Oemah Cengloe

Pukul 6 pagi. Kurebahkan tubuhku ke atas kursi besi. Tak nyaman, memang. Tapi apa daya, ini satu-satunya kursi tunggu penumpang yang tersisa. Bis menuju jepara, yang akan kutumpangi, baru berangkat 2 jam lagi. Aku berniat berpetualang sendirian, menelusuri Jepara, lalu mencari jejak seorang temanku di Blora.
Ah, Blora. Tempat dimana Pramoedya Ananta Toer dilahirkan. Seorang penulis yang amat kukagumi. Dijebloskan berkali-kali dalam penjara, tanpa pengadilan. Tapi dialah satu-satunya manusia Indonesia yang menjadi kandidat pemenang Nobel Sastra. Ingin rasanya aku bertemu dengannya. Mendengarkan berbagai cerita. Dan berdiskusi tentang sejarah.
Sibuk dengan lamunanku, aku tak sadar dengan kakek tua di sampingku. Sedari tadi dia bertanya soal waktu. Kutatap wajah keriputnya dan segera meminta maaf. Hmm..entah kenapa, dalam pikiranku, kakek ini cukup mirip dengan Pramoedya. Seakan bisa membaca pikiranku, dia tersenyum.
"Saya memang Pramoedya." ujarnya.
Aku terperangah. Dalam beberapa detik, aku tak bisa menguasai kesadaranku. Bukankah Pramoedya telah meninggal?
"Kalau mati, dengan berani; kalau hidup, dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita." tuturnya.
Benar juga. Dulu, para pejuang mengangkat senjata. Mereka hidup dan mati dengan berani. Hasilnya, penjajah bisa pergi. Tapi kini? Kita ternyata masih juga dijajah. Dengan cara yang berbeda tentunya. Indonesia jelas belum merdeka! Masih saja mau didikte dan disuruh ini-itu. Tak hanya bangsa asing yang menjajah, sekarang manusia yang menjajah bangsanya sendiri.
"Rakyat sekarang miskin karena dimiskinkan kaum elit. Sebelum kemerdekaan mereka dirampok oleh penjajah. Sekarang mereka dirampok oleh kaum elit kita sendiri."
Iya, kita dijajah bangsa sendiri. Di sekolah memang sering diceritakan soal penjajahan dan kemerdekaan. Tapi hanya bagian dari pelajaran sejarah. Seperti layaknya mengheningkan cipta dalam upacara. Untuk mengenang arwah para pahlawan yang telah gugur mendahului kita. Sekedar mengenang? Ya, tak lebih dari itu. Tak ada soal makna perjuangan dan cara berjuang dalam konteks kekinian.
Wah, kasihan benar bangsa Indonesia. Pahlawan medan perang, sekedar hiasan. Pelajarnya cuma hobi mengenang. Anak mudanya asyik bersolek dengan dirinya sendiri. Kaum bawah sibuk meratapi nasib. Sedangkan kaum elit antri menjarah kekayaan bangsa sendiri.
"Merasa kasihan tanpa berbuat sesuatu adalah suatu kemewahan yang tak berguna. Kalau benar perasaan itu murni, orang harus membantunya, apakah dengan pikiran, perbuatan, atau pertolongan."
Aku terhenyak. Sudah begitu lama, aku hanya merasa kasihan terhadap bangsaku. Dan berarti sudah terlalu lama pula, aku berpangku tangan.
Perlahan sosok Pramoedya memudar. Aku terkesiap. Perjumpaan sesaat yang penuh makna. Hanya tiga kali dia mengeluarkan kalimat, tapi seketika itu pula alam pikirku terbuka. Ah, dia memang sosok yang luar biasa. Bagiku, dia juga pahlawan. Dengan jalan yang berbeda.
Bahuku terguncang. Tangan keriput seorang kakek menggoyangkan pundakku.
"Nak, bis ke Jepara sudah mau berangkat. Ayo naik."
Seketika aku terbangun. Ah, ternyata aku baru saja bermimpi. Kutatap kakek yang telah membangunkanku. Aku membatu. Tubuhku pun terasa begitu kaku. Pasalnya, wajah sang kakek, benar-benar mirip Pramoedya. Oh! (Nara)

Categories:

Leave a Reply