Oemah Cengloe

Gandarusa, namanya. Sebuah desa yang hanya bisa dicapai dengan terlebih dulu menjumpai jalanan berbukit yang terjal dan berliku.

Deretan pohon pinus bagai sebuah gerbang menuju hutan, bukan pemukiman. Hingga ketika malam tiba, rasanya sungguh sepi.

Atas alasan iseng semata, aku bersama beberapa kawan menyusuri jalan setapak desa. Saat itu, sudah pukul 10 malam. Dan berjalan kaki di tengah kesepian, sungguh bukan hal biasa.

Gelap. Karena memang tak begitu banyak lampu bertebaran. Di tengah penyusuran jalan yang entah kemana, kujumpai sebuah warung. Wah, menurutku, ini luar biasa. Di tengah suasana malam yang sepi, masih ada warung yang membuka diri.

Tapi tunggu, ada kejutan yang lebih di luar dugaan. Di balik warung itu, bersembulan banyak kepala anak-anak muda. Dan mereka sedang asyik bermain play station, oh!

"Biasanya ramai sampai jam 12 malam," ujar si pemilik warung.

Aku terpaku. Kupikir desa diatas bukit ini, tak terjamah dengan dunia play station, nyatanya aku salah. Meski tercengang, kulanjutkan perjalan tak tentu arahku.

Aku masih mendengar suara anjing hutan yang saling menyahut, di tengah gugusan suara angin yang mendesir. Namun, suara anjing hutan itu, tiba-tiba tertelan dengan suara lain.

Ya, sebuah lagu populer jaman sekarang, memecah keheningan. Berasal dari ponsel milik seorang anak muda, yang tengah berkumpul di pos ronda.

Lagi-lagi, aku termangu, tak menyangka gegap gempita dunia musik telah menyeruak, membuat keranjingan.

Ketika perjalananku berakhir, aku bertemu dengan seorang ibu. Usianya tak lagi muda, hampir separuh abad. Kami pun mulai berbincang ngalor-ngidul. Hingga tanpa disadari, kegelisahan kami berpadu.

Ibu paruh baya itu mengatakan, anak muda desa sekarang suka sekali bermain play stasion. Jadi tak serius belajar di sekolah. Bahkan membantu orang tua di sawah, pun tak pernah.

Mayoritas mata pencaharian penduduk gandarusa adalah petani. Namun, yang tersisa hanya petani tua. Yang muda memilih hengkang ke kota, setelah lulus sekolah. Menjadi petani bukan lagi pilihan hidup mereka, apalagi cita-cita.

Padahal apa salahnya dengan jadi petani? Mengelola lahan pertanian bukan hal sepele, butuh sebuah cita rasa. Namun, apa lacur, yang ada di kepala, justru petani adalah pekerjaan tak bergengsi.

Berada di balik meja, dalam bangunan kantor, disangka lebih baik, lebih terhormat. Malah, tidak jarang, ke kota pun hanya bisa jadi buruh.

Hmm, kalau dipikir lagi, lebih baik mana, jadi buruh dibawah orang lain atau jadi petani yang berdaulat atas dirinya sendiri?

Aih, aku dan sang ibu menjadi sama-sama gelisah, atas apa yang kami perbincangan. Masih adakah anak muda yang mau jadi petani? itu pertanyaan kami, menutup malam di desa yang sepi dalam semu. (.Nara.)

Categories:

Leave a Reply