereka takut. Justru panas itu akan hilang, dikalahkan oleh kesenangan dan kegembiraan. Ada semacam kebanggaan tersendiri saat bisa menerbangkan layang-layang ke udara. Meskipun terlihat gampang, namun tidak semua anak bisa melakukannya, diperlukan keuletan dan kesabaran. Selain itu, ketepatan dalam memprediksi besar-kecilnya angin yang datang, juga berpengaruh dalam keberhasilan menaikan layang-layang.

Meskipun, kelihatan panas dan kotor, ternyata permainan tradisional ini mempunyai banyak manfaat. Selain membuat anak-anak semakin ulet dan sabar, bermain layang-layang melatih kerja sama dengan orang lain. Juga membuat anak-anak menjadi bergerak aktif. Hal itu akan membuat badan mereka semakin sehat.

Namun, kini keadaan semua berbalik. Akhir-akhir ini, semakin jarang saja ditemukan anak-anak yang bermain layang-layang. Sebagian besar dari mereka lebih memilih duduk di depan televisi,- yang mampu menyajikan berbagai tayangan yang menarik dan menghibur. Penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) pada tahun 2006 menunjukan, jumlah jam menonton tv pada anak-anak sekolah dasar berkisar 30-35 jam seminggu. Jumlah waktu yang terlalu besar untuk hiburan yang kurang sehat.

Banyaknya tayangan tv yang tidak cocok buat anak-anak, seperti tayangan yang bertemakan seksualitas dan kekerasan, jelas tidak bisa dibiarkan begitu saja. Apabila dibiarkan, akan menimbulkan dampak negatif bagi anak-anak. Terganggunya kesehatan psikologis anak, meningkatnya individualisme, dan terancamnya keselamatan jiwa. Bukankah sudah banyak anak-anak yang meninggal dunia lantaran meniru berbagai adegan di tv.

Melihat banyaknya bukti yang membenarkan betapa bahayanya dampak negatif tv bagi adik, atau tetangga kita. Maka itu, sudah saatnya kita mengurangi intensitas menonton tv dan beralih pada hiburan yang lebih bermanfaat. Tentu saja semua itu demi peningkatan kualitas hidup kita. Salah satunya, bermain layang-layang seperti sepuluh tahun lalu, yang penuh keceriaan dan tawa.

kiriman ; Salit Purbarani
Read More …

Tak peduli panas menyengat, Cengloe menyambangi Kota Lama Banyumas (11/4). Meski banyak jalan berlubang sepanjang perjalanan (+/- 18 Km) ke arah selatan Purwokerto. Toh, tak mengurungkan niat kunjungan ke ibu kota pertama Kabupaten Banyumas.

Nuansa klasik penuh sejarah langsung terasa usai motor yang kami tumpangi melintasi Sungai Serayu. Jajaran rumah dan toko bergaya arsitektur jawa kolonial menyambut kedatangan kami. Meski sebenarnya banyak yang tak terawat karena keberadaan bangunan modern dan tak sedikit yang beralih menjadi kantor instansi.

Pemberhentian pertama kami adalah Pendopo Sipanji, pendopo yang hampir selama 427 tahun seusia dengan Kabupaten Banyumas, tetap kokoh berdiri dalam kompleks kadipaten. Melangkah memasuki pendopo, keindahan ornamen dan ukiran (terutama) pada tiang–tiang nampak serasi dengan balutan warna coklat. Puas melihat–lihat, kami melangkah menyusuri kompleks kadipaten yang sekarang telah menjadi kantor Kecamatan Banyumas. Beberapa bangunan yang dulunya kantor pemerintahan, kini dihuni oleh pegawai di lingkungan dinas setempat sebagai rumah tinggal.

Tak hanya klasik, namun nuansa mistis pun cukup terbangun. Di belakang eks–kantor Bupati, terdapat Sumur Mas. Kembang tujuh rupa dan wewangian senantiasa menemani sumur yang konon kabarnya penuh dengan mitos. Bahwa air sumur Mas akan menjadi kering di musim penghujan dan air melimpah di musim kemarau. Ajaib bukan?
Matahari semakin terik, tak dapat berkompromi sejenak, membuat kami ingin beristirahat. Masjid Nur Sulaiman, masjid agung Banyumas, menjadi tempat pilihan kami untuk melepas lelah. Jaraknya tak begitu jauh dari pendopo, hanya tinggal melewati alun–alun untuk sampai ke sana. Masjid besar yang dibangun mengikuti arsitektur jawa kolonial dengan sedikit sentuhan arab. Buktinya terdapat 4 (empat) tiang utama atau soko guru (Jawa), jendela dan pintu–pintu ukuran besar (Kolonial) dan ukiran yg berbaur dengan budaya Arab. Tidak sampai di ditu saja, di Masjid Nur Sulaiman juga terdapat benda bersejarah seperti mimbar khotbah dan bedug besar.

Tak lengkap rasanya melusuri jejak kota lama, tanpa mengunjungi Museum Wayang Banyumas. Ada berbagai hal yang ditawarkan dalam museum ini. Mulai dari koleksi lengkap aneka wayang yang pernah ada di Kabupaten Banyumas, hingga lukisan foto para bupati Banyumas yang pernah menjabat beserta beberapa foto mengenai Banyumas tempo dulu. Di sisi lain museum, koleksi gamelan dengan usia hampir 100 tahun dan koleksi artefak kuno Banyumas menjadi daya tarik tersendiri. Dari dalam museum yang sederhana tersebut, sejarah dan khasanah budaya Banyumas sedikit banyak tersajikan. Meski masih terkesan setengah-setengah.
Perjalanan kami hari itu (11/4) segera berakhir, Alun-alun pun menjadi pilihan kami untuk menutup hari dengan minum segelas es kelapa muda dan makan semangkok mie ayam. Alun–alun yang hampir setiap harinya menyuguhkan barisan PKL serta muda–mudi (anak sekolah) memadu kasih di siang bolong. _Nuansa Arya_
Read More …

“Kamu suka masak. Kamu suka njahit juga. Dan sekarang, kamu nangis gara-gara nonton film drama? Oh, banci banget sih!”

Ah, apa salahnya sih, klo aku suka masak dan njahit? Itu cuman hobi! Nggak ada alasan khusus, sama kaya orang lain yang suka main bola atau main ps. Soal nangis, aku akui, aku memang sentimentil. Aku gampang terharu kalau liat penderitaan orang lain. Aku tipe orang yang sensitif dan melankolis. Tapi sebagai manusia, itu wajar kan?

Mungkin lain ceritanya kalau aku perempuan. Suka masak, menjahit, dan nangis, dianggap wajar kalau aku perempuan. Sedangkan aku laki-laki. Dan itu jadi masalah! Padahal aku bukan perempuan yang terjerat dalam tubuh laki-laki.

Ah, tapi tetep aja, semua orang nggak mau peduli. Mereka menganggapku aneh. Mereka menyebutku ‘cowo cemen’, bukan laki-laki sejati, bahkan ada yang nganggep aku homo. Hei, aku ini masih suka sama cewe kok. Memangnya laki-laki sejati kaya apa sih? Yang sukanya main bola, bisa berantem, dan nggak cengeng?

Whoi, yang namanya laki-laki dan perempuan itu cuma jenis kelamin alias seks. Main bola atau masak cuma kesukaan. Sedangkan melanlokis cuma sifat yang melekat di diri manusia. Apapun jenis kelaminnya. Capek rasanya, hidup di lingkungan orang-orang yang hobinya membeda-bedakan segala sesuatunya cuman berdasarkan jenis kelamin. Cuma karena aku seorang laki-laki. Bukan karena kemampuanku.


Nasibku tak jauh beda.
Ibu memaksaku menyukai boneka saat aku lebih menyukai mobil-mobilan. Ayah memaksaku memakai rok walaupun aku lebih suka celana.
Kakak mengajakku main masak-masakan, padahal aku lebih suka berantem-beranteman.
Nenek mengajariku menyulam, padahal aku lebih suka main gundu.

Arrghhh!! Aku benci jadi robot yang bisa dibentuk semau mereka. Aku memang perempuan. Tapi aku nggak mau jadi perempuan yang sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran mereka. Yang katanya harus lembut, pintar merawat diri, dan bla..bla..bla..bla..!! Ada segudang aturan bagaimana harusnya menjadi seorang perempuan sejati, yang membuat napasku tercekat.

Memangnya semua perempuan harus ahli dalam urusan dapur dan segala tetek bengek rumah tangga? Kata mereka, perempuan itu cukup mikir rumah dan keluarga, bukan urusan publik. Urusan luar rumah, cukup laki-laki aja.

Tapi percuma aku membantah omongan mereka padahal otakku kosong. Aku benamkan kepalaku ke dalam buku-buku. Akhirnya aku dapat pencerahan, kalau manusia nggak bisa dibedakan cuman berdasarkan jenis kelamin. Nah, sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial dan budaya setempat, yang diberi nama gender. Jadi benar, kalau selama ini aku dibentuk sebagai perempuan sesuai keinginan masyarakat. Oh, payah!

Bedanya laki-laki dan perempuan itu, soal perbedaan organ tubuh khususnya organ reproduksi. Tapi soal kemampuan tetap saja punya kapasitas yang sama. Dan sayangnya selama ini, laki-laki seringkali dianggap lebih dibandingkan perempuan. Perempuan seringkali direndahkan dan dinomorduakan. Bahkan seringkali perempuan mendapat kekerasan. Ah, ini nggak adil! Aku harus menuntut kesetaraan. Aku tuntut persamaan hak, karena perempuan sudah dirugikan!

Hei, kata siapa cuman perempuan yang dirugikan? Aku, sebagai laki-laki pun dirugikan. Kalian pikir aku senang, selalu dianggap sebagai pihak yang kuat? Aku tak boleh kelihatan lemah. Sekali saja, aku terlihat lemah, mereka mengecamku. Oh!

Kaum perempuan teriakkan emansipasi, lalu apa yang harus aku teriakkan? Kebebasan! Kebebasan menjadi manusia, bukan dengan sifat bentukan!

Hmm…kebebasan ya?
Boleh juga. Tapi aku juga nggak mau terjebak dalam berbagai paham dan sudut pandang. Aku nggak mau jadi liberal, yang sebebas-bebasnya mengumbar keperempuananku sesuka hati. Aku nggak mau menjadi radikal hingga membenci laki-laki. Aku tahu, masyarakat kita terkungkung pada budaya patriarkhi yang lebih mengagungkan laki-laki. Tapi aku juga nggak mau jadi anarkhi, yang menghancurkan patriarkhi berarti menghancurkan negara.

Yang terbaik bagiku, aku bangga menjadi perempuan. Dan gini aja deh. Hai, laki-laki, aku menghargai kamu. Bukan hanya karena jenis kelaminmu, tapi karena kita sesama manusia. Oke?

Oke. Aku juga menghargai kamu kok. .NaRa.
Read More …

Di bangku taman sekolah-lah, Albert dan sahabatnya, Adam, seringkali menghabiskan jam istirahatnya. Di bangku itu, banyak hal yang bisa mereka bicarakan. Dari tugas sekolah yang susahnya minta ampun, lelucon, atau cewek pujaan hati. Kali ini, entah apa yang mereka omongkan. Mungkin serius atau mungkin malah cuma bergosip aja kayak biasanya.

Tapi, hari ini, raut muka Adam nggak secerah biasanya. Pikirannya tampak sedang berkecamuk. Jika sudah seperti itu, biasanya Adam akan mengeluarkan pertanyaan yang nggak terduga. Begitu juga dengan hari ini.

“Eh, Bert. Kenapa sih orang suka banget mbeda-bedain ilmu sosial sama ilmu alam?,” tanya Adam. Albert cuma tersenyum. Dia tau benar, sobatnya itu belum butuh penjelasan darinya.
Adam bercerita. Kemarin, Adam disindir oleh gurunya di kelas 1 dulu. Gurunya menyesalkan kenapa anak sepandai Adam malah milih jurusan IPS. Padahal kelas sosial, bukanlah tempatnya anak-anak pemikir. Tapi, cuma tempatnya anak-anak yang suka main nggak jelas. Bagi Si Guru, kelas IPA jelas jauh lebih bisa menjamin masa depan Adam.

Meskipun nggak asing lagi dengan omongan semacam itu sedari Adam memutuskan masuk IPS. Ia tetap nggak habis pikir kenapa begitu. Adam milih IPS, soalnya Ia memang suka dengan pelajaran-pelajaran bidang sosial. Khususnya ekonomi. Dan, orang tuanya pun telah menyetujui. Seburuk itukah pilihan Adam? Hingga Gurunya itu selalu mencelanya tiap kali berjumpa.
Jujur aja, Adam kecewa dengan polah Gurunya. Gimana mungkin seorang yang masih berpikir, ada cabang ilmu yang lebih hebat, lebih keren, bahkan lebih gaul, dibanding cabang ilmu yang lain. Apalagi Guru itukan digugu lan ditiru. Paling nggak sebagai seorang yang dianggap memiliki ilmu yang banyak. Ah, memangnya dalam pertandingan apa, IPA lawan IPS? “Ah, aku kecewa padanya.” kata Adam singkat.

Sekali lagi, Albert hanya tersenyum. Albert malah tampak sedang mengagumi sahabatnya itu. Dan memang selalu seperti itu. Buat Albert, Adam adalah seorang anak yang luar biasa. Adam selalu mengajukan berbagai pertanyaan yang menarik. Ia selalu penuh rasa ingin tau. Cerdas pula. Yang paling penting, Albert senang dengan Adam yang seperti itu. “Seperti ini pulakah teman-teman sekelas Adam?” tanya Albert dalam hati.

Pun dalam hal ini, Albert menganggap Adam masih lebih beruntung dibanding dengan dirinya. Dulu, Albert, harus berjuang mati-matian, sekedar untuk bisa belajar di kelas itung-itungan. Sampai-sampai, orang tuanya menemui Kepala Sekolah agar Albert bisa masuk IPA. Meskipun, Dia tau benar, nilai pelajaran eksaknya nggak pernah melebihi angka 6. Toh, Dia tetap nggak bisa menahan tekanan, atau lebih tepatnya paksaan, orang tua dan keluarga besarnya. Akhirnya, Albert mesti menjalani kesehariannya dengan berbagai rumus. Dengan tambahan sebutan ‘Si Dungu’ oleh gurunya, pula.

Maka itu, meski tak bicara, Albert juga setuju dengan kata-kata Adam. Dia juga nggak menyukai pembedaan itu. Pembedaan dalam hal bidang yang dikaji, masih okelah. Tapi, kalau sudah sejauh itu, nggak banget deh, pikir Albert.

Melihat sahabatnya berbicara sambil menggenggam tangan bak pemikir, Adam mulai mengajukan pertanyaan lagi. Cuman, sekarang agak mengawang-ngawang. Adam mengandaikannya sebagai virus. “Gimana kalau virus pembedaan ini, terus menjangkiti sampai anak kita yah?”. Kali ini Albert pun diam lagi. Dia nggak mau membayangkannya. Terlebih lagi kalau virus itu menyebar ke seluruh dunia. “Wah, mungkin bisa lebih berbahaya dari HIV/AIDS,” kata Albert, tiba-tiba. Adam mengangguk.

Bayangkan aja, jika para remaja terperangkap oleh virus pembedaan itu. Mereka hanya akan berubah menjadi robot-robot bertubuh manusia. Otaknya tak lagi kreatif. Yang ada cuma soal gengsi semata. Dan yang paling penting, nggak bebas! Nggak bebas nentuin masa depannya sendiri. Albert dan Adam jelas nggak pengen jadi robot kayak gitu. Mereka berdua pengen menikmati masa remajanya seindah mungkin. Bagi keduanya, milih bidang studi sesuai kemampuan dan keinginan adalah salah satu cara menikmati gairah muda mereka. Mereka nggak pengen menyesal suatu saat nanti.

Bel telah berbunyi, pertanda pelajaran segera dimulai. Keduanya kembali ke kelas masing-masing. Albert akan belajar fisika, sementara Adam belajar ekonomi. *immo*
Read More …