Oemah Cengloe

"Lama sudah masyarakat Banyumas, Jawa Tengah, terpinggirkan sebagai ”wong ngapak-ngapak” yang kampungan. Kini, mereka bangkit dengan percaya diri pada budaya ”panginyongan”." (Merayakan Budaya "Panginyongan", Kompas Minggu 20 Juni 2010)

Senin (20/06) kemarin, aku ditanya sama seorang wartawan , Chandra Iswinarno. Begini pertanyaannya kira-kira, "udah baca kompas edisi minggu? Gimana menurutmu?"

Alamak. Udah tentu aku belum membacanya. Sembari mengkambing-hitamkan duit yang limit, aku tetap bersiap dengan cibiran yang mungkin bakal aku terima. Dan benar, cibiran itu datang. "Lha pegiat dunia tulisan kok nggak pernah baca koran. hehehe."

Mlam itu juga, aku lantas membuka kompas.com. Ternyata, ada tiga tulisan yang dibikin Kompas. Merayakan Budaya "Panginyongan", Dari Siswa sampai Video "Mantenan", dan GERILYA SINEMA dari Purbalingga.

Cara bercerita yang menarik. Berpijak dari perkembangan film pendek di Banyumas, banyak hal terkait Banyumas mulai dikuak. Rasanya sejalan dengan apa yang dilakukan TvOne pas lagi bukin feature soal geliat perfilman Banyumas.

Ada semacam kebanggan dengan dimuatnya budaya Banyumas di media-media nasional. Gimana nggak, Banyumas dan budayanya yang selama ini dijadikan bahan lawakan, mulai bisa nunjukin siapa dirinya yang sebenarnya. Siapa "Kang Bawor" sesungguhnya.

Tapi, yang terlintas di otak ini nggak cuma kebanggan akan Banyumas aja. Namun, muncul semacam rasa dilematis. "Kita (banyumas -red) terlalu besar diluar tapi keropos akut di dalam." jelas Chandra.

Ya, rasanya kata-kata wartawan itu nggak terlampau berlebihan. Liat aja di berbagai media. Mulai dai koran lokal, film, hingga blog. Semua media itu menjadi "ruang pamer" nilai-nilai lokalitas yang selama ini diyakini di Kota Panginyongan ini. Hebat betul Banyumas ini rasanya.

Eits, tunggu dulu. Liat dulu kedalam, kenyataannya. Semuanya serba semrawut. Nilai-nilai yang termuat di berbagai media itu, kosong mlompong. Kadang aku mikir mental orang2 (mudanya), begitu hipotesis kecil yang aku punya.

"Nah itu, yang bermasalah akhirnya kita terlalu dibuai. Itu yang membuat generasi muda banyumas tidak kreatif. Liat aja saat ini." ungkap Chandra.

Kaum muda Banyumas ini memang lucu. Mereka lebih memilih mengekor budaya orang pendatang. Mereka larut dalam budaya yang diseragamkan seperti yang selama ini melatah dalam tayangan televisi yang dipenuhi sosok berkulit putih, tinggal di rumah mewah, berpakaian modis, ngomong bahasa gaul, dan suka mejeng di mal.

Daripada bergairah untuk menemukan sosok budayanya sendiri. Ketimbang dengan PeDe nunjukin jati diri sebagai orang yang cablak, terbuka dan tanpa kelas alias egaliter. Serta nggak mentingin sopan santun berlebihan.

Huh. Aku nggak sedang berniat menghakimi siapapun. Ato malah jadi yang paling bener. Sebab, terlampau banyak alasan yang sebenarnya bia dimunculin. Hanya lagi bercermin dengan diri cengloe sendiri, dan khususnya pribadiku sendiri.

Nah, kenyataan udah di depan mata. Pahit-manis, itulah kenyataan yang musti dibereskan.

Sejalan dengan itu, banyak ruang yang bisa dicipta. Bukankah membekap kreatifitas dan mengkebiri jati diri itu nggak bijak?*immo*

Selamat Membumikan Ide!!
Read More …

Rasanya belum lama edisi perdana cengloe dibikin. Sekaligus sebagai pijakan awal eksistensi cengloe di bumi Banyumas ini. Peluh dan grundelan-nya aja masih belum ilang. Tapi kok, ternyata udah satu tahun berlalu sedari cengloe edisi pertama terbit.

Kini, ibarat seorang bayi berusia satu tahun, cengloe pun lagi asik-asiknya belajar jalan. Tretehan, kalo orang tua bilang. Cuma, bedanya, cengloe udah tau kemana harus menapakan kaki. Guratan pena cengloe-lah yang bakal ngasih tau, kepada teman-teman cengloe, kemana jejak-jejak itu mengarah.

Dengan semangat untuk menghargai; manusia, alam, dan budaya lokal, cengloe mengajak teman-teman cengloe turut belajar berjalan. Berjalan menuju sesuatu yang lebih baik dan menggelorakan.

Nah, selamat membaca! Selamat membumikan ide!



download saja Cengloe #10 di sini:
http://www.ziddu.com/download/10336879/Cengloe10.pdf.html

bergabung dengan facebook kami
Oemah Cengloe atau Grup Oemah Cengloe

email kami: oemahcengloe@gmail.com


Read More …

Di lereng bukit, aku bersitatap dengan pohon-pohon pinus. Menjulang ke langit. Berjejer dengan rapi. Aku berjalan di antara mereka. Sambil sesekali mengamati kristalan getah yang tengah disadap, aku berjalan menuju sungai.

Kuniatkan hatiku untuk susur sungai. Mengikuti aliran air turun ke arah timur. Sesekali kulihat pipa-pipa centang-perentang ke arah rumah-rumah penduduk. Meski ada banyak rumah penduduk di sekitarnya, air sungai tetaplah jernih. Penduduk setempat tak hanya memanfaatkan, namun juga merawat. Ini bukti kecil bagaimana alam bisa hidup berdampingan dengan manusia. Aku seakan bisa merasakan aroma kenyamanan alam. Meski dalam diam.

Kucelupkan kakiku. Dingin terasa menusuk kaki telanjangku. Menapak di atas bebatuan licin. Dengan sesekali terjerembab ke dalam lumpur. Semakin berjalan ke timur, aku menemui aliran putih berbusa bernama deterjen, dengan sok kenal menjumpai aliran sungai. Ikan-ikan tampak gentayangan, berlari menjauh dari busa-busa nan mematikan.

Tak lama, ku temukan, plastik warna-warni menebar pesona pada aliran sungai. Tak mungkin sang sungai yang baik hati menolak. Dia membawa plastik warna-warni, larut dalam alirannya.

Semakin ke arah timur, semakin kutahu sungai ini terlalu baik hati. Dia mengajak serta sandal jepit lusuh, keranjang rotan rusak, dahan pisang busuk, hingga tumpukan plastik buruk rupa.

Namun mereka akhirnya harus berpisah. Sesampai bendungan, plastik dan sebangsanya, disaring. Dipaksa untuk tetap bertahan. Mereka saling bertumpuk, sambil mohon ijin kembali mengikuti aliran.

Bertumpuk. Menggunung berbagai rupa. Kujumpai berhari-hari, tak pernah gunungan itu berkurang. Malah semakin tinggi, dan terus bertambah tinggi. Alhasil, jebol sudah pertahanan si penyaring. Tak kuat menahan sampah yang menggunung.

Aku terhenyak. Merasa ada sesuatu yang tak beres. Aliran telah berubah, dari tenang, lalu mengganas. Sang sungai tengah gelisah. Aku seakan bisa merasakan aroma kemarahan, di tiap gelora alirannya. Manusia telah serakah. Dan kutahu sungai tak selamanya bisa baik hati.
****
Read More …


Sebelum, naik Gunung Slamet, seorang anggota Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Fakultas Sastra UI ditanya, untuk apa sih mendaki gunung. Dapet pertanyaan itu, pemuda berperawakan kecil itu geram. Tapi, dia nggak bergeming. Dia terus mendaki.

"Kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan-slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itu kami naik gunung."

Kata-kata itulah yang jadi jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan 40 tahun lampau, sepulang dari pendakian. Pemuda kelahiran 17 desember 1942 itu bernama Soe Hok-Gie.

Nah, kalo pertanyaan itu diajuin ke para pecinta alam (PA) jaman sekarang, apalagi di tengah ancaman pemanasan global. Kira-kira jawabannya bakal kayak apaan yah?

Mungkin ini, mungkin juga itu. Yang jelas, jawaban kayak yang Gie kasih bakal susah banget didapet tuh.

Alasannya, simple banget. Sebab, niatan buat "mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat", udah diganti sama niatan yang jauh lebih personal. Macam dapet background foto narsis yang keren, kepuasan berdiri di puncak gunung, atau malah bangga udah nempelin nama bekennya di pohon.

Semua orang jelas nggak bisa menafikan kalo citra pecinta alam udah rusak di mata kebanyakan orang. Kata PA nggak lagi diartiin pecinta alam, tapi sekedar penikmat alam atau malah perusak alam. Ironisnya, semua itu lantaran polah mereka sendiri.

Yang terliat sama kebanyakan mata, malah tingkah narsis nan egois yang nggak jarang ngerusak alam. Melabeli batu di gunung dengan nama sekolah, metik eidelwais secara berlebihan, buang sampah sembarangan, dan sebagainya, dan sebagainya. Soal peduli alam dan lingkungan, non sense.

Emang, kegiatan PA nggak melulu naik gunung. Ada panjat tebing, ada flying fox, ada jelajah alam, ada juga yang lainnya. Sayangnya, sekali lagi, kegiatan mereka itu justru makin ngeliatin kalo cinta atas alam itu udah tergerus. Ato jangan jangan, cinta itu emang nggak ada ya??

Orang-orang yang yang ngaku jadi pecinta alam, terlampau asik menguasai teknis-teknis semacam itu. Sementara itu, sampah semakin bergunung-gunung, pohon-pohon bertumbangan, dan sungai menghijau airnya.

Kau takkan tau nasib manusia di sekitarmu, karena kau selama ini hanya melihat jiwamu. Begitu kalo kata Sherina Munaf.

Ah, kalo udah gini, gimana dengan nasib alam Indonesia? Yang jadi garda depan buat ngerawat kelestarian alam aja udah nggak bisa diharepin. Apalagi orang yang emang nggak mau perduli sama alam. Wah, bahayuud nih....*immo*

Read More …


Pupu. Sekang jenenge bae wis katon mengini pisan. Apa maning nek pupu ayam goreng sing diwei gratisan. Heleh-heleh, jan, nylekamin pisan mbok. Lha nek pupu manungsa piwe jal? Ora ndadak njaluk apa maning mbayar. Siki andon juguran sedalan-dalan, pupu manungsa gratis. Mlaku ngalor-ngidul, gagat esuk gutul awan wengi. Nylekamin? Ora. Nylekiti lha iya. Soale manungsa kuwe, seringe ora bisa ndeleng sikon,

Jan-jane sih ya lagi ora ana sing nglarang nganggo celana pendek, sing jere jaman siki jenenge 'hotpants'. Ning, koh ya, kayong sing nganggo kuwe ra mikir disit. Mlaku-mlaku nang swalayan, nongkrong nang alun-alun, ngasi numpak motor, pupune diler ming ngendi ora. Ora ndeleng sikon lha, alias situasi dan kondisi. Mbok jelas lha kabeh wong teyeng weruh.


Nek gelem jujur sih yah, ananabae sing seneng. Jere gawe mata seger, nek ndeleng pupu diler. Ngasi mentheleng, kaya nembe tau ndeleng pupu. Aja disalahna nek ujug-ujug uteke dadi ngeres. Jal, apa arep ora dadi napsu nek saben-saben disuguhi pupu sing mlekenyis-kinyis pisan. Lha nek ngko ana kedadian sing ora diarep-arepna, wong-wong arep nyalahna sapa jal? Sing ngedeng-ngedengna apa sing nggencileng bae.

Nanging ya kuwe, ora kabeh wong bakal seneng utawa napsu, ana uga sing risih. Malah kadang nganti nggrundel ning ati ngelek-ngelekna wong sing ngeler pupu kuwe mau. Lha nang nggon umum, sing kabeh mata bisa ndeleng maning. Ngrusuih pendelengan.

Nek kaya kiye bae yah,ngrumangsane rega ayam kuwe lewih dhuwur regane tinimbang manungsa lho. Soal pupu kuwe mau umpamane. Siki mbok, nek arep tuku pupu ayam, kudu bayar. Lha kiye, pupu manungsa, malah gratisan mbok. Oalah jan-jan, eman-eman temen uripe...
Read More …

Read More …

Teringat pada awal menjejakkan kaki di Purwokerto saya masih merasakan kesejukkan udaranya meski di siang hari. Pada jam setengah delapan pagi aku masih bisa menemukan kabut di depan jalan kosan saya. Akan tetapi sekarang hal itu sudah jarang sekali saya temukan, biasanya pada jam-jam pagi ketika saya keluar untuk ke warnet seberang kosan saya dan berjalan-jalan sebentar untuk menghirup udara dan merasakan kelembaban udara pagi hari. Sama seperti musim hujan kali ini namun bedanya sudah tidak ku temukan kembali keramahan embun dan kabut Purwokerto.

Saya berpikir dan membuat spekulasi sendiri. Perubahan yang terjadi pada udara di Purwokerto di picu oleh banyak hal, namun salah satunya adalah semakin banyaknya kendaraan yang melakukan aktivitas sepanjang hari. Hal itu saya rasakan betul. Dahulu saya masih sering masuk angin karena suhu udara di Purwokerto berbeda sekali dengan di Tegal. Akan tetapi sekarang justru saya lebih sering kena masuk angin di Tegal ketimbang di Purwokerto. Dahulu saya masih bisa iseng jalan di tengah jalan raya sesuka saya tanpa harus waspada ada kendaraan yang melintas seenaknya. Dibandingkan dengan sekarang bahkan jalan di bibir jalan rayapun harus ekstra waspada. Jalanan terasa semakin sempit.

Memang tidak bisa dipungkiri semakin banyaknya asap kendaraan yang berpotensi menimbulkan polusi membuat kerusakan lingkungan. kesadaran untuk melestarikan kesehatan lingkungan saya masih meragukan. Tuntutan aktivitas keseharian tidak bisa lepas dari laju kentut kendaraan. Apalagi kalo ada kendaraan yang knalpotnya sudah usang. Suaranya sudah tidak karuan, asapnya kehitaman dan pasti mengganggu pernafasan sekaligus mengganggu pertumbuhan tanaman.

Terlebih lagi orang-orang terlena dengan kemudahan. Contohnya saja beberapa teman saya atau mungkin justru banyak yang melakukannya. Jika akan membeli sesuatu ataupun membutuhkan sesuatu yang bisa di dapat hanya dengan berjalan kaki tidak sampai menghabiskan waktu 15 menit. Mereka langsung menggelayut dan mengendarai motornya, asap beterbangan kemana-mana.

Ayoo sama-sama belajar ramah terhadap tanaman dan lingkungan...









Efi Sofiana
Penulis adalah penggiat Teater SiAnak. Fisip. Unsoed
Read More …

Aku duduk di sebuah bangku merah. Sambil mengalahkan panas dengan sebuah kipas angin kecil, aku menatap pertigaan jalaa. Jujur aja, tatapan kosong yang aku kasih sama jalanan di depanku. Bukan apa-apa, aku cuma ngerasa kalo aku nggak bisa terus ngeliat lekat-lekat sederetan kendaraan yang terus berlalu-lalang. Ke kanan terus ke kiri. Ato malah ke kiri lalu ke kanan. Semua seakan mengejar waktu. Cepet berlalu.

Tiba-tiba, ada satu hal yang terlintas di otakku. Sepintas. Mungkin lebih pas kalo disebut sebagai ingatan kecil. Ya, sejumput ingatan tentang jalur Purwokerto-Bobotsari. Perjalanan satu jam yang selalu memunculkan cerita-cerita nggak terduga. Nampaknya pertigaan jalan ini membangkitkan kembali ingatan kecil itu.

Aku sedikit teringat waktu musti berangkat mengejar kuliah pagi. Bangun glasak-glusuk, mandi secepat kilat, dan naik bus pagi-pagi. Bener-bener mirip anak sekolah. Waktu itu mungkin sekitar pukul setengah tujuh.

Rasanya belum sepuluh menit berada di dalam bus, namun, bus udah padat banget. Sampe-sampe kenek bus yang mau narikin bayaran aja nggak bisa melangkah ke depan. Cuma, penuh sesaknya bus itu bukan lantaran anak-anak sekolah, tapi oleh para perempuan berbaju biru kotak-kotak dan ada juga yang berbaju hijau. Mereka itulah yang jadi tambang emas “pro investasi” Purbalingga. Buruh pabrik bulu mata.

Mereka seumuran denganku. Itu terlihat jelas. Malahan aku sekilas ngeliat wajah teman semasa SD dulu. Hanya aja, aku nggak sempat menyapa. Maklum, aku lupa namanya.

Tapi, itulah kenyataannya. Buruh-buruh perempuan di Purbalingga bak pepatah klasik, cendawan di musim hujan. Pabrik-pabrik pun semakin banyak jumlahnya. Mungkin jumlahnya udah nyaingin jumlah SMP di Purbalingga. Dan buruh bulu mata itu nggak sendirian. Masih ada buruh bangunan, buruh garmen, dan buruh tani. Meski jauh-jauh hingga ke ibukota, tetap aja jadi buruh.

Sebenernya, aku pengin nanya, kenapa mereka musti jadi buruh, nggak malah sekolah aja. Toh, pendidikan itu demi masa depan mereka juga. Lagi pula mereka masih terlampau muda untuk merasai beban ekonomi yang menjerat keluarganya.

Terlebih lagi, aku tau benar, kalo hidup jadi buruh pabrik, di Purbalinga pula, nggak ada indah-indahnya. Gaji yang jauh dari UMR, jaminan kerja yang dipertanyain, dan jaminan kesehatan yang entah bagaimana. Ah, semua itu jelas nggak bisa jadiin mereka hidup sejahtera.

Tapi, sekali lagi, itulah kenyataan. Nggak bisa lagi dinafikkan. Jika di kota tempat aku duduk ini, Purwokerto, semua pelajar berharap masuk kuliah di berbagai perguruan tinggi ternama di kota-kota pelajar, ato minimal Unsoed deh. Namun, di Purbalingga, selalu ada opsi jadi buruh, jika para pelajar dari kota “pro investasi” itu berhasil memegang ijazah.

Aku kembali dari ingatan kecilku yang saling berkejaran. Ternyata, sudah 45 menit berlalu. Sudah pukul 16.45 wib. Aku menatap lagi pertigaan jalan di depanku itu. Adakah perempuan-perempuan berbaju biru kotak-kotak ato berbaju hijau. Bukankah ini jam mereka pulang? *immo*


Read More …

Suatu kali, Ahmad Tohari ditanya soal novel "Ronggeng Dukuh Paruk". Buku itu, udah diterjemahkan dalam bahasa Banyumasan belum sih? Begitu tanya seorang kenalannya. Dan jawabannya, tentu aja belum.

Usut punya usut, ternyata, pertanyaan sepele itu membikin bapak yang tinggal di Jatilawang, Banyumas, tersentak. Udah ditranslit pake berbagai bahasa luar negeri segala rupa, kok belum diterjemahin pake bahasa Banyumasan.

Alhasil, berselang nggak gitu lama, cerita tentang perjalanan hidup seorang ronggeng itu dalam versi bahasa banyumasan, muncul. Disusul sama buku "Jegingger", yang nggak lain versi banyumasan dari novel "Bekisar Merah". Jadi nggak cuma settingnya aja yang banyumasan, tapi juga bahasanya.

Dan belum lama ini terbit novel "Geger Wong Ndekep Macan". Cerita fiksi bikinan Hari W. Soemoyo ini juga pake bahasa banyumasan. Dari depan sampe belakang. Cuma, setting Banyumas disamarin jadi Kertagama.
Tapi, di sini nggak bakal dibahas kelebihan-kekurangan masing-masing buku. Melainkan esensi keberadaan novel-novel itu.
Iya sih buku-buku itu fiksi, tapi bukan berarti semua itu nggak ada artinya. Diakui atau nggak, buku-buku itu jadi angin segar buat perkembangan sastra dan budaya banyumasan. Novel-novel fiksi itu jadi salah satu sarana buat nguri-uri budaya, bahasa banyumasan khususnya. Apalagi di tengah minimnya situs sastra di Banyumas.

Coba deh baca salah satu buku itu aja. Pasti kita bakal nemuin kata-kata yang udah jarang banget kita dengerin, apalagi dipake buat ngobrol. Sampe-sampe kita bakal bergumam, "lho kok ada kata-kata ini sih?".
Jadi, ngomongin keberadaan buku-buku berbahasa banyumasan itu, juga ngomong soal transformasi nilai-nilai budaya kepada generasi muda. Toh, tanggung jawab buat nguri-uri budaya emang di tangan generasi muda kan.

Lewat buku-buku fiksi itu, generasi tua udah mulai mewariskan budaya banyumasan kepada generasi muda. Melalui refleksi karakter tokoh, mereka nunjukin kayak gini lho orang banyumas bersikap. Dan melalui percakapan, mereka perlihatkan bahasa yang blakasuta.

Kalo udah gini, rasanya nggak bijak kalo pemuda panginyongan malah kikuk sendiri sama budaya tempatnya dilahirin. Sementara orang-orang dari luar berduyun-duyun mempelajari budaya banyumasan, sambil berdecak kagum.

Inilah momentum. Sayang buat dilewatin. Jadi, ayo rame-rame kita mengintip Banyumas dari jendela dunia! *immo*

Read More …


Pertanyataan edisi 10:
“Apa sih yang dimaksud dengan ganteng / cantik itu?”

Ini dia jawaban dari temen-temen Cengloe yang memang begitu beragam. Latarbelakang yang berbeda membuat cara pandang yang sedikit banyak berbeda pula.

(+6287838265xxx) Puthut, Banjar: “Ganteng:sebuah penilaian relatif dr seseorang ttg sesosok wajah,dmana sesosok wjah tsb dpt membuat si penilae terpesona, terpukau,terengah engah,tergandeng.Hahaha!Tnp hrus melihat parameter tbuh,umur,ltar blakg,krjan.Oopooo!!Dug!

(+6285726322xxx) Dina, Bumen: “Ganteng/cantik itu relatif...Ga sebatas fisik doank...Klo mnrtku sih lbh kpd sex appeal n dy bs behave...Bs aku blg org itu ganteng/cntk...Mskpun scr fisik g...^_^

(+6285747314xxx) Ufi, Braling: “Mnurut sya ganteng&cantik itu suatu aura yg trltak pd dr qt tdk hny dulihat dr segi lahiriah tp yg trpenting dr dlm dri qt dg mempunyai akhlaqul karimah..Hehe
(+6281391579xxx) Efi, Tegal: “Ganteng atau cantik adalah keindahan yang dimiliki seseorang baik dari segi fisik maupun dari dalam (inner beauty)

(+628562623xxx) Iyot, Praketa:”Ctk ato ganteng it ktk qt bs mnyelesaikan mslh yg ad. Wah, it aura cntk/gntng lg muncul2nya tuh! Jd cntk/gntng bkn dr fsik tok yg notabenenya cm polesan produsenkosmtetik aj.. Hehe

(+6285647670xxx) Azizah, Patikraja:”Cantik itu bagaikan emas karena iamemancarkan cahayanya ke setiap orang.Nilai emas yg sangat mahal adl dr budi pekertinya dan harta dari kecantikan tsadl dari sopan santunya. Wkwkwk...

(+6285240207xxx) Anah, Cilongok:”Scr lahiriyah ganteng/cntik adl sifat wajahseseorg yg bersih, sehat n enak dpandangshg bs mbuat org lain terpesona walaupun hatinya tk sbaik lahirnya:-)
Read More …


Derak kereta ekonomi membawaku menuju sebuah kota yang ingin kukunjungi sedari lama. jogja, mungkin bagi sebagian orang, rutenya telah hapal diluar kepala. jalan dari stasiun lempuyangan menuju malioboro, bukan hal yang membingungkan. tapi itu tak berlaku bagiku. buta jogja, itulah yang kualami. begitu pula dengan dua orang teman seperjalananku.

Untung saja, sebelum berangkat, ada seorang teman membuatkanku peta jogja, khususnya dari stasiun menuju malioboro. plus denah lokasi tempat-tempat yang ingin kukunjungi dan beberapa rekomendasi tempat makan murah.

Keluar dari stasiun lempuyangan, berbekal peta tulisan tangan tersebut, kami melangkahkan kaki. jalan kaki menjadi pilihan. alasan utamanya jelas menghemat uang mepet kami. ragu sempat membuncah, pasalnya jalan yang kami lalui tak sesuai dengan gambaran peta. namun berbekal sok tahu, kami terus saja melangkah hingga jalan malioboro kami temukan.

Sedari pagi tak makan, perut sudah menabuh irama keroncongan. setelah sedikit berputar dan tersesat di sebuah gang, kami temukan tempat makan hasil rekomendasi si pembuat peta. semangkuk soto membuat kami kembali mengisi persediaan energi. jalan kaki pun siap kami teruskan.

Di depan benteng vredenburg, kami temui enam buat patung dari batu marmer. kesemuanya kepala, tanpa tubuh. ukurannya besar, 180x700x100cm. judulnya melihat keroposnya tonggak bangsa. kesemua patung itu memang nampak keropos di beberapa bagian kepalanya. hmmm, sebuah kritik unik bagi bangsa, yang disampaikan dalam wujud seni rupa.

Ini bukan suatu hal tanpa makna. pasalnya ini merupakan bagian dari sebuah pameran seni rupa, yang digelar di taman budaya jogja. bertajuk jogja jamming "seni agawe sentosa", yang digarap oleh gerakan arsip seni rupa jogja.

Mempesona. menakjubkan. itulah kata-kata yang tergambar dalam pikiranku ketika melihat hasil karya yang dipamerkan di taman budaya. lukisan, foto, miniatur, patung, batik, dan lainnya. memang agak sulit untuk menceritakannya dalam deret kata. yang pasti banyak karya kreatif yang patut diacungi jempol.

Waktu yang sempit, membuatku tak bisa lama-lama mengaguminya. meski belum puas berkeliling, aku dan dua teman seperjalananku memutuskan untuk berburu buku. tak dinyana, kutemukan buku centhini, kekasih yang tersembunyi, karya elizabeth d.inandiak. buku ini langka di purwokerto. kata seorang temanku, buku itu kurang lebih seharga 84ribu. dan tahu berapa harganya di jogja? hanya 34ribu!

Setelah puas berburu buku, kami melangkah pulang menyusuri malioboro. ingin rasanya menikmati malam di malioboro, tapi sayang terbentur dengan kondisi keuangan kami yang mulai kembang kempis. meski tak lama, rasanya aku jatuh hati pada jogja. kamera yang kubawa, sedari tadi tak henti membidik. banyak hal menarik. bangunan, lanskap kota, juga human interestnya. sebuah padu padan memikat.tak sayang rasanya, hari ini kuhabiskan di jogja. (Nara)
Read More …

Tik.tok.tik.tok. jam dinding di kamarnya tak berhenti berdetak. kamarnya berantakan. pintu dan jendela tertutup. gelap dan lembab. tak disangka ada manusia bertahan hidup di dalamnya. wajahnya pucat. terbujur lemas di atas kasur tipis berkutu. matanya sayu, dengan lingkaran hitam di bawahnya. hasil dari begadang tujuh hari tujuh malam.

Dramatis, memang. dia tak bisa tidur. insomnia, katanya. obat tidur telah ditelannya, namun tak berhasil. paling lama setengah jam dirinya tertidur. menghitung domba, dilakoninya tiap malam. nihil hasilnya. hingga jutaan domba, tapi matanya tak jua mengantuk.

Penyakit ini dideranya seminggu yang lalu. tak banyak yang tahu apa penyebabnya. tapi dari mulutnya berkoar dia menderita penyakit kesendirian akut. tak punya siapapun untuk berbagi. untuk diajak mengerti, memahami, atau bahkan mendengarnya. terpuruk dalam jurang kesepian, itu yang dialaminya kini. ah, malang benar.

Malam kedelapan. kembali dijalaninya ritual menghitung domba. pikirannya melayang ke binatang berbulu gimbal, yang tengah berlarian di padang rumput. hingga hitungan enam ribu empat ratus lima, pikirannya bertemu dengan domba berwarna merah muda. aih, mirip babi, tapi berbulu gimbal. aneh benar!

Dia tertawa. dipegangi perutnya, yang geli setengah mati. tak dinyana, si domba melotot ke arahnya. tak hanya melotot, si domba juga berteriak memarahinya. kaget bukan main, rasanya.

Dialihkan pandangannya pada jam dinding yang menunjuk pukul dua pagi. tapi ternyata si domba tak mau pergi. justru semakin nyata. kini si domba muncul di hadapannya. bahkan bulu domba menyentuh ujung kakinya.

Ini nyata. ada domba di kamarku, ujarnya. dikerjap-kerjapkan matanya, domba masih ada. diacak-acak mukanya, domba masih ada. ditarik rambutnya, dipijit keningnya, hingga dibentur-benturkan kepalanya, domba juga masih ada.

Frustasi setengah mati, diajaknya domba berbicara. ternyata bisa! domba paham masalah ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan, bahkan kepariwisataan. menakjubkan! ketika ditanya soal gosip selebritis pun, si domba menguasai. aih...domba macam apa ini?

Tak masalah, ini domba jenis apa. yang jelas, aku tak lagi sendiri, pikirnya. ada domba untuk berbagi cerita. menganalisis masalah, hingga mencari solusi, didiskusikan di malam-malam selanjutnya. tak jarang, diselingi mengerjakan soal matematika dan merancang rumus-rumus kimia.
***
Aku terpaku. aneh benar pikiranku malam ini. bertemu dengan domba yang bisa bicara. ah, sendiri kala malam, kadang membuat pikiranku melayang tak jelas. imaji gila berkeliaran. ngalor-ngidul. tercipta suara, sahut-menyahut. suaraku sendiri.

Namun inilah kebebasan. pikiranku bebas mengembara. tanpa dibatasi norma dan aturan kehidupan. kunamai ini hasrat kreatifitas. kusalurkan hasratku, hingga tercipta sesuatu.

Pagi menjelang. kudapati lukisan padang rumput. dan setumpukan kertas. kubaca. ternyata tulisanku. soal manusia insomnia yang bertemu domba. aku tertawa. aku berkarya! (Nara)
Read More …

"Bila kebiasaan menulis belum terlatih dikalangan pelajar, memaksa untuk berlatih menulis adalah salah satu strateginya." - Bowo Leksono -


Motor Vega R dipacu dengan cepat. Gerimis terus setia menemani dari Jl. Stasiun hingga Villa Lela Arif. Di villa berkamar tiga itu, cengloe hendak berbincang soal ide dan riset dokumenter serta fiksi. Sabtu (12/06) sore itu, anak-anak ekskul broadcast SMA Negeri 2 Purwokerto menggelar workshop film, 12-13 Juni 2010.


Meski diburu-buru, ternyata workshopnya belum dimulai. Lantaran, LCD sekolah yang harusnya dipakai buat pemutaran film mendadak nggak bisa. "Katanya, dipakai semua." cerita Nanky Nirmanto, Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga.

Padahal workshop akan benar-benar dimulai jika peserta udah menonton film. Alhasil, workshop benar-benar dimulai itu sekitar pukul 19.30. Pemateri workshop dua hari itu, Bowo Leksono, Nanky Nirmanto dan Asep Triyatno dari CLC serta Bangkit Wismo (immo) dari cengloe.

Film yang diputar ada delapan film. Terdiri dari dua kategori, dokumenter dan fiksi. Empat film buat masing-masing dokumenter.

Sekitar pukul 22.00, cengloe baru bisa berbincang. Malam itu, Immo yang mewakili cengloe berbincang soal penggalian ide untuk film, untuk kali pertama. Meski mulanya berjalan kaku dan waktu menuju dini hari, secara menyeluruh berbincang dengan 16 anak ekskul Broadcast penuh dengan canda tawa.

"Imajinasi yang liar, out of box, dan melihat sekitar kita. Itulah kuncinya" kata Immo.

Proses belajar malam itu lebih banyak digunakan buat menggali ide-de yang dimiliki peserta. Mulai dari yang spontan, tematik, sampai yang kelompok. Ide yang menarik, yang akan digunakan untuk membikin film, baik dokumenter ataupun fiksi.

"Pada workhsop ini diperoleh satu ide cerita film pendek fiksi dan film dokumenter. Untuk ide film fiksi pendek proses menulis sampai tahapan pengembangan treatment, untuk kemudian dilanjutkan usai workshop. Sementara ide film dokumenter akan dilanjutkan dengan tahapan riset terlebih dahulu." ungkap Bowo Leksono, Direktur CLC, melalui pesan Facebook.

Hari minggunya, peserta lebih banyak di luar ruangan. Workshop teknis membuat film.

Selamat membumikan ide!
Read More …