Oemah Cengloe

Kali ini berdua. Cuma ada Ansa dan Immo. Meski begitu, niatan awal untuk memenuhi janji dan juga kesepakatan bertiga musti dijalankan. Apalagi sudah tertunda sedari dua hari. Kata pepatah, Sekali layar terkembang, lantang kembali kedaratan.

Setelah beberapa waktu yang lalu Cengloe dan Komunitas LaRe menyambangi kantor redaksi Suara Merdeka Biro Banyumas, kesempatan kali ini giliran Majalah Ancas yang merasakan repotnya didatangi Cengloe. Jalan D.I. Panjaitan No. 8 Purwokerto, begitu alamat yang tertera.

Sebagian besar orang mungkin belum banyak yang mengenal Ancas sebagai sebuah media. Ruang edarnya se-Eks Kresidenan Banyumas. Majalah yang diterbitkan oleh Yayasan Sendang Mas. Memakan uang sebanyak 8-10 juta untuk cetak. Namun, yang paling menarik adalah bahasa yang digunakan Ancas. Mereka tanpa ragu menggunakan bahasa banyumasan.

semangat yang dibawa pun sama dengan Cengloe. Semangat menghargai lokalitas.

Namun, jika ditilik benar-benar, Cengloe dan Ancas bak bumi dan langit. Berbeda nasib. Perbedaan tampak mulai dari bentuk, dana yang disanding, hingga orang-orang yang menggarapnya. Bayangkan saja, Ancas itu pengarapannya dipimpin Ahmad Tohari, Si penulis Ronggeng Dukuh Paruk. Sedangkan Dewan Redaksinya bergelar semua. Berderet-deret pula.

Saya sendiri mendatangi louncing Ancas, 6 april lalu. Alamak. Yang datang di acara itu kebanyakan adalah kepala dinas dan bupati banyumas. Plus tumpeng yang siap dipotong. Saya pun minder, hanya mampu melihat dari luar pintu.

Tapi, karena itulah, dengan menyingsingkan rasa minder, Cengloe pun mencoba bermain. Siapa tahu, Si Langit bisa merbagi air pengetahuan kepada Bumi.

Dan benar! Di ruang yang masih kosong itu, Cengloe mendapat banyak ilmu. Terutama soal bahasa Banyumas. Di sana Cengloe hanya bertemu dengan mas Farhun (kalau tidak salah itu namanya. Maklum meski sudah banyak ngbrol tapi tak sempat kenalan).

Banyak yang diperbincangkan. Sangat banyak. Tapi, ada satu hal yang sangat mengena di Cengloe. Ternyata bahasa banyumas itu sangat kaya. Sampai-sampai Cengloe cuma bisa cengar-cengir saat melihat ada kata-kata yang sama sekali nggak diketahui artinya. Padahal lahir dan besar di Banyumas.

Dalam pertemuan yang singkat itu, Cengloe ditunjukan "Jegingger". Buku suntingan mas Farhun. Judul aslinya Bekisar Merah bikinan Ahmad Tohari.

Ternyata, baik Cengloe maupun Ancas, sama-sama prihatin dengan dinamika kaum muda banyumas yang justru terasa aneh menggunakan bahasa banyumasan, yang notabenenya adalah bahasa ibu bagiinya. Ancas sendiri malah lebih bingung, kanapa muatan lokal malah diisi dengan bahasa prancis, iinggris, dan tetek mbengeknya.

Dulu, Cengloe pernah bertanya dengan teman-teman di SMA Ajibarang, penting nggak sih bahasa banyumasan dilestarikan? Caranya? Entah pertanyaan itu masih layak ditanyakan atau tidak.

Hmm, mungkin itu dulu yang mau dibagikan sama Cengloe. Bukan bermaksud pamer atau menambah masalah. Hanya untuk mengelitik, jika perlu sampai menyentil kita, yang katanya generasi masa depan. Yang katanya nasib bangsa dan budaya bangsa ada di pundak kita.

Selamat membumikan ide!

*immo*

diterbitkan juga lewat ini... http://www.facebook.com/note.php?note_id=427680799185

Categories:

Leave a Reply