Oemah Cengloe

- Solusi Budaya Menulis yang Tak Berkembang



Budaya menulis di kalangan kaum muda di Banyumas Raya, khususnya di Purbalingga, kian tergerus. Budaya menulis yang semestinya hadir setelah budaya lisan, justru dilompati oleh budaya menonton.

Alhasil, kaum muda sekarang lebih menikmati hal-hal yang bersifat audio dan visual. Termasuk juga menampilkan dirinya agar layak ditonton.

Direktur CLC Purbalingga, Bowo Leksono mengatakan, seperti halnya berbahasa, menulis merupakan sebuah kebiasaan. Namun, kata dia, kebiasaan tersebut tak pernah dibangun. Terutama di sekolah, tempat kaum muda menghabiskan separuh harinya.

"Ternyata sekolah formal tidak mempunyai cukup kemampuan membiasakan anak didiknya membaca dan menulis," tandas dia.

Dikatakannya, anak-anak sekolah pada masa sekarang ini, justru tampaknya lebih banyak mendapat asupan pendidikan dari televisi. Minimnya pengunjung perpustakaan, dianggapnya sebagai bentuk tak berkembangnya budaya membaca dan menulis.

Maka itulah, CLC Purbalingga mencoba mengembangkan Kelas Menulis gratis bagi kaum muda di Purbalingga. Program tersebut hasil kerjasama dengan Komunitas Cengloe. "Menulis adalah basis dari segala kreativitas," tukas Bowo.

Dikemukakannya, arahan kelas menulis yang bakal dilaksanakan saban Jumat Pukul 15.30 WIB itu lebih berbasis pada penulisan bidang jurnalistik. Akan tetapi, model penulisan tersebut bisa disesuaikan dengan kesepakatan dan menilik kemampuan yang diinginkan serta dimiliki peserta.

Penulisan berbasis tulisan jurnalistik, tambah Bangkit Wismo, pegiat Komunitas Cengloe, dipilih lantaran tulisan tersebut yang terkadang mampu mencerminkan karya tulisan yang dekat dengan masyarakat dan lekat dengan konteks sosial di kalangan muda Purbalingga.

Terlebih, selama ini, masih sulitnya ditemukan karya kaum muda yang mampu merefleksikan kondisi masyarakat Purbalingga. "Dengan kata lain, kami ingin membuat teman-teman semua bisa menghasilkan tulisan yang dekat dengan masyarakat," katanya.

Selain menghadirkan tentor di bidang jurnalistik dan penulisan pada umumnya, paling tidak hampir ada sepuluh mentor yang siap dihadirkan dalam kelas menulis yang gelaran perdananya Jumat, 4 Februari 2011, di Bioskop Pojokan; Jl Achmad Nur Kauman (sisi barat pendapa bupati) Purbalingga.

Keterangan lebih lanjut;

1. Bangkit Wismo
Hp: 085227126328
Email: py_chink_4021@yahoo.co.id

2. Asep Triyatno
Hp: 085726331267
Email: ncepz_osbozz@yahoo.co.id

Formulir bisa diunduh di sini:

http://www.ziddu.com/download/13368406/formpendaftaran.doc.html
Read More …


Wowowwoooyyy...
Buat temen cengloe semua, ini ada info soal kompetisi Kompas Muda. Kompa Muda lagi kerjasama dengan Aqua bikin kompetisi yang kayaknya asyik banget buat diikutin sama temen cengloe semua.
Ada kompetisi foto, menulis, webblog, musik sampai komik.
Asyik banget tuh buat uji kemampuan dan gagasan.

#kalo nggak bisa liat tulisannya, gambar bisa diklik kok. Terus habis itu, bisa di-zoom. Soalnya kalo nulis ulang, ternyata banyak banget nih. heheee

Selamat Membumikan Ide!!
Read More …

Tiap jagoan perlu ironi. Ironi, kata Anatole France, la gaieté de la réflexion et la joie de la sagesse. Dengan ironi, kita bisa bersikap bijaksana dengan hati yang ringan dan riang, soal banyak hal.

Cengloe pun perlu ironi. Pelbagai ironi bermunculan dan dipermainkan. Cengloe juga asyik bermain dengan ironi-ironi yang ada di sekitar cengloe berdiri.

Cengloe menyegarkan. Jadi sosok namun juga wadah yang nggak pernah terjebak keseriusan membangun peradaban. Itu yang cengloe harapkan saat bermain dalam ironi.

Cengloe jelas bukan jagoan. Atau paling nggak, bukan selayaknya pahlawan dalam cerita kepahlawanan. Nggak ada babad yang menceritakan itu.

Selamat Membaca! Selamat Membumikan Ide!!
Read More …

"Besok gedhe kamu mau jadi apa?"

Bertahun-tahun lalu, pertanyaan itu sungguhlah sakti. Terutama, sejak pertanyaan sederhana itu diajukan pada Susan. Saat itu, boneka Kak Ria Enes menjawab, ingin jadi dokter. Bermodal kepintarannya, dia ingin menyuntik orang. Jus jus jus.

Seperti menyihir, semua anak, pada masa itu, ingin mendapatkan, sekaligus, memberikan jawaban atas pertanyaan cita-cita mereka.

Tiap anak, ternyata, punya jawaban sendiri-sendiri. Beraneka ragam. Seakan mau menegaskan, kalau setiap anak itu khas. Beda satu sama lain. Mereka ada yang ingin jadi dokter, tentara sampai jadi presiden. Ah, masih banyak jenis cita-cita yang lain.

Mustahil. Mungkin iya, mungkin juga nggak. Yang jelas, semua meyakini, berbicara soal cita-cita bukan melulu soal tercapai nggaknya cita-cita si anak.

Namun, lebih pada gimana si anak itu bisa mengilhami pesan Kak Ria Enes dalam lagu Cita-citaku. Cita-cita memang harus setinggi langit, begitu pesan perempuan asli Surabaya.

Itu dulu. Sekarang beda lagi ceritanya. Ibarat kata, lain lubuk lain ikannya. Lain jaman, lain lagi ceritanya.

Seiring pergantian lagu "Susan Punya Cita-cita" dengan lagu "Apa Salahku" milik d'massiv. Cita-cita anak-anak jaman sekarang bergeser.

Sekarang ini, nggak ada ceritanya anak punya cita-cita yang beda dengan anak yang lainnya. Sekarang, jenis cita-citanya sama. Ingin jadi artis!

Apalagi, sekarang, jalan buat jadi artis kepalang gampang. Cukup ikutan ajang pencarian bakat. Terus ngantri dengan ribuan nomor urut panggilan.

Soal persyaratan, itu lebih gampang lagi. Jangan tanggung-tanggung, itu aja. Maksudnya, cantik ya cantik sekalian, jelek ya yang jelek banget aja. Soal suara dan skill juga kayak gitu. Pokoknya, jangan tanggung-tanggung deh.

Kalau nggak, cukup jadi orang miskin yang punya banyak penderitaan. Biar orang-orang bersimpati, terus nangis-nangis kalau video tentang hidup kita, diputer di teve. Habis itu, pasti banyak orang yang kirim SMS. Lalu, menang deh.

Nah, kalau kalah. Itupun ya nggak perlu terlalu dirisaukan. Kalau masih beruntung, ya masih bisa jadi artis. Sering nongol di teve. Minimal jadi bahan lawakan.

Kalau ternyata nggak beruntung, ya silahkan kembali ke habitat masing-masing. Tapi paling nggak dapet label baru; mantan artis!

Dan, soal proses mencapai cita-cita yang instan, mirip mie instan yang tinggal cur, juga nggak perlu dipikirin. Tutup mata buat kepintaran, kejujuran dan kerja keras. Ah, kayaknya, memang nggak banyak yang kepikiran soal itu. Malah, mungkin nggak ada. Blas! *immo*
Read More …

Gandarusa, namanya. Sebuah desa yang hanya bisa dicapai dengan terlebih dulu menjumpai jalanan berbukit yang terjal dan berliku.

Deretan pohon pinus bagai sebuah gerbang menuju hutan, bukan pemukiman. Hingga ketika malam tiba, rasanya sungguh sepi.

Atas alasan iseng semata, aku bersama beberapa kawan menyusuri jalan setapak desa. Saat itu, sudah pukul 10 malam. Dan berjalan kaki di tengah kesepian, sungguh bukan hal biasa.

Gelap. Karena memang tak begitu banyak lampu bertebaran. Di tengah penyusuran jalan yang entah kemana, kujumpai sebuah warung. Wah, menurutku, ini luar biasa. Di tengah suasana malam yang sepi, masih ada warung yang membuka diri.

Tapi tunggu, ada kejutan yang lebih di luar dugaan. Di balik warung itu, bersembulan banyak kepala anak-anak muda. Dan mereka sedang asyik bermain play station, oh!

"Biasanya ramai sampai jam 12 malam," ujar si pemilik warung.

Aku terpaku. Kupikir desa diatas bukit ini, tak terjamah dengan dunia play station, nyatanya aku salah. Meski tercengang, kulanjutkan perjalan tak tentu arahku.

Aku masih mendengar suara anjing hutan yang saling menyahut, di tengah gugusan suara angin yang mendesir. Namun, suara anjing hutan itu, tiba-tiba tertelan dengan suara lain.

Ya, sebuah lagu populer jaman sekarang, memecah keheningan. Berasal dari ponsel milik seorang anak muda, yang tengah berkumpul di pos ronda.

Lagi-lagi, aku termangu, tak menyangka gegap gempita dunia musik telah menyeruak, membuat keranjingan.

Ketika perjalananku berakhir, aku bertemu dengan seorang ibu. Usianya tak lagi muda, hampir separuh abad. Kami pun mulai berbincang ngalor-ngidul. Hingga tanpa disadari, kegelisahan kami berpadu.

Ibu paruh baya itu mengatakan, anak muda desa sekarang suka sekali bermain play stasion. Jadi tak serius belajar di sekolah. Bahkan membantu orang tua di sawah, pun tak pernah.

Mayoritas mata pencaharian penduduk gandarusa adalah petani. Namun, yang tersisa hanya petani tua. Yang muda memilih hengkang ke kota, setelah lulus sekolah. Menjadi petani bukan lagi pilihan hidup mereka, apalagi cita-cita.

Padahal apa salahnya dengan jadi petani? Mengelola lahan pertanian bukan hal sepele, butuh sebuah cita rasa. Namun, apa lacur, yang ada di kepala, justru petani adalah pekerjaan tak bergengsi.

Berada di balik meja, dalam bangunan kantor, disangka lebih baik, lebih terhormat. Malah, tidak jarang, ke kota pun hanya bisa jadi buruh.

Hmm, kalau dipikir lagi, lebih baik mana, jadi buruh dibawah orang lain atau jadi petani yang berdaulat atas dirinya sendiri?

Aih, aku dan sang ibu menjadi sama-sama gelisah, atas apa yang kami perbincangan. Masih adakah anak muda yang mau jadi petani? itu pertanyaan kami, menutup malam di desa yang sepi dalam semu. (.Nara.)
Read More …

Kang sobar, priwe kabare? Inyong lagi bingung pisan kiye, kang. Mulane dadi pengen gendu-gendu rasa.

Kang sobar siki adoh si, dadine kudu ngasi kirim layang. Anu arep SMS apa tilpun, kayong ora sranta. Arep ngirim imel, jebul inyong sing gaptek. hehehe.

Dadi kaya kiye, kang. Sawijining dina, inyong lagi saba maring bendungan. Andon tilik banyu sing jerene madan mbludak. ora kemaha, inyong malah ketemu bapak-bapak sing jere penunggu bendungan kuwe.

Akhire, Inyong malah ngecebres ngalor-ngidul. Ngasi ngumpruk. Jan, bapake gaul pisan koh. Padahal umure wis merek 50.

Wis sue gole ndopok, jebule, Bapake malah tawa mbokan inyong butuh kesugihan. Nek ora, mbokan inyong pengen lulus ujian sekolah. Orang nganggo sinau loh, kang.
Lha, inyong ya kaget, mung cengar-cengir ora nggenah. Jere Bapake, nek gelem, ana rituale.

Dus-dusan nang bendungan tengah wengi. Sajen kembang tuju rupa, ingkung, karo menyan sing mengko-mengkone bakal dilarung.

Oalah, kang. Inyong ora nyana nek neng jaman siki, tesih pirang-pirang kaya kuwe.
Nek Bapake sih gole ngomong, kuwe sing jenenge njaluk pitulung maring alam, udu maring setan. Nek maring setan, beda perkara maning.

Ganu, sih pancen akeh wong sing ndelah sajen nang wit, kali, utawa laut, anu nggo ngregani alam. Manungsa uga tesih urip selaras karo alam. Tesih gelem njaga, ora ngrusak. Lah rika ngeri kayangapa ganu.

Lha, siki, alam ujarku mung digople nggo kepentingan sesaat. Ndelah sajen, mesti anu arep njaluk rupa-rupa. Bar kuwe, malah ngrusak lingkungan. Ora ngregani blas, mbok!

Nek menurute kang sobar, kepriwe? Lelaku sing bener, janen kudu kepriwe?

Ujarku, ora usah njaluk rupa-rupa ming alam. Sing penting urip selaras, mengko toli alam kiye ngewei pirang-pirang manfaat nggo manungsa. Bener ora kang?

Kang, inyong njaluk tulung banget, layange dibales. Jan, inyong lagi kepikiran kuwe terus koh. Ngasi mod-modan. Nek inyong ora takon karo rika, kon maring, jal.

Yawis, mung kaya kuwe bae disit, kang. Salam sekang Mboke, jere kon sing sehat. Maturnuwun, kang.

Salam, Parsan.

.NaRa.
Read More …

Ini era jejaring sosial. Era dimana segala hal bisa dibagikan kepada orang banyak. Entah itu penting atau remeh, baik atau buruk, lucu atau seram, absurd atau kongkrit, bahkan berbudi atau amoral. Semua dibagi, ditanggapi.

Contoh paling mudah, Facebook. Sebagai produsen segala hal bisa kita bagikan kepada banyak orang, lewat status, catatan, pesan, hingga apliasi tambahan lainnya.

Lalu sebagai konsumen, kita menanggapinya dengan cara memberi “si jempol”, berkomentar hingga meneruskan segala hal tersebut kepada lebih banyak orang.

Nyampah. Itu istilahnya. Tanpa peduli substansi sesungguhnya dari sesuatu yang dipublikasikan oleh seseorang, kita memberi tanggapan. Memenuhi ruang pemberitahuan sang publikator.

Ada yang menanggapi karena memang memiliki tanggapan, ada yang untuk “balas jasa” karena sebelumnya sudah menanggapi apa yang kita publikasikan, hingga menanggapi hanya untuk menarik perhatian sang publikator yang (kebetulan) cakep atau cantik.

Parahnya, ada pula yang memberi tanggapan karena “ditodong” terlebih dahulu oleh sang publikator dengan kalimat macam, “Komen statusku donk!” atau “Liat statusku yaaaa… terus jangan lupa komen+like =)”.

Kalau komentar, kita bisa menangkap dengan jelas maksud si penanggap. Begitu pula dengan meneruskan pada orang lain. Tapi kalau menyukai alias memberi jempol? Apa maknanya?

Seseorang memasang status, “I will do the best to better so I can get better than the best”. Saat kita memberi jempol, apa yang sebenarnya ada di pikiran kita? Setuju, satu pemikiran, menyenangi rangkaian kata-katanya atau bagaimana?

Lalu, status tentang berita duka cita. Memberi jempol apakah berarti kita turut merasakan duka cita? Atau jangan-jangan kita justru merasakan suka cita dari kematian orang tersebut?

Dinding dari seorang cowok kepada pacarnya, “I love you so much sayang =*”. Jempol itu bisa bermakna banyak. Mendukung si cowok untuk menyayangi pacarnya, sama-sama memiliki perasaan yang sama pada pacarnya sendiri atau menyayangi pacar si cowok.

Coba pasang sebuah tautan video porno yang tersamar dalam alamat www.nyamukkebon.com dan beri tambahan kalimat “klik yaa..”. Saat ada yang memberi jempol, tanyakan saja apa tujuan orang tersebut. Apakah mendukung orang untuk meng-klik tautan tersebut, menyukai aksi gila tautan atau parahnya menyukai video tersebut?

Teman lama di SMP memasang foto saat pakai bikini bersama dua orang sahabatnya di Pantai Lombok sebagai Foto Profil. Jempolmu berarti apa? Senang dengan pemandangan pantai eksotis di latar belakang, naksir salah satu model foto atau antusias melihat apa yang ada di sekitar bikini?

Saat di-skors karena membolos dan menuangkan kekesalan kita dalam catatan dengan judul “DASAR SEKOLAH SIALAN!!”, ternyata para jempol berdatangan menyesaki ruang pemberitahuan kita. Apa maksudnya?

Sama-sama memiliki perasaan kesal terhadap sekolah seperti kita, menyetujui keputusan sekolah untuk menghukum atau si pemilik jempol sedang tertawa terbahak-bahak mengetahui kita tengah ketiban sial?

Jempol adalah ibu jari. Dimanapun dan kapanpun, ibu selalu merujuk pada hal-hal yang baik. Memberi petunjuk tentang sesuatu yang benar dan menjauhkan dari keburukan. Sebuah pelita bagi jalan yang masih samar. Apakah itu juga definisi suka yang berlambang jempol pada facebook?

Danastri Arum Saraswati
* Pegiat Komunitas Lare Purwokerto
Read More …

Setiap kisah percintaan punya kegilaannya sendiri-sendiri. Tapi, apa jadinya jika orang gila ternyata mencintai orang waras.

Dan tanyakanlah bagaimana rasanya menerima cinta dari seseorang yang gila? Atau bagaimana rasanya hidup satu atap dengan orang gila yang dicintanya? Tanyakan semua itu pada Wasniah (50) saja.

Sudah berbulan-bulan, perempuan asal Majalangu Kecamatan Watukumpul, Pemalang hidup dengan suaminya, Rachmat Hidayat (31). Seorang tukang becak yang divonis gila.

Saat menemani suaminya 'menginap' di Rumah Sakit Khusus Jiwa dan Narkotika (RSKJN) H Mustajab di Desa Bungkanel Purbalingga, untuk melakukan pengobatan, Wasniah pun tak ragu menunjukan kemesraan dengan suaminya. Keduanya kerap saling melempar senyum.

"Waktu itu, dia sering mengunjungi adiknya di pondok pesantren dan saya sedang jualan dia sedang parah-parahnya. Sejak itu, jadi sering ketemu," kenang Wasniah soal awal perjumpaan keduanya.

Ibu lima anak dan 11 cucu itu pun menuturkan, saat keduanya mulai semakin dekat, pria asal Kalimas Randudongkal, Pemalang itu sedang gila-gilanya. "Seneng mlayu-mlayu ora klamben," kata Wasniah sambil tertawa geli.

Sementara Rachmat hanya senyam-senyum seraya melempar tatapan kosong, Wasniah yang siang itu berbaju biru, kembali bercerita tentang detik-detik dirinya dilamar sang suami tercinta. Saat itu, di rumah Rachmat, hanya ada dua sejoli itu. Orang tua Rachmat, kata Wasniah, hanya mengintip dari luar.

"Aku cinta karo kowe sampai mati. Aku sadar nek aku Rachmat," ujar Wasniah menirukan lamaran Rachmat.

Seketika itu, Rachmat pun tersenyum, seakan malu, mendengar si istri mengucapkan kata-kata itu. "Aku memang cinta dia," tandas Rachmat.

Tapi, sejurus dengan drama percintaan abadi, Romeo and Juliet, pun demikian dengan jalan cinta Wasniah dan Rachmat. Jalan pasangan dari Randudongkal itu, juga mendapatkan tentangan. Terutama dari anak-anak Wasniah sendiri.

"Tadinya tidak boleh sama anak pertama saya. Terutama karena Mas Rachmat gila. Tapi, setelah rembugan dengan bapaknya Mas Rachmat, akhirnya diperbolehkan," ucap perempuan yang sudah 10 hari menemani sang suami rawat inap di RSKJN H Mustajab.

Meski mulanya, menerima lamaran lantaran kasihan, sekarang Wasniah mengaku semakin mencintai Rachmat. Meski dia kerap dicibir tetangga-tetangganya. "Mboten wedi, mboten nyesel. Wong sampun dados jodone," pungkasnya sambil menatap Rachmat dalam-dalam. *immo*
Read More …

Jangan bicara padaku soal sekolah. Hari ini aku udah nggak ngerti lagi apa maksudnya.

Kamu bisa bilang, sekolah bukanlah sesuatu yang menyeramkan. Tapi berbarengan dengan itu, orang lain ngomong sekolah itulah yang jadi tempat ideal kalau orang yang bodoh atau malas dihukum.

Jawaban yang satu bisa dibantah jawaban lain. Terus, pada siapa aku minta kata akhir soal apa yang sebenarnya terjadi di sekolah?

Maka jangan ngomong lagi tentang sekolah. Sekolah nggak perlu dan nggak bisa diterangkan dengan teori atau aturan sekolah. Tugas sekolah yang dikasih, malah mungkin lebih kentara buat menggambarkan segalanya. Betapa berat hidup di sekolah.

Aku sering bingung. Khususnya, setelah satu persatu sekolah membikin kelas akselerasi. Selepas orang-orang tua mendaftarkan anaknya ke sana.

Aku melihat anak-anak muda itu dikumpulkan dalam satu ruangan. Mereka, anak-anak itu, adalah kumpulan anak-anak yang dicap cerdas, punya kemampuan di atas rata-rata anak yang lain. Aku bingung!

Mereka diberi pelajaran, diberi tugas, diberi banyak hal. Semua dipadatkan. Benar-benar padat. Tak perduli, anak-anak itu butuh atau tidak, yang penting materi terus saja dikasih. Aku bingung!

Argh. Apa indahnya sekolah dalam waktu yang padat penuh tugas dan perhitungan. Apa indahnya sekolah satu kelas dengan anak-anak yang satu drajat kemampuan. Apa mereka nggak pernah mendengar soal cerita indahnya masa sekolah. Bukankah banyak cerita di sana.

Sebenarnya, aku sempat melihat mereka, yang dianggap cerdas itu, selayaknya Einstein atau Alfa Edison atau malah pencipta Doraemon.

Tapi, ah, tidak. Mereka sama sekali nggak mirip dengan tokoh-tokoh ikon manusia cerdas itu. Nggak ada kemiripan sama sekali.

Sebab, aku nggak pernah mendengar Einstein dapat gelar cerdas di kelasnya. Aku nggak pernah tau kalau Ala Edison lulus dengan gemilang. Aku juga nggak pernah meliat kalau Nobita, si pencipta Doraemon belajar kayak Dekisugi.

Huh, aku membayangkan anak-anak muda yang punya kemampuan khusus, lantaran jadi mutan. Mereka sekolah di tempat orang-orang di luar batas biasa. X-Men.

Mutan-mutan muda belajar asyik dengan Strom dan Wolverine. Serta Profesor Charles Xavier. Mutan-mutan muda belajar menghargai keberadaan dan kemampuannya yang unik, bukan aneh.

Aku membayangkan mutan-mutan muda itu. Ah, salah. Aku membayangkan anak-anak di kelas akselerasi.... *immo*
Read More …

(085227427xxx) Dedi, Braling: Jendreal Soedirman. Karena selain sebagai ikon Kota Purbalingga, Beliau juga orang asli tanah kelahiran saya. Selain itu ada kata-kata mutiara yang sangat indah, tapi sayangnya saya lupa kurang hafal. Ngaten Cuy

(08986679xxx) Rizza, Praketa: Pahlawan fav ku adlh Kartini. Krn atas jasa beliaulah kami para kaum wanita dpat memiliki kdudukan yg sama dgn kaum pria. Gag ada lgy yg namax p'bedaan gender. Kaum wanita n kaum pria memiliki kdudukan sama.

(085737576xxx) Galuh, Njakarta: Soeharto Magelang Karena jaman pak harto UUD kro mentrine ora ganti2 jd kpenak guli ngpalna nk ana ujian..:=D
Read More …