Salah satu agedan film dokumenter CLC Purbalingga tentang nasib buruh |
Bercerita lewat film. Begitu, biasanya film documenter biasa
diibaratkan. Film dokumenter dibikin untuk menyampaikan fakta yang
senyata-nyatanya dan disertai data yang akurat.
Kenyataan, fakta, dan data. Ketiga hal tersebut jadi penting
adanya dalam pembuatan film yang disebut John Grierson sebagai
Creative Treatment of Actuality. Sekaligus sebagai pembeda atas genre film
fiksi. Macam, sinetron, film fiksi, atau bahkan video ariel-luna yang
menghebohkan itu (ups….).
Nah, yang jadi Pe-eR itu kan gimana sih cara mengawinkan
ketiga hal itu. Yang sayangnya, mau tidak mau, suka ataupun nggak, prosesi
kawin-mengawinkan tersebut musti dilakukan jika ingin membikin sebuah film
dokumenter yang yahud.
Riset, riset, dan riset. Begitu kata Rhoda Gruer coba
menjawab. Dan, ternyata, para praktisi film dokumenter pun sepakat.
Saat Gruer ngomong soal riset itu sampe tiga kali jelas
nggak bisa lagi dianggap berlebihan. Sebab, kebanyakan pembuat film kan termotivasi
oleh keinginan untuk menceritakan sebuah kisah. Nah, kalo film fiksi memulai
prosesnya dengan sebuah cerita di kepala, film dokumenter justru lebih sering
berangkat dari sebuah ide atau konsep.
Riset yang memungkinkan ide tau konsep itu bisa jadi sesuatu
yang sistematis. Mampu menjadi cerminan atas realita yang ada. Plus penuh data
akurat.
Proses riset lazimnya dilakuin dalam dua kerangka, riset
terkait teknis sama terkait cerita. Caranya, aneka
rupa cara bisa dilakukan.
Mulai dari memilih sudut pandang yang asik, setting yang reflektif,
penggambaran karakter-karakter yang khas, sampai alur yang menghanyutkan.
Selain itu, membongkar-bongkar dokumen-dokumen yang terkait
dengan cerita dan ngobrol ngalor-ngidul
pun mampu jadi cara riset yang mengasyikan. Dan membentuk tim untuk riset akan
membuat kerja jauh lebih mudah dilakukan.
Yah, memang nggak gampang membikin film dokumenter. Butuh
akurasi dan data yang maksimal. Oiya, dan kejujuran mengungkapkan cerita
tersebut.
Udah ah, segini aja tulisan pengantarnya. Mari berbincang,
memperluas cakrawala. Jaman sekarang, diam nggak berarti emas.
Setelah itu, nggak perlu lagi mirip kethek (kera)
ditulup. Sisanya, selamat membumikan ide!
Categories:
Mari Beraksi |