Oemah Cengloe

... kalau pemuda sudah berumur 21, 22
sama sekali tidak berjuang, tak bercita-cita,
tak bergiat untuk tanah air dan bangsa...
pemuda yang begini
baiknya digunduli saja kepalanya...
(pesan Bung Karno)

Kita bakal malu, kalo ngeliat Soekarno masa muda. Gimana nggak, seumuran kita mungkin lagi sibuk-sibuknya eksis di facebook, twitter ato jejaring sosial yang lain. Tapi Soekarno, semasa SMA udah belajar langsung dengan orang-orang hebat macam Semaoen, Tan Malaka, Haji Agus Salim, bahkan Musso. Disaat kita masih sibuk ngurusin asmara, jalan-jalan nggak karuan, tapi diumur 20 tahun dia udah ndiriin PNI, Partai Nasional Indonesia dengan massa ratus ribuan banyaknya. Seumuran kita mungkin menghabiskan komik-komik anime saban hari, tapi Soekarno muda justru habis melalap buku-buku Voltaire, Rousseau, Lenin, dan Marx. Seumuran kita mungkin dihabiskan dengan karaokean gak karuan di mall, tapi Soekarno muda menghabiskan waktu untuk belajar pidato ke Tjokroaminoto, pendiri Syarikat Islam.

Gimana nggak hebat, anak muda seperti Soekarno bahkan menguasai berbagai macam bahasa asing. Sehingga dimasa dia menjadi presiden mudah berkomunikasi dan menjalain hubungan dengan tokoh-tokoh besar dari negara lain.

Soekarno muda bukan orang sembarangan. Di umurnya yang 30 tahunan, dia dipenjara karena pergerakannya yang membuat khawatir Belanda. Di penjara dia bukan terus meratapi diri dan tak melakukan apa-apa. Dia justru menyibukkan diri dengan membaca biografi orang-orang hebat di dunia, juga membaca karya-karya manusia hebat di dunia. Bahkan, dia membaca dan menulis di atas toilet duduk penjaranya. Tulisan ini kelak menjadi pidato seorang presiden yang tak ada bandingannya dengan judul Indonesia Menggugat!

Soekarno kemudian dipercaya sebagai presiden di umur 44 tahun. umur yang tergolong muda untuk jabatan presiden. Soekarno dihormati di banyak negara di dunia. Soekarno tidak takut apapun, kecuali dengan Tuhannya. Dia tidak takut Inggris, tidak takut Amerika, meskipun kedua negara itu merupakan negara adidaya. Soekarno lantang melawan Imperialisme, Kolonialisme dan Kapitalisme. Dulu, mungkin orang di negara lain tidak mengenal apa itu Indonesia, tapi yang mereka kenal justru Soekarno dengan kewibawaannya.

Malu kita sebagai anak muda indonesia jika tak mengenal Soekarno dan mengikuti jejaknya. Malu kita sebagai anak muda indonesia yang tak giat belajar, membaca maupun berorganisasi seperti Soekarno.

"Suatu hari nanti, Indonesia, akan menjadi mercusuar bagi seluruh dunia!"
- Ir. Soekarno -

Hilmy Nugraha,
beralamat di : fnumyx@gmail.com
hoby : bersepeda
Read More …

Pernah ngeliat tembok yang berhiaskan kata-kata penuh warna dan seni di sudut-sudut kota Purwokerto kan. Yups. Seni jalanan yang bernama graffiti itu emang lagi berkembang di kota Purwokerto. Pelbagai tanggapan pun banyak dikeluarkan. Ada yang negatif, tapi ada pula yang positif.
Nah, buat kali ini, Cengloe berkesempatan ngobrol singkat sama Krisna Panji Kemala, salah satu punggawa Artmac, soal dunia graffiti, purwokerto, khususnya. Okeh. Ayo langsung aja kita simak obrolan singkat sama pria yang udah jadi bomber dari tahun 2007 ini.

Sebenernya graffiti itu kayak gimana sih?
Berbicara graffiti itu bicara soal Streetart. Sejarah graffiti itu di Amrik. Dilakukan oleh para gank. Mereka membuat penanda kalo itu wilayahnya. Bentuknya tagging. Kemudian tagging itu berevolusi. Makanya, akan ada suatu waktu dimana akan terjadi tumpuk-menumpuk gambar. Intinya eksisitensi diri.

Nah, kalo ngomongin soal graffiti di Purwokerto?
Sekarang, grafiti purwokerto lagi mati. Anak-anak lagi vakum.

Kalo soal vandalisme dalam grafiti?
Yah kalo vandalisme kita milih-milih. sekarang mambrah-mambrah ora genah. Kayak corat-coret STM, Geng Motor, nuwun sewune. Malah kayak gitu yang membikin bomber jadi vandalisme.

Oiya, kan ada sebagaian masyarakat yang menganggap kalo graffiti itu merusak keindahan kota, gimana tuh kalo kamu liat itu?
Para bomber (yang mbuat graffiti) kalo pengen nggabungin dengan tanggapan masyarakat nggak bakal gathuk. Paling para bomber mengakalinya dengan bentuk-bentuk graffiti yang lebih rapi. Kadang ada bomber yang nggambar di tembok-tembok yang kumel. Jadi ada estetikanya.

Tapi, beneran nggak sih merusak keindahan?
Bagi bomber ah nggak. Tembok yang kumal, di cet lagi terus digambar. Kadang ada yang pesan sosial juga. Dari pada kumel mending diapiki.

Pernah pengalaman dengan pihak berwajib gara-gara ngebom nggak?
Pernah aku dibawa ke Polres gara-gara ngebom di perempatan Palma. Padahal ada ijin dari yang punya rumah. Tapi, itu diributkan sama polisi. Sanksinya sih nggak berat. Intinya, minta duit.

Terakhir nih, sebagai bomber punya harapan dengan dunia graffiti Purwokerto nggak?
Pribadi aku sih, Purwokerto sendiri bisa kayak Jogja. Di sana graffiti dilegalkan. Aku pengen ada suatu space untuk mengapresiasikan graffiti. Di purwokerto nggak ada ruang publik. Kesadaran masyarakat sini emang belum menerima seni macam itu. Tapi, kalo nggak dimulai dari sekarang, kapan lagi. *immo*
Read More …

Ini masih pukul setengah lima pagi. Tak biasanya, aku keluar rumah. Aku mendongak. Kutemukan langit masih menghitam. Namun, ditaburi bintang-bintang cantik yang terus berpendar.

Hari kemarin, di waktu yang sama, aku masih meringkuk di balik selimut. Bagiku selama ini, tidur di pagi hari sama berharganya dengan uang jutaan rupiah. Jika waktu tidurku kurang dari 8 jam, aku akan menghitung kekurangannya, lalu membalas dendam dengan tidur berlama-lama hingga menjelang siang.

Tapi tidak kali ini. Meski semalam aku tidur pukul 1 pagi. Kubiarkan mataku terbuka. Aku rindu udara pagi. Aku rindu suasananya. Jadi, kuputuskan untuk bersepeda, berkeliling desa.

Pintu-pintu rumah masih banyak tertutup. Awalnya tak banyak yang kutemui. Pasalnya, pagi ini, hawanya begitu dingin seakan merangsek ke dalam tulang. Tapi, semakin aku bersepeda ke arah persawahan, kutemui lebih banyak aktivitas manusia.

Kukayuh sepedaku lambat-lambat. Ini musim panen ternyata. Seorang petani menggoyang tali bergantung kaleng, mengusir burung yang mengincar padi yang tlah menguning. Petani lain, menghempaskan seikat padi hingga bulir-bulirnya terlepas dari tangkai.

Langit mulai meninggalkan warna hitamnya. Kini semburat warna putih bercampur jingga merajai langit. Mataku menemukan lelaki paruh baya yang berjalan telanjang kaki demi kesehatannya. Menyusul di belakangnya penjahit langgananku, yang bersepeda ke tempat kerjanya di desa sebelah.

Tak jauh dari mereka, sesosok anak kecil bersepeda. Dia memakai seragam merah putih. Dikayuhnya sepeda dengan penuh semangat. Ini masih pukul setengah 6 pagi! Bagaimana bisa dia sudah berangkat sekolah? Sekolahnya memang cukup jauh, namun kupikir tak perlu sepagi ini agar tidak terlambat.

Jalanan mulai menanjak. Tujuanku adalah sebuah lorong jalan, dimana aku bisa menaikinya. Dan tepat waktu, di atas lorong, aku bisa menikmati matahari terbit. Keindahan lingkaran berwarna jingga, seakan membutakan mataku.

Aku terhenyak. Kulihat rombongan pelajar berseragam. ada yang bersepeda. Beberapa jalan kaki. Mereka saling melempar tawa. Kebanyakan dari mereka sekolah di kota. Butuh 30 sampai 45 menit untuk sampai ke sekolah. Jadi, wajar, sepagi ini mereka sudah harus melangkahkan kaki.

Kuikuti rombongan pelajar itu. Kebetulan searah dengan jalan pulangku. Sesampai di sebuah sekolah dasar, aku tersentak. Bocah berseragam merah putih yang kutemui pukul setengah 6 pagi tadi, tengah berjongkok memandang pagar sekolahnya yang masih terkunci. beginikah setiap pagi?

Kayuhan sepedaku berakhir ketika kujumpai sebuah rumah. Rumahku, tentunya. Aku menghirup napas dalam-dalam. Sebelum akhirnya aku harus masuk ke dalam rumah dan mengingat segala macam rutinitas yang menghimpitku.

Ketika seorang temanku bertanya, apa menariknya bersepeda pagi? Aku tak banyak menjawab. Bangunlah di pagi hari. Keluarlah. Hirup udaranya. Lalu berkelilinglah. Maka kau akan menemukan sesuatu. Mungkin berbeda dengan apa yang kutemukan. Tapi, selalu ada sebuah cerita di luar sana yang selalu menarik untuk kau jumpai..NaRa.
Read More …

22 dina. Nek diematna, itungan dina kuwe lagi ngitung mundur maring tanggal 22 maret 2010. Dina pertama ujian nasional nggo kelas 12. Uga dina pertama bocah kelas 10 karo 11 preian (maning).
Angka 22 kuwe mau ditempelna neng papan putih sing dipasang neng pendopo sekolahan. Mulane katon sekang njaba gerbang.
Ndean, bocahan neng sekolahan kuwe mung adem klenyem ndelengi papan kuwe. Tapi, inyong koh malah kayong dadi gatel melu ndopok soal UN. Gara-gara ndeleng papan putih kuwe saben dina kemis sih lha.
Tapi ya kuwe, inyong ora arep melu-melu ndopok kaya sing neng koran-koran apa malah sing neng tivi. Ngomong ngalor-ngidul ora genah. Nganti mbleber-bleber. Inyong mung arep ngomong soal ijasah. Thok, til.
Ngonoh, ngaku apa ora, alesan bocahan melu UN mesti mung gara-gara butuh ijasah. Ndean malah alesan mlebu sekolah. Ya mbuh arep nggo sekolah maning, apa andon nggo ngode.
Mbuh kuwe bocah pancen sinau pas arep ujian, apa malah mung ngepek bangku ngarep thok. Mbuh paham apa ora sing disinauni apa ora. Malah ndean nganti dolan maring dukun. Bar kuwe bisa mbunderi jawaban kanti bener. Nek, ijasah sing ana tulisane "lulus" bisa neng tangan. Ya wis. Bar kuwe corat-coret.
Lagian, nek lulus mbok dudu bocahan thok lha sing bungah. Wong tua be dadi ora isin. Dadi bisa pamer maring uwong se-RT nek anake lulus. Angger sekolahan lha, bisa dadi jumawa olih kalung "100% lulus". Terfavorit!
Lha nek kaya kiye, inyong malah dadi mbayangna: kira-kira kaya ngapa ya nek ujian kuwe langka nilene. Langka ijasah kelulusan. Mbok nek ndeleng iklan gaweane Dinas Pendidikan sing neng tivi kae, ujian kuwe bagian sekang belajar alias sinau. Nah, mbok, sing jenenge sinau kuwe langka batase. Langka bates waktu. Apa maning bates nile-ne.
Apa iloken enggal sore, bocahan isih ana sing melu sing jenenge pengayaan? Apa bocahan sing arep ujian kuwe enggane isih menthelengi buku pelajaran nganti keyeng? Kira-kira isih ana sing bakalan wuru rame-rame bar ujian ora ya?
Nek pancen temenan langka ijasah kaya ngapa ya? Ya mbuh! Apa inyong dukun. *immo*
Read More …

Bukan Bangkit namanya kalo nggak cengar-cengir pas lagi fesbukan. Kawanku yang satu ini emang hobi banget cengar-cengir, terutama bila dia sedang nemuin sesuatu yang menggelikan,- yah, kayak yang aku liat pagi itu.
"Ada apaan sih, bang? Dari tadi kok senyam-senyum gitu. Ada yang lucu?"
"Ini, Aku lagi baca catatan fesbukku. Menggelikan ternyata puisi bikinanku ini," jawab Bangkit. "Judulnya Puisi Ah... ha..ha..ha.." katanya lagi.
"Ha..ha..ha.." aku ikutan ketawa. "Emang kenapa sih, kok puisi bikinan sendiri malah diketawain. Apanya yang lucu?"
"Ternyata puisi pendek bikinanku ini nggak ada romantis-romantisnya. Nggak ada indah-indahnya. Apalagi komennya nih, terlampau serius. He..he..he..."
Bangkit nunjukin hapenya. Di monitor hape itu, aku ngeliat komen dari seorang teman yang lain. "Kalo hidup nggak mengalir, umurmu nggak akan bertambah.. dan mungkin kau nggak akan berada di tempatmu saat ini.." begitu komen itu dituliskan.
Aku ikutan tersenyum. Yah, emang kayak gitu. Dari teman-teman yang aku gauli selama ini, mereka pun senang banget memetaforakan hidup ini dengan aliran air.
Berjibun pepatah yang pakai kata 'air' bisa jadi bukti kuatnya. Kalo nggak, komen temenku yang lain itu bisa jadi contoh teraktual betapa metafora air begitu menggenangi otak kita ini.
Mirip kayak pas kita ngeliat sebuah aliran air, kita pun dibebasin berbuat apa dengan aliran air itu. Mau menikmati dinamika aliran air sampai muaranya, boleh. Mau berenang menentang arus, juga boleh.
Pun begitu sama banyak hal yang kita laluin di hidup kita yang masih tipis ini. Gaya pakaian, gaya bicara, gaya rambut, pergaulan, dan cara berpikir, yang tentu aja terangkum dalam sebuah kata "tren", bisa kita ibaratkan aliran air yang perlu kita hadapi. Kita juga bisa nyemplung, seraya berteriak "inilah aku!!".
Sayangnya, nggak jarang, kita itu menceburkan diri dengan mata tertutup. Sampai-sampai akhirnya kita sadar, kalo kita ini bukanlah rintik-rintik yang menyejukkan semesta. Tapi, malahan bagian dari air bah yang malah memporak-porandakan segala tatanan.
Kan nggak selamanya yang nge-tren itu bagus, yang gaul itu baik. Yang bergelombang-gelombang itu bermanfaat. Dan kita semua pun sadar dengan hal itu, tentu.
Ngelawan arus kadang-kadang jadi cara buat nunjukin kalo kita itu masih agak terbuka matanya. Milih buat nentang semua dominasi-dominasi yang mungkin aja siap menerkam. Menentang proses penyeragaman atas identitas, potensi, dan orisinalitas diri. Bukankah tren itu kata lain penyeragaman?
Label nggak gaul, abnormal, bahkan gila jelas nggak bisa dijadiin alasan buat rendah diri. Malah, harusnya, membikin kita semakin gesit mengatasi gelombang yang menerjang. Paling nggak, saat milih buat ngelawan arus, kita nunjukin kalo kita ini nggak pernah pengen nyakitin hati kita ini, dengan memaksa buat nerima apa yang nggak ia mau.
Sekarang, aku mencoba berpikir melampaui pertanyaan bangkit dalam puisi itu. "jika begini, benarkah hidup itu mengalir?" Tapi, malah berpikir soal mau berdiri di sebelah mana dan melakukan apa dalam aliran air itu (kalo hidup ini emang bisa diibaratkan aliran air). Mengikuti aliran air yang nggak jelas juntrungnya atau berdiri tegak ngelawan arus.
Pastinya, aku nggak pengen tuh terjerumus ke dalam kubangan tren sosial yang menyesatkan. Aku nggak pengen tersesat! *immo*
Read More …

Hari-hari berlalu. Entah ini musim apa. Matahari begitu terik. Namun sontak mendung menggantung. Kemudian rintik kecil turun. Mendung hilang. Tapi hujan lebat turun dari langit yang terang benderang. Itulah siang dikala aku harus memasukkan kepalaku ke dalam lemari es. Hawa terlalu panas. Tubuhku seakan terbakar, terlihat dari kulitku yang terus memerah.

Air, air, air. Aku butuh air. Kutuangkan air dingin ke sebuah gelas. Kuteguk dengan rakus. Tapi ternyata tak membantu. Kerongkonganku masih saja terus meronta. Kering. Dengan bibir yang mengelupas. Ditambah langit-langit mulutku yang penuh sariawan. Bagiku ini penderitaan tingkat tinggi.

Segera saja kubenamkan kepalaku ke bak mandi. Kubiarkan mata, hidung, mulut, dan telingaku dialiri oleh air. Diluar batas sadarku, kuhirup air dalam-dalam. Meski beberapa kali tersedak, kubuka mulutku, membiarkan air dari dalam bak mandi terteguk.

Rasanya aku ingin, menjadi air. Kukagumi segala sifatnya. Bentuk air akan selalu sesuai dengan tempat dimana ia berada. Ah, sungguh mudah bagi air untuk beradaptasi. Beda denganku, yang selalu frustasi dengan tempat baru. Merasa aku ini hanya gundukan makhluk rendah. Aku tak pernah menghargai diriku sendiri.

Tiba-tiba saja, aku merasa seperti berada dalam sungai. Kulihat aliran air terjun besar. Bagiku, air bukanlah pribadi yang congkak. Dia selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Beda denganku. Meski terkadang rendah diri, aku ini suka mendongak ke atas. Hingga iri dengki merasuk ke dalam kalbu.

Tapi salah, jika aku dikatakan ambisius. Aku manusia pendengki, yang mudah menyerah. Aku takluk pada rintangan. Sekecil apapun itu. Beda dengan air yang tak mudah menyerah mencari celah sempit untuknya mengalir. Tak hanya itu, batu besar pun bisa dikikisnya meski butuh waktu bertahun-tahun.

Kini aku melihat lautan. Ombaknya besar. Menenggelamkan. Lalu aku tenggelam. Masuk ke dalamnya lautan. Aku tak meronta. Aku tak bisa mengendalikan diriku. Air lautan-lah yang mengendalikan diriku. Dia sungguh pintar menguasai diri dan tau apa yang harus dilakukan. Menghempas diriku ke arah pantai, membuatku kembali bernyawa.

Tersadar, aku berada dalam bak mandi. Tubuhku telah berendam di dalamnya. Sambil terus menangis. Merasakan kedengkian yang begitu dalam. Cemburu buta, kenapa air diciptakan lebih sempurna ketimbang manusia. Lagi-lagi kulihat ombak besar menelanku. Bukan air ternyata. Tapi aku tetap tenggelam. Dalam lautan kebodohanku.(.NaRa.)
Read More …

Bebal. Nggak ada inspirasi sama sekali. Neuron seakan berhenti mengalir dirongga-rongga otak. Kering, otak ini rasanya. Dan ketika dipaksa berpikir. Buss.... Uap panas justru yang menyembul dari pori-pori kepala.
Namun, seperti halnya musim kemarau yang tak abadi, begitu juga kekeringan inspirasi di otak kita. Akan ada masa dimana ide malah mengalir berkejaran. Mirip air sungai jernih yang terus mengalir. Mungkin ide-ide itu terus mengalir. Sampai-sampai kita jadi bingung sendiri. Ide mana yang terlebih dahulu terpuaskan.
Ide, imaji, dan mimpi. Semua itu, kini, sedang membanjiri Cengloe. lalu, bagaimana dengan teman-teman? Masih clingukan lantaran kering ide. Atau justru sudah terendam terlebih dahulu. Hm... entahlah. Teman teman yang lebih tahu jawabannya.
Dan jika ternyata masih mirip kethek ditulup, maka Cengloe dengan lantang berteriak: Selamat membaca! Selamat membumikan ide!
Read More …

Kali ini berdua. Cuma ada Ansa dan Immo. Meski begitu, niatan awal untuk memenuhi janji dan juga kesepakatan bertiga musti dijalankan. Apalagi sudah tertunda sedari dua hari. Kata pepatah, Sekali layar terkembang, lantang kembali kedaratan.

Setelah beberapa waktu yang lalu Cengloe dan Komunitas LaRe menyambangi kantor redaksi Suara Merdeka Biro Banyumas, kesempatan kali ini giliran Majalah Ancas yang merasakan repotnya didatangi Cengloe. Jalan D.I. Panjaitan No. 8 Purwokerto, begitu alamat yang tertera.

Sebagian besar orang mungkin belum banyak yang mengenal Ancas sebagai sebuah media. Ruang edarnya se-Eks Kresidenan Banyumas. Majalah yang diterbitkan oleh Yayasan Sendang Mas. Memakan uang sebanyak 8-10 juta untuk cetak. Namun, yang paling menarik adalah bahasa yang digunakan Ancas. Mereka tanpa ragu menggunakan bahasa banyumasan.

semangat yang dibawa pun sama dengan Cengloe. Semangat menghargai lokalitas.

Namun, jika ditilik benar-benar, Cengloe dan Ancas bak bumi dan langit. Berbeda nasib. Perbedaan tampak mulai dari bentuk, dana yang disanding, hingga orang-orang yang menggarapnya. Bayangkan saja, Ancas itu pengarapannya dipimpin Ahmad Tohari, Si penulis Ronggeng Dukuh Paruk. Sedangkan Dewan Redaksinya bergelar semua. Berderet-deret pula.

Saya sendiri mendatangi louncing Ancas, 6 april lalu. Alamak. Yang datang di acara itu kebanyakan adalah kepala dinas dan bupati banyumas. Plus tumpeng yang siap dipotong. Saya pun minder, hanya mampu melihat dari luar pintu.

Tapi, karena itulah, dengan menyingsingkan rasa minder, Cengloe pun mencoba bermain. Siapa tahu, Si Langit bisa merbagi air pengetahuan kepada Bumi.

Dan benar! Di ruang yang masih kosong itu, Cengloe mendapat banyak ilmu. Terutama soal bahasa Banyumas. Di sana Cengloe hanya bertemu dengan mas Farhun (kalau tidak salah itu namanya. Maklum meski sudah banyak ngbrol tapi tak sempat kenalan).

Banyak yang diperbincangkan. Sangat banyak. Tapi, ada satu hal yang sangat mengena di Cengloe. Ternyata bahasa banyumas itu sangat kaya. Sampai-sampai Cengloe cuma bisa cengar-cengir saat melihat ada kata-kata yang sama sekali nggak diketahui artinya. Padahal lahir dan besar di Banyumas.

Dalam pertemuan yang singkat itu, Cengloe ditunjukan "Jegingger". Buku suntingan mas Farhun. Judul aslinya Bekisar Merah bikinan Ahmad Tohari.

Ternyata, baik Cengloe maupun Ancas, sama-sama prihatin dengan dinamika kaum muda banyumas yang justru terasa aneh menggunakan bahasa banyumasan, yang notabenenya adalah bahasa ibu bagiinya. Ancas sendiri malah lebih bingung, kanapa muatan lokal malah diisi dengan bahasa prancis, iinggris, dan tetek mbengeknya.

Dulu, Cengloe pernah bertanya dengan teman-teman di SMA Ajibarang, penting nggak sih bahasa banyumasan dilestarikan? Caranya? Entah pertanyaan itu masih layak ditanyakan atau tidak.

Hmm, mungkin itu dulu yang mau dibagikan sama Cengloe. Bukan bermaksud pamer atau menambah masalah. Hanya untuk mengelitik, jika perlu sampai menyentil kita, yang katanya generasi masa depan. Yang katanya nasib bangsa dan budaya bangsa ada di pundak kita.

Selamat membumikan ide!

*immo*

diterbitkan juga lewat ini... http://www.facebook.com/note.php?note_id=427680799185
Read More …