Oemah Cengloe

Asap mengepul dari kemenyan yang dibakar. Nyanyian sinden yang menghanyutkan. Serta calung berirama dengan gending mengalun melodi yang mistis. Berbaur pula dengan teriknya matahari.

Di lapangan hijau, arena pementasan, di ssitulah Jati melenggang dengan kuda anyaman. Tak sendirian. Ia datang ditemani kawan satu profesi. Puluhan penonton menyaksikannya. Sekilas, ada yang tampak gembira, takut tapi penasaran.

Salah satunya, Nayla, seorang gadis belia. Ia ingin tahu apa yang dinamakan kuda lumping. Ingin tau pula bagaimana permainannya. Ini baru pertama kali Nayla melihat langsung pentas kuda lumping.

Sebelumnya, Ia hanya tau dari cerita orang tua dan teman sekampungnya. Selain itu, ini juga kali pertama ada pementasan kuda lumping di desa Naylal.

"Wah, itu yang namanya kuda lumping? Hem, dandanannya seperti kostum pendekar jaman dulu ya," ucap Nayla pada Dimas, kakak laki-lakinya.

"Iya. Yang berbaju hitam adalah pawangnya, yang bertugas memasukan jin pada pemain. Nah, yang pegang kuda itu, pemain yang nantinya kesurupan," jelas Dimas. Nayla mengangguk.

Setelah tarian pemanasan, satu persatu pemain terjatuh. Tampak kaku badannya. Ini pertanda mantra pemanggil, berhasil. Penonton bersorak, teriak. Sedangkan yang lain, mundur perlahan.

Jati, pemain baru dan muda ikut kerasukan. Umurnya baru 11 tahun, namun mahir dalam pementasan ini. Gerakannya harmonis, seirama dengan gendang dan gong.

Makin lama, adegan tarian makin memuncak. satu persatu pemain melahap sesaji. Dau pepaya mentah, arang yang masih menyala, pecahan kaca, kelapa muda, dagung mentah, parfum dan bunga-bunga tergelar di depan penabuh.

Ketika Jati memakan pecahan kaca, bulu kuduk Nayla berdiri. Sebuah adegan yang mengerikan, tapi justru jadi daya tarik permainan kuda anyaman ini. Dulunya, permainan ini, memang berfungsi sebagai ucapan syukur pada leluhur. Tapi sekarang, berbeda. Sekarang hanya untuk hiburan.

"Nayla mau pulang saja kak," kata Nayla seraya mengajak kakaknya.

"Yah, de, sebentar lagi juga selesai. Lagian kita sulit keluar, karena kita dibarisan paling depan. Kamu takut yah? Hahaha...," Dimas meledek.

"Lah kak, bukannya takut. Tapi kasihan sama pemainnya. Ngapain coba, mau-maunya disuruh makan sesasi kayak gitu," ujar Nayla sambil pasang muka kesel plus dongkol. Bagi Nayla, mending kelaparan dari pada kerja kayak gitu. Dibuat kesurupan pula. Tapi, Dimas hanya membiarkan rengekan adiknya.

Pementasan kuda lumping selama lima jam, selesai. Nayla dan Dimas pun pulang. Di perjalanan, Nayla mengaku kecewa pada para pemain kuda lumping itu. Nayla menganggap, mereka melakukan hal-hal yang merugikan kesehatan, karena makan kaca.

"Pemain itu bukan hanya meraup keuntungan uang. Walaupun dia butuh uang, tapi bisa saja dia melakukan hal tersebut karena dia ingin melakukannya, karena ingin mengembangkan bakatnya. Seharusnya, mereka diacungi jempol.

Baru 15 tahun tapi mampu menjalani hidup sebagai pemain kuda lumping. Padahal, usia segitu, gengsi dan rasa malu sangatlah besar. Tapi dia barani pentas. Masih muda sudah bisa melestarikan budaya Indonesia. Coba kalau tidak ada yang melestarikan, nanti bisa banyak negara lain yang mengklaimnya.

Maka itu, mari kita lestarikan budaya, selagi masih muda. Kan katanya pemuda itu penerus bangsa. Bukan begitu adikku tercantik," jelas Dimas panjang lebar.

"Hem, iya, iya, iya. Ternyata Nayla salah mengatakan selumnya," jawab Nayla sembari senyum. Keduanya sampai rumah. Nayla dapat pengalaman menarik, hari itu.

Dian Ayu Antika
XI A 3

Categories:

Leave a Reply