Oemah Cengloe

Wuih… rasanya udah lama banget ya cengloe nggak nyapa pembaca. Bukan tim cengloe yang ngerasa jadi orang-orang sok sibuk. Tapi, emang cengloe lagi ngelakuin pembenahan diri.

Nah, dari pembenahan diri yang kesekian kali itu, tim cengloe akhirnya mutusin buat njadiin cengloe sebagai media “sewulan sepisan”. Tapi, tenang aja. Teman-teman cengloe nggak bakal dibuat kecewa pas baca cengloe, meski harus nunggu sebulan sekali.

O iya, di edisi #5 ini, cengloe mau cerita banyak hal sama teman cengloe. Terutama soal cinta dan tanah air. Eits, jangan ngerasa kalo tema ini kesannya jadul duluan. Kan ngomong cinta dan tanah air nggak cuma jadi bahan obrolan dibulan agustus doank. Tapi, setiap saat pun boleh. Apa lagi kalo yang mbahas tema itu cengloe. Banyak hal yang baru dari sana, pasti.

Yups, inilah awal sebuah akhir. Selamat membumikan ide! Selamat membaca!
Read More …

Wilayahnya menghampar luas nan indah. Meski ribuan tanahnya saling terpisah, tapi terangkai indah oleh lautan yang maha luas. Sebuah wilayah yang punya banyak kekayaan. Kekayaan alam dan budaya. Makanya nggak ngeheranin kalau sedari dulu tanah itu selalu jadi rebutan.

Namun, udah dari berabad-abad yang lalu pula, banyak orang yang dibuat bingung karena nggak tau harus menyebut apa kepulauan di katulistiwa itu. Alhasil, muncul banyak nama. Nan-Hai (Kepulauan Laut Selatan), Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa), Insuline, Nederlandsch-Indie, sampe Nusantara. Kepentingan beradu. Perdebatan terjadi.

Tahun 1849 jadi titik balik perdebatan soal nama itu. Mula-mula George Samuel Windsor Earl (1813-1865). Dia Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, nulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Bagi Earl, udah saatnya penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu punya nama khas.

Muncullah nama Melayunesia dan Indunesia. Agaknya, Earl lebih memilih nama Melayunesia. Alasannya, nama itu lebih cocok bagi ras melayu. Toh, bahasa yang dipakai bahasa melayu juga.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pun Logan menyatakan perlunya nama
khas bagi kepulauan itu. Cuma Logan lebih memilih nama Indunesia yang dibuang Earl. Tapi, huruf u diganti dengan huruf o, biar ucapannya lebih enak diomongin.
Lahirlah istilah Indonesia buat pertama kali di dunia.

Pelan tapi pasti, nama Indonesia mulai biasa digunakan. Termasuk sama angkatan ‘28 yang sedang belajar di Belanda. Kata Indonesia, bermetamorfosa jadi semacam cita-cita luhur.
***

1945. Soekarno mbaca teks proklamasi atas nama bangsa Indonesia. Kata Indonesia yang dulunya cuma mimpi dan cita-cita, terwujud udah.

Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Banyak hal terjadi dengan Indonesia. ngebanggain, nyenangin, bikin sedih, pembantaian, penindasan, bahkan kegoblokan.
Ah, bicara soal penindasan, jadi ingat sama orang-orang Papua. Mereka adalah korban dari I’ exploitation de I’ homme par I homme (penindasan manusia atas manusia). Ironisnya, penindasan itu nggak dilakuin sama negara penjajah macam Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat. Tapi oleh Indonesia. Bangsanya sendiri.

Orang-orang Papua itu dipaksa melucuti sejarahnya. Dipaksa menerima sejarah bangsa Indonesia sebagai sejarahnya. Itu belum termasuk digadaikannya (kalau nggak boleh disebut perampokan) kekayaan alam tanah Papua oleh pemerintahan yang jawa sentris. Tanah kaya raya, namun warganya terbelakang.

Kekonyolan bangsa ini, masih berlanjut. Malah semakin konyol aja. Kali ini soal kemaritiman negara ini.

Semua orang yakin betul bangsa ini adalah negara maritim. Semua buku sejarah berkata demikian. Tapi kok, kenapa malah diduduki sama angkatan darat. Kalau dimanage sebagai negara maritim, laut akan menghubungkan satu pulau ke pulau lainnya. Tapi, dengan pendudukan Angkatan Darat memisahkan dari pulau satu dengan pulau lainnya. Kesalahan besar yang memudahkan disintegrasi Indonesia.

Jadi seharusnya, mulai sekarang, lagu “nenek moyangku seorang pelaut…”, pantang dinyanyiin. Nggak sambung sih!
***

Kesalahan-kesalahan kecil bangsa ini, terangkai dalam jalinan yang rumit. Meski begitu, semua perlu diberesin. Biar nggak jadi kesalahan sejarah. Berat memang. Tapi bukankah ini tugas sebenarnya dari angkatan muda Indonesia. Membenahi kesalahan dengan penuh keberanian. Jangan malah berlagak pikun!

Lagian mencintai (sebuah nation) itu nggak berarti ndukung kejahatan atau ikut memihak struktur yang ngisap dan nginjek-injek rakyat kecil dan lemah miskin. Right or wrong is right or wrong, okeh?

Yah, kayak orang Belanda bilang deh, “wees goed, mar niet dom”. Berbaik hatilah, tapi jangan goblok! *immo*
Read More …

Pukul 6 pagi. Kurebahkan tubuhku ke atas kursi besi. Tak nyaman, memang. Tapi apa daya, ini satu-satunya kursi tunggu penumpang yang tersisa. Bis menuju jepara, yang akan kutumpangi, baru berangkat 2 jam lagi. Aku berniat berpetualang sendirian, menelusuri Jepara, lalu mencari jejak seorang temanku di Blora.
Ah, Blora. Tempat dimana Pramoedya Ananta Toer dilahirkan. Seorang penulis yang amat kukagumi. Dijebloskan berkali-kali dalam penjara, tanpa pengadilan. Tapi dialah satu-satunya manusia Indonesia yang menjadi kandidat pemenang Nobel Sastra. Ingin rasanya aku bertemu dengannya. Mendengarkan berbagai cerita. Dan berdiskusi tentang sejarah.
Sibuk dengan lamunanku, aku tak sadar dengan kakek tua di sampingku. Sedari tadi dia bertanya soal waktu. Kutatap wajah keriputnya dan segera meminta maaf. Hmm..entah kenapa, dalam pikiranku, kakek ini cukup mirip dengan Pramoedya. Seakan bisa membaca pikiranku, dia tersenyum.
"Saya memang Pramoedya." ujarnya.
Aku terperangah. Dalam beberapa detik, aku tak bisa menguasai kesadaranku. Bukankah Pramoedya telah meninggal?
"Kalau mati, dengan berani; kalau hidup, dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita." tuturnya.
Benar juga. Dulu, para pejuang mengangkat senjata. Mereka hidup dan mati dengan berani. Hasilnya, penjajah bisa pergi. Tapi kini? Kita ternyata masih juga dijajah. Dengan cara yang berbeda tentunya. Indonesia jelas belum merdeka! Masih saja mau didikte dan disuruh ini-itu. Tak hanya bangsa asing yang menjajah, sekarang manusia yang menjajah bangsanya sendiri.
"Rakyat sekarang miskin karena dimiskinkan kaum elit. Sebelum kemerdekaan mereka dirampok oleh penjajah. Sekarang mereka dirampok oleh kaum elit kita sendiri."
Iya, kita dijajah bangsa sendiri. Di sekolah memang sering diceritakan soal penjajahan dan kemerdekaan. Tapi hanya bagian dari pelajaran sejarah. Seperti layaknya mengheningkan cipta dalam upacara. Untuk mengenang arwah para pahlawan yang telah gugur mendahului kita. Sekedar mengenang? Ya, tak lebih dari itu. Tak ada soal makna perjuangan dan cara berjuang dalam konteks kekinian.
Wah, kasihan benar bangsa Indonesia. Pahlawan medan perang, sekedar hiasan. Pelajarnya cuma hobi mengenang. Anak mudanya asyik bersolek dengan dirinya sendiri. Kaum bawah sibuk meratapi nasib. Sedangkan kaum elit antri menjarah kekayaan bangsa sendiri.
"Merasa kasihan tanpa berbuat sesuatu adalah suatu kemewahan yang tak berguna. Kalau benar perasaan itu murni, orang harus membantunya, apakah dengan pikiran, perbuatan, atau pertolongan."
Aku terhenyak. Sudah begitu lama, aku hanya merasa kasihan terhadap bangsaku. Dan berarti sudah terlalu lama pula, aku berpangku tangan.
Perlahan sosok Pramoedya memudar. Aku terkesiap. Perjumpaan sesaat yang penuh makna. Hanya tiga kali dia mengeluarkan kalimat, tapi seketika itu pula alam pikirku terbuka. Ah, dia memang sosok yang luar biasa. Bagiku, dia juga pahlawan. Dengan jalan yang berbeda.
Bahuku terguncang. Tangan keriput seorang kakek menggoyangkan pundakku.
"Nak, bis ke Jepara sudah mau berangkat. Ayo naik."
Seketika aku terbangun. Ah, ternyata aku baru saja bermimpi. Kutatap kakek yang telah membangunkanku. Aku membatu. Tubuhku pun terasa begitu kaku. Pasalnya, wajah sang kakek, benar-benar mirip Pramoedya. Oh! (Nara)
Read More …

Di lomba robot nasional yang ada di tv kemarin-kemarin, panitia menyediakan labirin yang punya banyak kamar, salah satu kamar terdapat lilin nyala. Tantangannya adalah, para peserta harus mendesain-memrogram robotnya agar mampu mencari dan mematikan lilin secepat mungkin (search and destroy).

Mungkin, robot-robot itu bisa berperan membantu orang indonesia, ikut tim babi ngepet jadi petugas jaga lilin misalnya. Nah! Teknologi berpadu dengan lokalitas! Kreatif kan!

Teknologi dan Spiritual.

Mari menyembah google, kalimat ini pernah jadi status fesbuk saya, dan komentar kreatif yg muncul adalah:google maha tahu, maha kuat (server gak pernah down), maha pemberi (bagi-bagi duit lewat adsense),maha besar (servernya segede rumah), dll.... Sayangnya, google gak bisa nyari kunci kamar yang ilang...hehehe....

Teknologi juga digunakan anak-anak jaman sekarang untuk mencari perhatian, salah satu teman saya sukses menjadi "orang yg tiap menit update status fesbuk".Antivirus aja kalah.... Dan 200 teman sukses me-remove-nya, karena dianggap mengganggu ketertiban umum.

Dulu Habibie pernah bilang kalo dia mampu bikin misil antar benua, asal ada duitnya. Tapi, bangsa kita memang latah teknologi, ada yang baru langsung jadi tren, emang belum ada penelitian tentang hubungan antara tukul arwana dengan meningkatnya volume penjualan laptop di indonesia, tapi liat sendiri aja.

Nilai Teknologi di Mata Anak Muda.

Komputer mini, kamera digital, prosesor ringan-kecil-murah, akses internet dimana pun, dll. Itu semua ada harganya, teknologi itu sangat dasyat. Tapi, kenapa... cuma buat fesbukan. dasar manusia useless!



tulisan ngawur ini dibuat-buat oleh:

satrio a.k.a biangkerok

praktisi komputer grafis

ngekos di purwokerto.




riogantengsekali
Read More …


Winginane pas inyong balik ngumah, inyong ndeleng acara tivi, “Satu Untuk Negeri”. Acara kuwe disiarna nggo nggolet duit nggo ngrewangi korban gempa bumi nang Tasikmalaya.
Neng acara sing mulaine jam sanga wengi kuwe, wong-wong pada dikumpulna nang ruangan gede. Kaya aula lha. Ana barisan tukang nerima telpon sekang wong sing kepengin nyumbang. Tapi jere ana korban sing telpon juga. Nang ngarep dewek, ana tivi gede nggo pranti nyetel gambar-gambar korban gempa. Melasine por.
Sing dadi pembawa acara wora-wiri mereki sing pada teka. Karo takon, “nyumbang pira?”, kaya kuwe kira-kira ngomonge. Terus peserta acara kuwe langsung njawab arep nyumbang pira. 10 juta, 15 juta, 25 juta…. Pokoke akeh maning lha.
Dadine, sing pertamane gole nonton dadi melu ngrasakna nelangsane. Tapi, selot suwe ko malah dadi gela dewek. Piwe ora gela jal, lha masa acara amal malah dadi nggone wong sugih pada pamer. Masa nyumbang bae kudu diomong-omongna. Nang tivi, maning.
Mulane inyong malah dadi kepikiran, jane wong-wong sing nyumbang kuwe mau, ikhlas ora ya?
Ora mung kuwe thok sing gawe inyong gela. Tapi, juga soal gambar pengungsi sing ana neng tivi. Gambar umah rusak, ibu-ibu sing lagi pada nangis, bocah cilik sing dadi trauma, akeh lha liane.
Tapi, inyong malah ndeleng gambar-gambar korban kuwe, mung dadi alat thok. Alat nggo nggawe wong-wong dadi melu melas karo para korban. Nek wis melas, kan dadi jor-joran gole nyumbange.
Inyong ora bisa mbayangna pira duit sing mlebu maring rekening stasiun tivi kuwe. Tapi, jujur bae ya, inyong malah kepikiran karo bunga bank sekang duit sumbangan sing ora etungan. Jan-jane mlebu sak-e sapa ya? Sing nduwe tivi apa korban.
Inyong si wis tau maca, nek duit sumbangan pancen tetep dibagikna. Tapi, nek bunga-ne lha malah mlebu maring sak-e sing nduwe tivi. Dadi critane tivi-tivi kuwe lagi pada ngode. Lewih akeh sing nyumbang, lewih akeh duit bunga sing disak. Tapi, ndean sing lewih pas maning kuwe; lewih akeh bencana, lewih cepet sugih.
Huh… inyong tambah ora ngerti karo wong-wong Indonesia lho. *immo*
Read More …

Udara sore itu, terasa dingin. Jalanan cukup meliuk mengiringi perjalanan kami. Namun rasa kebersamaan telah menghangatkan petualangan kami kali ini. Jarang rasanya, Tim Cengloe berkumpul, untuk sekedar jalan-jalan. Tak jauh dari Purwokerto, memang. Kami bertiga bersama dua teman Cengloe, begitu bersemangat menuju Taman Reptil dan Museum Uang di Purbalingga. Meskipun cukup berat, harus merogoh kocek 7000/orang untuk tiket masuk. Maklum saja, saat itu keuangan kami lagi seret.

Begitu masuk ke dalam ruangan, kami disambut puluhan koleksi reptil. Mulai dari ular, kadal, tokek, amphibi, kura-kura, hingga kumbang.

Mataku langsung tertarik dengan ular bernama Pueblan Milksnake. Pasalnya ular albino dari Mexico itu berwarna merah, putih, krem, dengan mata merah jambu. Sungguh menawan! Dengan menjulurkan lidah merahnya, dia begitu aktif menyambut tanganku yang menempel di kotak kacanya.

Melangkah pergi dari kotak-kotak ular asli luar negeri itu, kulihat kumbang yang motif punggungnya mirip wajah manusia. Lucu dan menakjubkan!

Langkahku kembali menuju deretan ular. Tiba-tiba, mataku jatuh cinta pada seekor ular berwarna hitam pekat, bernama Black Kingsnake. Liukannya anggun, dan membuatku terpesona. Rasanya aku ingin berlama-lama menatapnya. Mukanya yang dingin, seolah tak peduli dengan kedatanganku. Tak sadar, teman-temanku sudah pergi jauh meninggalkanku ke dalam.

Koleksi reptil itu membuat kami terkagum-kagum. Soalnya, banyak jenis yang jarang sekali bisa ditemui di kehidupan sehari-hari. Sayangnya koleksi kupu-kupu dan kumbang, tak lagi hidup. Dirangkai dengan indah, namun entah kenapa ada rasa miris terasa di hati.

Keluar dari bangunan utama, kami keluar menuju kandang kasa besar berisi burung merak dan beberapa jenis ular nangkring di atas pohon. Kandang ini, boleh dimasuki pengunjung, asalkan didampingi petugas. Sayangnya, sore itu tak ada petugas yang muncul untuk mendampingi. Alhasil keinginanku menyentuh kulit ular yang licin, belum bisa terpenuhi.

Di samping kandang kasa itu, ada kolam buaya. Sang buaya sedang asyik berendam, dan diam tak bergerak. Hanya beberapa ikan dan ceceran ayam sisa makanan buaya, yang menemani kesendiriannya.

Tak jauh, berjejer deretan kotak kaca cukup besar. Kobra, boa, piton, melingkar tidur kekenyangan setelah melahap seekor ayam. Ngeri juga, lihat ular sebesar paha manusia dewasa. Dalam imajinasi liarku, kotak kaca tiba-tiba pecah, dan ular-ular itu menyelusur pelan ke arah tubuhku, siap menyerangku. Oh!

Kami melangkah jauh ke dalam areal taman. Ada halaman cukup luas yang ditumbuhi aneka pohon. Jeruk, durian, kelengkeng, hingga buah naga putih. Diantara pohon, ada elang jawa bermata tajam. Sayang, kandangnya amat sempit. Sayapnya tak lagi bisa berkepak untuk terbang tinggi.

Jalan setapak kemudian kami susuri, menuju museum uang. Katanya, menyimpan mata uang dari 184 negara. Namun, kecewa menjumpai kami. Museum itu tutup, dan tak ada satupun petugas yang bisa kami temui.
Akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Menuju pintu keluar, kami bertemu dengan siamang. Dia sedang asyik bergelantungan dan berputar-putar, di dalam kandang yang tak begitu besar. Tiba-tiba siamang berhenti beraktifitas dan matanya menatap kami. Aku tak tahan melihat ekspresi sedih dari kedua bola matanya. "Keluarkan aku, kembalikan aku ke alam bebas," seakan kalimat itu yang terucap.

Seandainya aku mengerti bahasa binatang, aku bisa mendengar cerita mereka. Bagaimana rasanya terkurung dalam kotak kaca atau kandang sempit, sendirian. Tanpa teman dan menjadi bahan tontonan. Sekalipun aku tak mengerti bahasa mereka, rasanya aku melihat ekspresi tidak bahagia. Oh, entahlah. (Nara)
Read More …