Oemah Cengloe




Namanya Dodik. Laki-laki berumur 20 tahun ini memang terkenal di desanya. Bukan karena prestasi dalam hal positif yang membuatnya dikenal banyak orang, namun karena kelakuannya sebagai preman kampung yang kerap meresahkan warga. Mabok, main, maling, malak, madon. Sederet perilaku bejat tersebut sudah menjadi rutinitas harian bagi Dodik. Tiada yang berani dan mampu menyadarkan Dodik. Semua warga dan orang tuanya pun kewalahan menghadapi aksinya yang kian hari kian menjadi.

Dodik adalah anak semata wayang. Kedua orang tuanya sudah sepuh. Ayahnya buruh serabutan, dan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa dan sering sakit-sakitan. Mereka hidup sangat sederhana dan jauh dari kecukupan.

Pada suatu pagi, Dodik pulang ke rumah dalam kondisi mabok setelah semalam begadang bersama teman-temannya. Ia lapar. Langkahnya gontai menuju ruang makan. Di bukanya rundung diatas meja, tidak ada makanan. “Mak! Udah masak apa belum sih?! Dodik laper nih!”, teriak Dodik ke penjuru ruang. “Sudah nak, itu masakannya ada di lemari”, jawab Emak dengan lirih dari dalam bilik kamar berdinding anyaman bambu tempat tubuh tuanya berbaring. Nampaknya Emak sedang tidak enak badan. Dipaksanya tubuh yang tinggal tulang terbungkus kulit keriput itu untuk bangun, melangkah ke ruang makan. “Masa tiap hari Dodik disuruh makan nasi hambar sama tempe bacem?! Nggak ada makanan lain apa Mak!”, bentak Dodik saat melihat isi lemari makan yang hanya terdapat secething nasi dan tiga buah tempe bacem. “Hanya itu yang bisa Emak beli nak. Emak tidak punya banyak uang untuk membeli makanan yang enak”, jawab Emak dengan sabar. “Halah, nasib emang jadi anak orang miskin! Makanya Mak! Dulu Emak sama Ayah sekolah yang pinter, biar nggak hidup susah kaya gini. Mau enaknya aja punya anak, giliran miskin diturun-turunin!”, bentak Dodik dengan kasar pada Emaknya. “Eling Dod eling. Harusnya kamu mau cari uang sendiri, bukannya menyalahkan keadaan seperti ini”, jawab Emak. “Orang tua emang bisanya cuman ngoceh mulu kaya beo!”, bentak Dodik. “Dod, eliiing…”. “Diam lah Mak!”, belum selesai Emak bicara, Dodik langsung menyela perkataan Emak sambil mendorong tubuh tua Emak hingga tersungkur, jatuh ke lantai. Tidak cukup dengan itu, Dodik lalu mengambil piring dan gelas yang ada di lemari dan membantingnya. Meja dan kursi makan ia dorong. Berantakan tak keruan. “Dood…, Dodik eling Dod…”, ucap Emaknya tak ia hiraukan. Ia terus saja mengobrak-abrik isi ruangan, melampiaskan emosinya. “Dod, uhuk uhuk…Dodiiik”, suara Emak serak memanggil Dodik. Lirih. “Uhuk…uhuk…”, batuk Emak semakin parah. Ada bercak merah keluar dari mulutnya. Melihat Emaknya yang batuk memuntahkan darah, Dodik berhenti. Tubuhnya gemetar. Ia sadar apa yang telah ia lakukan. Ia lalu berlari menuju Emaknya dan memeluk tubuh tua itu. “Mak, maafkan Dodik Mak, Dodik khilaf, Emak jangan mati, Dodik masih membutuhkan Emak”, ucap Dodik menyesal sambil memegang tangan Emaknya yang basah tersapu darah. “Uhuuk…tidak apa Dod, ini bukan salahmu. Emak memang sudah tua. Sudah saatnya Emak pulang”. Dodik semakin gemetar mendengar ucapan Emaknya. Disekanya darah yang ada di bibir Emak. “Mak, Dodik menyesal Mak, Dodik janji Dodik akan berubah. Emak jangan mati…!”. Disisa-sisa nafasnya yang terakhir, Emak berpesan kepada Dodik. “Dod…jadilah anak yang baik, buat Emak bangga telah melahirkanmu. Sekarang Emak ingin istirahat”. Pias muka Dodik mendengar ucapan Emak, dan rupanya itu adalah kalimat terakhir yang Dodik dengar darinya. Dipeluknya tubuh Emak yang semakin dingin, seiring jantung yang tak lagi berdetak dan nadi yang tak lagi berdenyut. Sekarang tubuh Emak tinggalah raga kosong tanpa nyawa. Penyesalan tinggal penyesalan. Meraung keraspun, tangis Dodik tak akan mampu memutar kembali gulirnya waktu agar peristiwa tersebut tak terjadi. Emak mati.

Empat puluh hari sudah semenjak meninggalnya Emak. Kini Dodik benar-benar berubah. Sekarang ia rajin sholat dan pergi ke masjid. Ia sudah mendapat pekerjaan dan mencari uang dengan cara yang halal. Ia tak lagi mabok-mabokan dan berjudi. Kini ia sangat patuh dan berbakti pada Ayahnya. Ia juga bersikap dan berkelakuan baik pada warga sekitar. Sekarang, ia benar-benar berubah!

Pada suatu sore selepas Ashar, Dodik berziarah ke makam Emaknya. Diatas makam, Dodik menangis tersedu-sedan mengingat kelakuannya dimasa lalu yang sampai membuat Emaknya meninggal. “Maafkan Dodik Mak, Dodik sudah keterlaluan kepada Emak. Dodik sangat menyesal Mak. Sekarang Dodik sudah berubah. Dodik ingin membuat Emak bangga. Dodik ingin membuat Emak tersenyum bahagia disana”, ratap Dodik diatas makam sambil matanya masih menangis mengucurkan linangan penyesalan yang membasahi tanah makam. Pada waktu yang sama, ayah Dodik lewat pemakaman dalam perjalanan pulangnya setelah selesai mencangkul di sawah. Ia kaget melihat Dodik yang menangis sendirian diatas makam. “Sedang apa kamu Dod?!”, tanya sang Ayah pada Dodik. Ia menoleh ke arah Ayahnya sembari masih menangis. Kalut. “Dodik sedang meratapi dosa-dosa Dodik diatas makam Emak, Yah. Semoga Emak mendengar Dodik didalam sana”. Mendengar penuturan Dodik, bukannya terenyuh, Ayahnya malah tertawa geli dan berkata kepada Dodik, “Makam Emakmu bukan disitu Dod! Makam Emakmu itu disana!”, sambil menunjuk ke sebuah makam baru di seberang pintu.

Cilongok, 8 Juni 2012
-Ganang Restu Bariadi-

(Diilhami dari kisah nyata yang diceritakan oleh kakak saya, Cahyo Setia Adi)

Identitas diri:
Nama : Ganang Restu Bariadi
TTL : Banyumas, 16 Maret 2012
Alamat : Langgongsari RT 04 RW 02, Cilongok, Banyumas
Status : Belum Kawin
Agama : Islam

Leave a Reply