Oemah Cengloe

Aku duduk di sebuah bangku merah. Sambil mengalahkan panas dengan sebuah kipas angin kecil, aku menatap pertigaan jalaa. Jujur aja, tatapan kosong yang aku kasih sama jalanan di depanku. Bukan apa-apa, aku cuma ngerasa kalo aku nggak bisa terus ngeliat lekat-lekat sederetan kendaraan yang terus berlalu-lalang. Ke kanan terus ke kiri. Ato malah ke kiri lalu ke kanan. Semua seakan mengejar waktu. Cepet berlalu.

Tiba-tiba, ada satu hal yang terlintas di otakku. Sepintas. Mungkin lebih pas kalo disebut sebagai ingatan kecil. Ya, sejumput ingatan tentang jalur Purwokerto-Bobotsari. Perjalanan satu jam yang selalu memunculkan cerita-cerita nggak terduga. Nampaknya pertigaan jalan ini membangkitkan kembali ingatan kecil itu.

Aku sedikit teringat waktu musti berangkat mengejar kuliah pagi. Bangun glasak-glusuk, mandi secepat kilat, dan naik bus pagi-pagi. Bener-bener mirip anak sekolah. Waktu itu mungkin sekitar pukul setengah tujuh.

Rasanya belum sepuluh menit berada di dalam bus, namun, bus udah padat banget. Sampe-sampe kenek bus yang mau narikin bayaran aja nggak bisa melangkah ke depan. Cuma, penuh sesaknya bus itu bukan lantaran anak-anak sekolah, tapi oleh para perempuan berbaju biru kotak-kotak dan ada juga yang berbaju hijau. Mereka itulah yang jadi tambang emas “pro investasi” Purbalingga. Buruh pabrik bulu mata.

Mereka seumuran denganku. Itu terlihat jelas. Malahan aku sekilas ngeliat wajah teman semasa SD dulu. Hanya aja, aku nggak sempat menyapa. Maklum, aku lupa namanya.

Tapi, itulah kenyataannya. Buruh-buruh perempuan di Purbalingga bak pepatah klasik, cendawan di musim hujan. Pabrik-pabrik pun semakin banyak jumlahnya. Mungkin jumlahnya udah nyaingin jumlah SMP di Purbalingga. Dan buruh bulu mata itu nggak sendirian. Masih ada buruh bangunan, buruh garmen, dan buruh tani. Meski jauh-jauh hingga ke ibukota, tetap aja jadi buruh.

Sebenernya, aku pengin nanya, kenapa mereka musti jadi buruh, nggak malah sekolah aja. Toh, pendidikan itu demi masa depan mereka juga. Lagi pula mereka masih terlampau muda untuk merasai beban ekonomi yang menjerat keluarganya.

Terlebih lagi, aku tau benar, kalo hidup jadi buruh pabrik, di Purbalinga pula, nggak ada indah-indahnya. Gaji yang jauh dari UMR, jaminan kerja yang dipertanyain, dan jaminan kesehatan yang entah bagaimana. Ah, semua itu jelas nggak bisa jadiin mereka hidup sejahtera.

Tapi, sekali lagi, itulah kenyataan. Nggak bisa lagi dinafikkan. Jika di kota tempat aku duduk ini, Purwokerto, semua pelajar berharap masuk kuliah di berbagai perguruan tinggi ternama di kota-kota pelajar, ato minimal Unsoed deh. Namun, di Purbalingga, selalu ada opsi jadi buruh, jika para pelajar dari kota “pro investasi” itu berhasil memegang ijazah.

Aku kembali dari ingatan kecilku yang saling berkejaran. Ternyata, sudah 45 menit berlalu. Sudah pukul 16.45 wib. Aku menatap lagi pertigaan jalan di depanku itu. Adakah perempuan-perempuan berbaju biru kotak-kotak ato berbaju hijau. Bukankah ini jam mereka pulang? *immo*


Categories:

Leave a Reply