Oemah Cengloe

Iseng, aku dengan beberapa orang teman, mampir ke museum Pangsar Soedirman di Karanglewas. Dari kejauhan, museum ini tampak begitu sepi. Ketika kami masuk, tiket hanya dihargai 3ribu rupiah untuk setiap orang. Cukup murah, pikirku.

Begitu masuk kawasan museum, kegersangan menyambut kami. Maklum, waktu itu pukul satu siang. Terik matahari menghunus tajam, bagai sebuah pedang. Sesekali, aku harus memicingkan mata. Rerumputan yang kuharap bisa mendinginkan mata, justru kering kecoklatan. Pepohonan pun tak cukup rindang.

Tak betah dengan hawa panas di halaman, kami menyegerakan langkah untuk masuk ke dalam museum. Ruangan museum itu berbentuk bundar. Tak cukup terang. Waktu itu lampu tak dinyalakan, memang. Sebuah sejarah hidup Panglima Besar Jendral Soedirman, dikisahkan melalui foto-foto yang tergantung mengelilingi ruangan.

Hanya sekedar foto hitam putih, tanpa bingkai. Dengan sedikit penjelasan seadanya. Dimulai dari kelahiran Soedirman, kariernya dalam kemiliteran, peperangan, hingga kematiannya. Ada pula sebuah lukisan yang mengisahkan Soedirman berperang dengan tandu. Lukisan itu keren, kataku. Dan tak ketinggalan, sebuah replika tandu dibiarkan teronggok berdebu. Ya, hanya ini saja yang ada dalam ruangan.

Hmm, sedikit kecewa memang. Kata seorang teman, tempat ini belum layak diberi label museum. Ada benarnya memang. Jelas, pemerintah terkesan tak serius mengurus museum ini. Padahal semangat juang Jenderal Soedirman acapkali diagung-agungkan. Namun, bagaimana mungkin semangat juang ini bisa mendarahdaging, jika sejarah kepahlawanannya dibiarkan terlantar? Ah, miris rasanya.

Selesai mengelilingi ruangan bundar ini, kami menaiki tangga. Beberapa relief dari batu berdiri gagah di atas museum. Sayang, tanpa keterangan. Kami pun saling pandang, tak mengerti. Sebuah monumen, dengan lambang burung garuda, yang berdiri sebagai latar museum, tetap menjulang tinggi meski kami lihat dari atas. Nampak agung, memang. Tapi tetap saja, ada yang kurang. Kami tak menemukan makna sejarah yang ingin disampaikan.

Untuk melepas rasa kecewa, kami duduk santai bersandar di salah satu relief. Menenggak air putih, sambil berbagi biskuit untuk menahan perut kami yang kelaparan. Semilir angin membuai kami. Perbincangan pun mulai terjalin. Mungkin inilah satu-satunya tempat di museum yang membuat kami betah. Menikmati angin dan pepohonan.

Sungguh sayang rasanya, komplek museum ini dibiarkan kurang perawatan. Padahal area tanahnya cukup luas. Bangku-bangku dan beberapa permainan anak-anak pun, dibiarkan warnanya memudar. Yah, pantas saja, kalau museum ini sepi, desah seorang temanku.

Seketika kuteringat pesan Bung Karno. "Jangan sekali-kali kau tinggalkan sejarah!". Maaf Bung, pesanmu mungkin telah kami abaikan. Telah begitu banyak sejarah yang ditinggalkan. Atau bahkan dibuang. Sudah terlalu banyak sejarah yang kami biarkan berdebu. (.Nara.)

Categories:

Leave a Reply