Oemah Cengloe

Ini masih pukul setengah lima pagi. Tak biasanya, aku keluar rumah. Aku mendongak. Kutemukan langit masih menghitam. Namun, ditaburi bintang-bintang cantik yang terus berpendar.

Hari kemarin, di waktu yang sama, aku masih meringkuk di balik selimut. Bagiku selama ini, tidur di pagi hari sama berharganya dengan uang jutaan rupiah. Jika waktu tidurku kurang dari 8 jam, aku akan menghitung kekurangannya, lalu membalas dendam dengan tidur berlama-lama hingga menjelang siang.

Tapi tidak kali ini. Meski semalam aku tidur pukul 1 pagi. Kubiarkan mataku terbuka. Aku rindu udara pagi. Aku rindu suasananya. Jadi, kuputuskan untuk bersepeda, berkeliling desa.

Pintu-pintu rumah masih banyak tertutup. Awalnya tak banyak yang kutemui. Pasalnya, pagi ini, hawanya begitu dingin seakan merangsek ke dalam tulang. Tapi, semakin aku bersepeda ke arah persawahan, kutemui lebih banyak aktivitas manusia.

Kukayuh sepedaku lambat-lambat. Ini musim panen ternyata. Seorang petani menggoyang tali bergantung kaleng, mengusir burung yang mengincar padi yang tlah menguning. Petani lain, menghempaskan seikat padi hingga bulir-bulirnya terlepas dari tangkai.

Langit mulai meninggalkan warna hitamnya. Kini semburat warna putih bercampur jingga merajai langit. Mataku menemukan lelaki paruh baya yang berjalan telanjang kaki demi kesehatannya. Menyusul di belakangnya penjahit langgananku, yang bersepeda ke tempat kerjanya di desa sebelah.

Tak jauh dari mereka, sesosok anak kecil bersepeda. Dia memakai seragam merah putih. Dikayuhnya sepeda dengan penuh semangat. Ini masih pukul setengah 6 pagi! Bagaimana bisa dia sudah berangkat sekolah? Sekolahnya memang cukup jauh, namun kupikir tak perlu sepagi ini agar tidak terlambat.

Jalanan mulai menanjak. Tujuanku adalah sebuah lorong jalan, dimana aku bisa menaikinya. Dan tepat waktu, di atas lorong, aku bisa menikmati matahari terbit. Keindahan lingkaran berwarna jingga, seakan membutakan mataku.

Aku terhenyak. Kulihat rombongan pelajar berseragam. ada yang bersepeda. Beberapa jalan kaki. Mereka saling melempar tawa. Kebanyakan dari mereka sekolah di kota. Butuh 30 sampai 45 menit untuk sampai ke sekolah. Jadi, wajar, sepagi ini mereka sudah harus melangkahkan kaki.

Kuikuti rombongan pelajar itu. Kebetulan searah dengan jalan pulangku. Sesampai di sebuah sekolah dasar, aku tersentak. Bocah berseragam merah putih yang kutemui pukul setengah 6 pagi tadi, tengah berjongkok memandang pagar sekolahnya yang masih terkunci. beginikah setiap pagi?

Kayuhan sepedaku berakhir ketika kujumpai sebuah rumah. Rumahku, tentunya. Aku menghirup napas dalam-dalam. Sebelum akhirnya aku harus masuk ke dalam rumah dan mengingat segala macam rutinitas yang menghimpitku.

Ketika seorang temanku bertanya, apa menariknya bersepeda pagi? Aku tak banyak menjawab. Bangunlah di pagi hari. Keluarlah. Hirup udaranya. Lalu berkelilinglah. Maka kau akan menemukan sesuatu. Mungkin berbeda dengan apa yang kutemukan. Tapi, selalu ada sebuah cerita di luar sana yang selalu menarik untuk kau jumpai..NaRa.

Categories:

Leave a Reply