Oemah Cengloe

Fitri Arumsari membacakan puisi dalam Pentas Puisi: 
Perempuan Kuru Berbaju Biru, gelaran Kelas Menulis 
Purbalingga di Kafe Pedangan Purbalingga, Sabtu (9/6).




Perempuan dengan perawakan kecil itu duduk di atas kursi merah, sembari terus mengutak-atik senar tipis yang membentang di antara dua paku. Kedua patok besi berkarat itu tertancap kuat di balok kayu dengan dimensi panjang sekitar 30 sentimeter dan lebar tak lebih dari 10 sentimeter.

Semula, orang di Kafe Pedangan Purbalingga, Sabtu, 9 Juni 2012, tak menyadari, perempuan asal Desa/ Kecamatan Kemangkon itu mengenakan baju biru. Hem khas perusahaan asing di Purbalingga. Saat itu sinar merah kuat menyorotnya. Pakaian utuhnya tampak jelas saat mendekat ke mikrofon yang disangga biar berdiri.


"Beginilah aku masih menggantungkan nasib seperti menggantungkan rambut pada senar," buka perempuan yang karib disapa Yuli itu. Sontak, pengunjung Pedangan malam itu, termasuk  Cengloe, mengalihkan perhatian kepadanya.

Dengan pengantar sederhana dan bahasa tutur yang kaku, Yuli membacakan tiga buah puisinya di depan khalayak. Naik panggung semacam itu, merupakan pengalaman kali pertama yang digenggamnya. Dengan kepolosannya, buruh pabrik yang bercita-cita jadi wartawan itu panen jempol dari pengunjung.

Ketika itu, Yuli yang tak pernah membayangkan bakal kerja di pabrik bulu mata dan rambut palsu itu, dipuji lantaran bisa bercerita tentang romantika kehidupan di dunia buruh. Sesuatu kondisi yang selama ini nampak namun selalu dinisbikan karena beratnya beban hidup.

"Jadi buruh tapi masih sempat menulis. Baca puisinya juga menghayati banget," kata anggota Jong Pebege, Fajar Rahmawati. Jong Pebege merupakan perkumpulan kaum muda di Kota Purbalingga. Mereka tengah membuat program Bodholan Hape untuk menjauhkan anak-anak dari pengaruh buruk teve.

Malam itu, Yuli tak sendirian. Ada Alfy, Fery dan Fitri yang pentas membawakan masing-masing tiga puisi dalam Pentas Puisi; Perempuan Kuru Berbaju Biru. Keempat penulis muda Kota Perwira itu merupakan anggota Kelas Menulis Purbalingga.

Mereka mementaskan puisi yang berdasarkan interpretasi bebas atas cerita pendek bikinan Alfy Aulia yang bertajuk Bu Ruh. Cerita pendek itu bercerita tentang kehidupan buruh di Purbalingga yang sudah hamil tua namun beban hidup kian berat. Ia galau, apakah buruh bakal melahirkan buruh.

Saat apresiasi pembacaan puisi, Alfy Aulia mengatakn kegiatan tersebut diharapkan akan bisa mendorong munculnya "sesuatu-sesuatu" yang lainnya. "Sesuatu-sesuatu yang lain, yang bisa mewarnai Purbalingga," harapnya.*immo*

Categories:

Leave a Reply