Oemah Cengloe

Bukan Bangkit namanya kalo nggak cengar-cengir pas lagi fesbukan. Kawanku yang satu ini emang hobi banget cengar-cengir, terutama bila dia sedang nemuin sesuatu yang menggelikan,- yah, kayak yang aku liat pagi itu.
"Ada apaan sih, bang? Dari tadi kok senyam-senyum gitu. Ada yang lucu?"
"Ini, Aku lagi baca catatan fesbukku. Menggelikan ternyata puisi bikinanku ini," jawab Bangkit. "Judulnya Puisi Ah... ha..ha..ha.." katanya lagi.
"Ha..ha..ha.." aku ikutan ketawa. "Emang kenapa sih, kok puisi bikinan sendiri malah diketawain. Apanya yang lucu?"
"Ternyata puisi pendek bikinanku ini nggak ada romantis-romantisnya. Nggak ada indah-indahnya. Apalagi komennya nih, terlampau serius. He..he..he..."
Bangkit nunjukin hapenya. Di monitor hape itu, aku ngeliat komen dari seorang teman yang lain. "Kalo hidup nggak mengalir, umurmu nggak akan bertambah.. dan mungkin kau nggak akan berada di tempatmu saat ini.." begitu komen itu dituliskan.
Aku ikutan tersenyum. Yah, emang kayak gitu. Dari teman-teman yang aku gauli selama ini, mereka pun senang banget memetaforakan hidup ini dengan aliran air.
Berjibun pepatah yang pakai kata 'air' bisa jadi bukti kuatnya. Kalo nggak, komen temenku yang lain itu bisa jadi contoh teraktual betapa metafora air begitu menggenangi otak kita ini.
Mirip kayak pas kita ngeliat sebuah aliran air, kita pun dibebasin berbuat apa dengan aliran air itu. Mau menikmati dinamika aliran air sampai muaranya, boleh. Mau berenang menentang arus, juga boleh.
Pun begitu sama banyak hal yang kita laluin di hidup kita yang masih tipis ini. Gaya pakaian, gaya bicara, gaya rambut, pergaulan, dan cara berpikir, yang tentu aja terangkum dalam sebuah kata "tren", bisa kita ibaratkan aliran air yang perlu kita hadapi. Kita juga bisa nyemplung, seraya berteriak "inilah aku!!".
Sayangnya, nggak jarang, kita itu menceburkan diri dengan mata tertutup. Sampai-sampai akhirnya kita sadar, kalo kita ini bukanlah rintik-rintik yang menyejukkan semesta. Tapi, malahan bagian dari air bah yang malah memporak-porandakan segala tatanan.
Kan nggak selamanya yang nge-tren itu bagus, yang gaul itu baik. Yang bergelombang-gelombang itu bermanfaat. Dan kita semua pun sadar dengan hal itu, tentu.
Ngelawan arus kadang-kadang jadi cara buat nunjukin kalo kita itu masih agak terbuka matanya. Milih buat nentang semua dominasi-dominasi yang mungkin aja siap menerkam. Menentang proses penyeragaman atas identitas, potensi, dan orisinalitas diri. Bukankah tren itu kata lain penyeragaman?
Label nggak gaul, abnormal, bahkan gila jelas nggak bisa dijadiin alasan buat rendah diri. Malah, harusnya, membikin kita semakin gesit mengatasi gelombang yang menerjang. Paling nggak, saat milih buat ngelawan arus, kita nunjukin kalo kita ini nggak pernah pengen nyakitin hati kita ini, dengan memaksa buat nerima apa yang nggak ia mau.
Sekarang, aku mencoba berpikir melampaui pertanyaan bangkit dalam puisi itu. "jika begini, benarkah hidup itu mengalir?" Tapi, malah berpikir soal mau berdiri di sebelah mana dan melakukan apa dalam aliran air itu (kalo hidup ini emang bisa diibaratkan aliran air). Mengikuti aliran air yang nggak jelas juntrungnya atau berdiri tegak ngelawan arus.
Pastinya, aku nggak pengen tuh terjerumus ke dalam kubangan tren sosial yang menyesatkan. Aku nggak pengen tersesat! *immo*

Categories:

Leave a Reply