Oemah Cengloe


Sebelum, naik Gunung Slamet, seorang anggota Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Fakultas Sastra UI ditanya, untuk apa sih mendaki gunung. Dapet pertanyaan itu, pemuda berperawakan kecil itu geram. Tapi, dia nggak bergeming. Dia terus mendaki.


"Kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan-slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itu kami naik gunung."

Kata-kata itulah yang jadi jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan 40 tahun lampau, sepulang dari pendakian. Pemuda kelahiran 17 desember 1942 itu bernama Soe Hok-Gie.

Nah, kalo pertanyaan itu diajuin ke para pecinta alam (PA) jaman sekarang, apalagi di tengah ancaman pemanasan global. Kira-kira jawabannya bakal kayak apaan yah?

Mungkin ini, mungkin juga itu. Yang jelas, jawaban kayak yang Gie kasih bakal susah banget didapet tuh.

Alasannya, simple banget. Sebab, niatan buat "mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat", udah diganti sama niatan yang jauh lebih personal. Macam dapet background foto narsis yang keren, kepuasan berdiri di puncak gunung, atau malah bangga udah nempelin nama bekennya di pohon.

Semua orang jelas nggak bisa menafikan kalo citra pecinta alam udah rusak di mata kebanyakan orang. Kata PA nggak lagi diartiin pecinta alam, tapi sekedar penikmat alam atau malah perusak alam. Ironisnya, semua itu lantaran polah mereka sendiri.

Yang terliat sama kebanyakan mata, malah tingkah narsis nan egois yang nggak jarang ngerusak alam. Melabeli batu di gunung dengan nama sekolah, metik eidelwais secara berlebihan, buang sampah sembarangan, dan sebagainya, dan sebagainya. Soal peduli alam dan lingkungan, non sense.

Emang, kegiatan PA nggak melulu naik gunung. Ada panjat tebing, ada flying fox, ada jelajah alam, ada juga yang lainnya. Sayangnya, sekali lagi, kegiatan mereka itu justru makin ngeliatin kalo cinta atas alam itu udah tergerus. Ato jangan jangan, cinta itu emang nggak ada ya??

Orang-orang yang yang ngaku jadi pecinta alam, terlampau asik menguasai teknis-teknis semacam itu. Sementara itu, sampah semakin bergunung-gunung, pohon-pohon bertumbangan, dan sungai menghijau airnya.

Kau takkan tau nasib manusia di sekitarmu, karena kau selama ini hanya melihat jiwamu. Begitu kalo kata Sherina Munaf.

Ah, kalo udah gini, gimana dengan nasib alam Indonesia? Yang jadi garda depan buat ngerawat kelestarian alam aja udah nggak bisa diharepin. Apalagi orang yang emang nggak mau perduli sama alam. Wah, bahayuud nih....*immo*

Categories:

Leave a Reply