Oemah Cengloe

Wilayahnya menghampar luas nan indah. Meski ribuan tanahnya saling terpisah, tapi terangkai indah oleh lautan yang maha luas. Sebuah wilayah yang punya banyak kekayaan. Kekayaan alam dan budaya. Makanya nggak ngeheranin kalau sedari dulu tanah itu selalu jadi rebutan.

Namun, udah dari berabad-abad yang lalu pula, banyak orang yang dibuat bingung karena nggak tau harus menyebut apa kepulauan di katulistiwa itu. Alhasil, muncul banyak nama. Nan-Hai (Kepulauan Laut Selatan), Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa), Insuline, Nederlandsch-Indie, sampe Nusantara. Kepentingan beradu. Perdebatan terjadi.

Tahun 1849 jadi titik balik perdebatan soal nama itu. Mula-mula George Samuel Windsor Earl (1813-1865). Dia Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, nulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Bagi Earl, udah saatnya penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu punya nama khas.

Muncullah nama Melayunesia dan Indunesia. Agaknya, Earl lebih memilih nama Melayunesia. Alasannya, nama itu lebih cocok bagi ras melayu. Toh, bahasa yang dipakai bahasa melayu juga.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pun Logan menyatakan perlunya nama
khas bagi kepulauan itu. Cuma Logan lebih memilih nama Indunesia yang dibuang Earl. Tapi, huruf u diganti dengan huruf o, biar ucapannya lebih enak diomongin.
Lahirlah istilah Indonesia buat pertama kali di dunia.

Pelan tapi pasti, nama Indonesia mulai biasa digunakan. Termasuk sama angkatan ‘28 yang sedang belajar di Belanda. Kata Indonesia, bermetamorfosa jadi semacam cita-cita luhur.
***

1945. Soekarno mbaca teks proklamasi atas nama bangsa Indonesia. Kata Indonesia yang dulunya cuma mimpi dan cita-cita, terwujud udah.

Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Banyak hal terjadi dengan Indonesia. ngebanggain, nyenangin, bikin sedih, pembantaian, penindasan, bahkan kegoblokan.
Ah, bicara soal penindasan, jadi ingat sama orang-orang Papua. Mereka adalah korban dari I’ exploitation de I’ homme par I homme (penindasan manusia atas manusia). Ironisnya, penindasan itu nggak dilakuin sama negara penjajah macam Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat. Tapi oleh Indonesia. Bangsanya sendiri.

Orang-orang Papua itu dipaksa melucuti sejarahnya. Dipaksa menerima sejarah bangsa Indonesia sebagai sejarahnya. Itu belum termasuk digadaikannya (kalau nggak boleh disebut perampokan) kekayaan alam tanah Papua oleh pemerintahan yang jawa sentris. Tanah kaya raya, namun warganya terbelakang.

Kekonyolan bangsa ini, masih berlanjut. Malah semakin konyol aja. Kali ini soal kemaritiman negara ini.

Semua orang yakin betul bangsa ini adalah negara maritim. Semua buku sejarah berkata demikian. Tapi kok, kenapa malah diduduki sama angkatan darat. Kalau dimanage sebagai negara maritim, laut akan menghubungkan satu pulau ke pulau lainnya. Tapi, dengan pendudukan Angkatan Darat memisahkan dari pulau satu dengan pulau lainnya. Kesalahan besar yang memudahkan disintegrasi Indonesia.

Jadi seharusnya, mulai sekarang, lagu “nenek moyangku seorang pelaut…”, pantang dinyanyiin. Nggak sambung sih!
***

Kesalahan-kesalahan kecil bangsa ini, terangkai dalam jalinan yang rumit. Meski begitu, semua perlu diberesin. Biar nggak jadi kesalahan sejarah. Berat memang. Tapi bukankah ini tugas sebenarnya dari angkatan muda Indonesia. Membenahi kesalahan dengan penuh keberanian. Jangan malah berlagak pikun!

Lagian mencintai (sebuah nation) itu nggak berarti ndukung kejahatan atau ikut memihak struktur yang ngisap dan nginjek-injek rakyat kecil dan lemah miskin. Right or wrong is right or wrong, okeh?

Yah, kayak orang Belanda bilang deh, “wees goed, mar niet dom”. Berbaik hatilah, tapi jangan goblok! *immo*

Categories:

Leave a Reply