Oemah Cengloe

Hari-hari berlalu. Entah ini musim apa. Matahari begitu terik. Namun sontak mendung menggantung. Kemudian rintik kecil turun. Mendung hilang. Tapi hujan lebat turun dari langit yang terang benderang. Itulah siang dikala aku harus memasukkan kepalaku ke dalam lemari es. Hawa terlalu panas. Tubuhku seakan terbakar, terlihat dari kulitku yang terus memerah.

Air, air, air. Aku butuh air. Kutuangkan air dingin ke sebuah gelas. Kuteguk dengan rakus. Tapi ternyata tak membantu. Kerongkonganku masih saja terus meronta. Kering. Dengan bibir yang mengelupas. Ditambah langit-langit mulutku yang penuh sariawan. Bagiku ini penderitaan tingkat tinggi.

Segera saja kubenamkan kepalaku ke bak mandi. Kubiarkan mata, hidung, mulut, dan telingaku dialiri oleh air. Diluar batas sadarku, kuhirup air dalam-dalam. Meski beberapa kali tersedak, kubuka mulutku, membiarkan air dari dalam bak mandi terteguk.

Rasanya aku ingin, menjadi air. Kukagumi segala sifatnya. Bentuk air akan selalu sesuai dengan tempat dimana ia berada. Ah, sungguh mudah bagi air untuk beradaptasi. Beda denganku, yang selalu frustasi dengan tempat baru. Merasa aku ini hanya gundukan makhluk rendah. Aku tak pernah menghargai diriku sendiri.

Tiba-tiba saja, aku merasa seperti berada dalam sungai. Kulihat aliran air terjun besar. Bagiku, air bukanlah pribadi yang congkak. Dia selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Beda denganku. Meski terkadang rendah diri, aku ini suka mendongak ke atas. Hingga iri dengki merasuk ke dalam kalbu.

Tapi salah, jika aku dikatakan ambisius. Aku manusia pendengki, yang mudah menyerah. Aku takluk pada rintangan. Sekecil apapun itu. Beda dengan air yang tak mudah menyerah mencari celah sempit untuknya mengalir. Tak hanya itu, batu besar pun bisa dikikisnya meski butuh waktu bertahun-tahun.

Kini aku melihat lautan. Ombaknya besar. Menenggelamkan. Lalu aku tenggelam. Masuk ke dalamnya lautan. Aku tak meronta. Aku tak bisa mengendalikan diriku. Air lautan-lah yang mengendalikan diriku. Dia sungguh pintar menguasai diri dan tau apa yang harus dilakukan. Menghempas diriku ke arah pantai, membuatku kembali bernyawa.

Tersadar, aku berada dalam bak mandi. Tubuhku telah berendam di dalamnya. Sambil terus menangis. Merasakan kedengkian yang begitu dalam. Cemburu buta, kenapa air diciptakan lebih sempurna ketimbang manusia. Lagi-lagi kulihat ombak besar menelanku. Bukan air ternyata. Tapi aku tetap tenggelam. Dalam lautan kebodohanku.(.NaRa.)

Categories:

Leave a Reply