Oemah Cengloe

Udara sore itu, terasa dingin. Jalanan cukup meliuk mengiringi perjalanan kami. Namun rasa kebersamaan telah menghangatkan petualangan kami kali ini. Jarang rasanya, Tim Cengloe berkumpul, untuk sekedar jalan-jalan. Tak jauh dari Purwokerto, memang. Kami bertiga bersama dua teman Cengloe, begitu bersemangat menuju Taman Reptil dan Museum Uang di Purbalingga. Meskipun cukup berat, harus merogoh kocek 7000/orang untuk tiket masuk. Maklum saja, saat itu keuangan kami lagi seret.

Begitu masuk ke dalam ruangan, kami disambut puluhan koleksi reptil. Mulai dari ular, kadal, tokek, amphibi, kura-kura, hingga kumbang.

Mataku langsung tertarik dengan ular bernama Pueblan Milksnake. Pasalnya ular albino dari Mexico itu berwarna merah, putih, krem, dengan mata merah jambu. Sungguh menawan! Dengan menjulurkan lidah merahnya, dia begitu aktif menyambut tanganku yang menempel di kotak kacanya.

Melangkah pergi dari kotak-kotak ular asli luar negeri itu, kulihat kumbang yang motif punggungnya mirip wajah manusia. Lucu dan menakjubkan!

Langkahku kembali menuju deretan ular. Tiba-tiba, mataku jatuh cinta pada seekor ular berwarna hitam pekat, bernama Black Kingsnake. Liukannya anggun, dan membuatku terpesona. Rasanya aku ingin berlama-lama menatapnya. Mukanya yang dingin, seolah tak peduli dengan kedatanganku. Tak sadar, teman-temanku sudah pergi jauh meninggalkanku ke dalam.

Koleksi reptil itu membuat kami terkagum-kagum. Soalnya, banyak jenis yang jarang sekali bisa ditemui di kehidupan sehari-hari. Sayangnya koleksi kupu-kupu dan kumbang, tak lagi hidup. Dirangkai dengan indah, namun entah kenapa ada rasa miris terasa di hati.

Keluar dari bangunan utama, kami keluar menuju kandang kasa besar berisi burung merak dan beberapa jenis ular nangkring di atas pohon. Kandang ini, boleh dimasuki pengunjung, asalkan didampingi petugas. Sayangnya, sore itu tak ada petugas yang muncul untuk mendampingi. Alhasil keinginanku menyentuh kulit ular yang licin, belum bisa terpenuhi.

Di samping kandang kasa itu, ada kolam buaya. Sang buaya sedang asyik berendam, dan diam tak bergerak. Hanya beberapa ikan dan ceceran ayam sisa makanan buaya, yang menemani kesendiriannya.

Tak jauh, berjejer deretan kotak kaca cukup besar. Kobra, boa, piton, melingkar tidur kekenyangan setelah melahap seekor ayam. Ngeri juga, lihat ular sebesar paha manusia dewasa. Dalam imajinasi liarku, kotak kaca tiba-tiba pecah, dan ular-ular itu menyelusur pelan ke arah tubuhku, siap menyerangku. Oh!

Kami melangkah jauh ke dalam areal taman. Ada halaman cukup luas yang ditumbuhi aneka pohon. Jeruk, durian, kelengkeng, hingga buah naga putih. Diantara pohon, ada elang jawa bermata tajam. Sayang, kandangnya amat sempit. Sayapnya tak lagi bisa berkepak untuk terbang tinggi.

Jalan setapak kemudian kami susuri, menuju museum uang. Katanya, menyimpan mata uang dari 184 negara. Namun, kecewa menjumpai kami. Museum itu tutup, dan tak ada satupun petugas yang bisa kami temui.
Akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Menuju pintu keluar, kami bertemu dengan siamang. Dia sedang asyik bergelantungan dan berputar-putar, di dalam kandang yang tak begitu besar. Tiba-tiba siamang berhenti beraktifitas dan matanya menatap kami. Aku tak tahan melihat ekspresi sedih dari kedua bola matanya. "Keluarkan aku, kembalikan aku ke alam bebas," seakan kalimat itu yang terucap.

Seandainya aku mengerti bahasa binatang, aku bisa mendengar cerita mereka. Bagaimana rasanya terkurung dalam kotak kaca atau kandang sempit, sendirian. Tanpa teman dan menjadi bahan tontonan. Sekalipun aku tak mengerti bahasa mereka, rasanya aku melihat ekspresi tidak bahagia. Oh, entahlah. (Nara)

Categories:

Leave a Reply